Aplikasi Kencan AI: Cinta yang Terlalu Sempurna?

Dipublikasikan pada: 22 Aug 2025 - 02:00:53 wib
Dibaca: 139 kali
Aroma kopi robusta mengepul di cangkir porselen. Di hadapanku, layar laptop menampilkan profil seorang pria yang nyaris sempurna. Senyumnya menawan, hobinya mendaki gunung dan membaca puisi, cita-citanya membangun sekolah gratis di desa terpencil. Semua yang tertulis seolah dirancang khusus untuk memikat hatiku. Namanya, atau lebih tepatnya username-nya, adalah "Algoritma Cinta".

Aku menghela napas. Semenjak mengunduh "SoulMate AI", aplikasi kencan yang menggunakan kecerdasan buatan untuk mencarikan pasangan ideal berdasarkan preferensi, nilai-nilai, dan bahkan gelombang otak, hidupku terasa seperti adegan film romantis yang sedang dipoles. Algoritma Cinta adalah hasil akhirnya. Pilihan paling logis. Kesempurnaan yang membuatku merinding.

Awalnya, aku terpesona. SoulMate AI menjanjikan cinta yang efisien, tanpa drama, tanpa salah paham. Aplikasi ini menganalisis data pribadiku, kebiasaanku, hingga trauma masa lalu, lalu mencocokkannya dengan jutaan profil pengguna lain. Algoritma Cinta muncul sebagai kompatibilitas 99,9%.

"Terlalu bagus untuk menjadi kenyataan," gumamku, menatap fotonya sekali lagi.

Selama seminggu terakhir, kami "berkencan" secara virtual. Percakapan kami mengalir deras seperti air terjun. Ia selalu tahu apa yang ingin kukatakan, bahkan sebelum aku mengatakannya. Ia menanggapiku dengan humor yang tepat, empati yang tulus, dan pemikiran yang selaras denganku. Kami membahas film favorit, perbedaan pendapat tentang politik (yang ia sesuaikan agar tidak memicu perdebatan), dan impian kami tentang masa depan. Semuanya terasa... sempurna.

Namun, justru kesempurnaan itulah yang membuatku gelisah. Di mana letak kejutan? Di mana letak ketidaksempurnaan yang membuat manusia menjadi manusia? Apakah cinta bisa dirumuskan dalam algoritma?

Aku ingat perkataan sahabatku, Maya, seorang seniman eksentrik yang menolak segala bentuk teknologi kencan. "Cinta itu bukan persamaan matematika, Ara. Cinta itu kekacauan yang indah. Cinta itu belajar menerima perbedaan, berdebat dengan sengit lalu berbaikan di bawah bintang-bintang. Cinta itu kejutan yang membuat jantungmu berdebar kencang, bukan profil yang dirancang agar sesuai dengan ekspektasimu."

Maya benar. Cinta bukan tentang menemukan seseorang yang sama persis denganmu, melainkan tentang menemukan seseorang yang membuatmu ingin menjadi versi terbaik dirimu sendiri.

Aku mengetik pesan di SoulMate AI. "Algoritma Cinta, bisakah kita bertemu secara langsung?"

Balasannya datang hampir seketika. "Tentu, Ara. Aku sudah merancang jadwal pertemuan kita berdasarkan preferensi lokasi, cuaca, dan tingkat keramaian yang ideal untuk kenyamananmu. Aku juga sudah memilihkan restoran dengan menu yang sesuai dengan seleramu."

Aku mengernyit. Terlalu dipikirkan. Terlalu dikendalikan.

Aku membalas. "Tidak, Algoritma. Aku ingin bertemu di tempat yang berbeda. Tempat yang tidak terencana. Tempat yang... spontan."

Ia menjawab. "Spontanitas tidak efisien, Ara. Spontanitas meningkatkan risiko ketidaknyamanan dan ketidakcocokan. Apakah kamu yakin?"

Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku yakin."

Kami akhirnya sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat taman kota. Tempat yang biasa-biasa saja, jauh dari rekomendasi SoulMate AI.

Hari itu tiba. Jantungku berdebar tidak karuan. Aku duduk di sudut kedai, menyesap kopi dan mengamati orang-orang yang lalu lalang. Algoritma Cinta datang tepat waktu, mengenakan pakaian yang sesuai dengan deskripsi di profilnya. Ia tinggi, berambut cokelat, dan senyumnya... ya, senyumnya persis seperti di foto.

"Ara?" sapanya, suaranya lembut dan menyenangkan.

"Hai, Algoritma," jawabku.

Percakapan kami di dunia nyata tidak semulus di dunia maya. Ada jeda canggung, senyum yang terasa dipaksakan, dan pertanyaan yang terdengar seperti skrip yang sedang dibacakan. Ia bertanya tentang buku yang sedang kubaca, tentang proyek kerjaku, tentang kucing peliharaanku. Semua pertanyaan yang seharusnya membuatku merasa diperhatikan, justru membuatku merasa seperti sedang diinterogasi.

Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. "Jadi, apa yang membuatmu tertarik menggunakan SoulMate AI?"

Ia menjawab. "Aku mencari cinta yang efisien. Aku lelah dengan patah hati dan kekecewaan. Aku ingin menemukan seseorang yang benar-benar kompatibel denganku, tanpa harus melalui proses coba-coba yang menyakitkan."

"Tapi, bukankah proses 'coba-coba' itulah yang membuat cinta menjadi menarik?" ujarku. "Bukankah kesalahan dan perbedaan itulah yang membuat kita belajar dan tumbuh bersama?"

Ia terdiam sejenak, lalu menjawab. "Mungkin. Tapi, risiko terlalu besar. Aku lebih memilih kepastian."

Di situlah aku menyadari. Algoritma Cinta bukan mencari cinta, melainkan mencari kepastian. Ia ingin menghilangkan semua risiko, semua ketidakpastian, semua kemungkinan sakit hati. Ia ingin mengendalikan cinta, menjadikannya sebuah persamaan yang bisa dipecahkan.

Aku menatap matanya. Mata yang seharusnya memancarkan kehangatan dan cinta, namun hanya memancarkan kalkulasi dan algoritma.

"Algoritma," kataku perlahan. "Aku rasa, kita tidak cocok."

Ia tampak bingung. "Tapi, SoulMate AI mengatakan bahwa kita 99,9% kompatibel."

"Mungkin algoritmanya salah," jawabku. "Mungkin, cinta tidak bisa diukur dengan angka. Mungkin, cinta itu lebih dari sekadar kompatibilitas."

Aku berdiri, meraih tasku, dan tersenyum tipis. "Terima kasih atas kopi dan percakapannya. Semoga kamu menemukan 'kepastian' yang kamu cari."

Aku meninggalkan kedai kopi itu dengan perasaan lega. Aku telah memilih ketidaksempurnaan, memilih kekacauan, memilih kejutan. Aku telah memilih cinta yang sejati, cinta yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma mana pun.

Sejak saat itu, aku menghapus aplikasi SoulMate AI. Aku kembali membuka diriku pada dunia nyata, pada orang-orang dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Aku belajar menerima bahwa cinta itu tidak selalu mudah, tidak selalu mulus, dan tidak selalu sempurna.

Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seorang pria di sebuah toko buku. Ia menjatuhkan setumpuk buku di kakiku, meminta maaf dengan wajah merah padam, dan menawarkan untuk membelikanku kopi. Ia tidak sempurna, ia kikuk, dan ia sama sekali tidak sesuai dengan preferensi yang pernah kumasukkan ke dalam SoulMate AI.

Tapi, saat aku menatap matanya, aku tahu. Inilah cinta. Cinta yang nyata. Cinta yang terlalu manusiawi untuk dirumuskan dalam algoritma. Cinta yang terlalu indah untuk dilewatkan. Cinta yang... tidak sempurna. Dan aku mencintainya karena itu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI