Hati yang Terunduh Cepat: Cinta Instan di Era Serba Digital

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:05:19 wib
Dibaca: 172 kali
Jemari Anya menari lincah di atas layar ponsel. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, ia menyelami samudra aplikasi kencan. Profil demi profil ia telusuri, sekadar mencari sosok yang bisa mengusir kesepiannya. Anya, seorang programmer muda yang cemerlang, merasa ironi menjalar dalam dirinya. Ia piawai menciptakan algoritma kompleks, merancang kode yang rumit, tapi hatinya justru terasa kosong dan sederhana.

Kemudian, profil itu muncul. Foto seorang pria dengan senyum teduh, mata cokelat yang hangat, dan deskripsi singkat yang menarik: "Pecinta kopi, penikmat senja, dan pengagum wanita cerdas." Namanya, Reno. Anya tertegun. Ada sesuatu dalam profil Reno yang membuatnya berhenti menggulir layar. Ia membaca ulang deskripsinya, memperhatikan fotonya lebih seksama. Entah kenapa, hatinya berdegup lebih kencang.

Dengan ragu, Anya mengirimkan "like." Jantungnya berpacu saat notifikasi muncul beberapa saat kemudian: "Reno membalas like Anda!" Anya menarik napas dalam-dalam sebelum memulai percakapan.

"Hai, Anya. Senang bisa terhubung denganmu," sapa Reno.

"Hai, Reno. Salam kenal juga," balas Anya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Percakapan mereka mengalir deras. Dari kopi favorit hingga buku yang sedang dibaca, dari mimpi-mimpi masa depan hingga pengalaman masa lalu yang lucu, mereka saling bertukar cerita tanpa henti. Anya merasa seolah telah mengenal Reno seumur hidup. Ia terkejut sendiri dengan betapa mudahnya ia membuka diri pada orang asing yang baru dikenalnya beberapa jam lalu.

Reno ternyata seorang arsitek yang bekerja di perusahaan startup. Ia memiliki selera humor yang baik, pemikiran yang dewasa, dan yang paling penting, ia mendengarkan Anya dengan penuh perhatian. Anya merasa dihargai, dipahami, dan dimengerti. Perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan.

Hari-hari berikutnya diisi dengan percakapan yang tak ada habisnya. Mereka bertukar pesan setiap saat, bahkan saat sedang bekerja. Anya menyadari bahwa ia selalu menantikan notifikasi dari Reno. Senyumnya merekah setiap kali melihat namanya muncul di layar ponsel. Ia mulai melupakan kesepian yang selama ini menghantuinya. Reno telah mengisi kekosongan itu, meskipun hanya melalui dunia maya.

Setelah seminggu intens berkomunikasi, Reno mengajak Anya untuk bertemu. "Bagaimana kalau kita ngopi besok sore?" tanyanya melalui pesan.

Anya terdiam sejenak. Perasaan gugup dan bahagia bercampur aduk. Ia takut pertemuannya nanti tidak sesuai dengan harapannya. Ia takut Reno tidak seperti yang ia bayangkan. Tapi rasa ingin tahu dan ketertarikannya terlalu kuat untuk ditolak.

"Oke," balas Anya. "Aku akan sangat senang."

Malam itu, Anya sulit tidur. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan tentang pertemuan besok. Ia memilih baju yang akan dikenakan, memikirkan topik pembicaraan, dan berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang.

Keesokan harinya, Anya tiba di kedai kopi yang mereka sepakati. Ia duduk di meja dekat jendela, memperhatikan setiap orang yang masuk. Rasa gugupnya semakin menjadi-jadi.

Kemudian, Reno muncul. Ia mengenakan kemeja biru dan celana panjang cokelat. Senyumnya sama seperti yang ada di fotonya, hangat dan teduh. Anya merasa dadanya sesak.

"Anya?" sapa Reno dengan suara yang ramah.

Anya mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Reno?"

Mereka saling bertukar senyum dan duduk berhadapan. Suasana canggung sempat menyelimuti mereka beberapa saat. Tapi kemudian, percakapan mulai mengalir dengan sendirinya. Mereka berbicara tentang segala hal, seperti yang biasa mereka lakukan melalui pesan. Anya merasa lega. Reno sama seperti yang ia bayangkan, bahkan lebih baik.

Sore itu, Anya merasa seperti berada di dunia lain. Ia lupa tentang pekerjaannya, tentang masalahnya, tentang segala hal selain Reno. Ia hanya ingin menikmati momen itu, menikmati percakapan yang mengalir, menikmati senyum Reno yang menenangkan.

Setelah beberapa jam, Reno mengantar Anya pulang. Di depan apartemen Anya, Reno berhenti dan menatapnya dengan tatapan yang intens.

"Anya," kata Reno dengan suara pelan, "Aku sangat menikmati sore ini. Aku merasa seperti sudah mengenalmu sejak lama."

Anya tersenyum. "Aku juga, Reno. Aku merasa sama."

Reno mendekat dan membelai pipi Anya dengan lembut. "Bolehkah aku menciummu?"

Anya mengangguk tanpa ragu. Reno mendekatkan wajahnya dan mencium Anya. Ciuman itu lembut, hangat, dan penuh perasaan. Anya merasa seperti terbang ke awan.

Malam itu, Anya tidur dengan senyum di bibirnya. Ia merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia percaya bahwa ia telah menemukan cinta sejatinya. Cinta yang ia temukan secara instan di era serba digital ini.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Beberapa minggu kemudian, Anya menemukan sesuatu yang mengejutkan di profil media sosial Reno. Foto Reno dengan seorang wanita lain, seorang wanita yang memeluknya dengan mesra, seorang wanita yang menuliskan caption "Aku mencintaimu" di bawah foto tersebut.

Anya merasa dunianya runtuh. Ia merasa dikhianati, dibohongi, dan dipermainkan. Air matanya mengalir deras. Ia tidak mengerti mengapa Reno melakukan ini padanya.

Dengan hati hancur, Anya menghubungi Reno. "Siapa wanita itu?" tanyanya dengan suara bergetar.

Reno terdiam sejenak. "Dia... dia adalah tunanganku," jawabnya akhirnya.

Anya terkejut. "Tunangan? Tapi... tapi kenapa kamu tidak pernah cerita padaku?"

"Aku... aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Aku takut kamu akan menjauhiku."

"Kamu seharusnya jujur padaku sejak awal," kata Anya dengan nada kecewa. "Aku tidak akan pernah mau menjadi orang ketiga dalam hubunganmu."

Reno mencoba menjelaskan, meminta maaf, dan memohon agar Anya memberinya kesempatan. Tapi Anya sudah tidak bisa mempercayainya lagi. Hatinya terlalu sakit untuk menerima penjelasan apa pun.

Anya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Reno. Ia memblokir nomornya, menghapus semua pesan mereka, dan berusaha melupakannya. Tapi luka di hatinya masih terasa perih.

Anya belajar sebuah pelajaran berharga dari pengalaman ini. Cinta instan di era serba digital memang bisa terasa manis dan menyenangkan. Tapi seringkali, kebahagiaan itu hanyalah ilusi. Hati yang terunduh cepat juga bisa dengan mudah dihapus dan diganti. Ia sadar, cinta sejati membutuhkan waktu, kejujuran, dan komitmen yang tulus. Bukan sekadar profil menarik dan percakapan manis di dunia maya. Anya berjanji pada dirinya sendiri, lain kali, ia akan lebih berhati-hati dalam memberikan hatinya. Ia akan mencari cinta yang nyata, bukan cinta yang hanya terunduh cepat.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI