Jemariku menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang rumit. Di layar monitor, visualisasi data berbentuk jalinan neuron digital berdenyut-denyut, mewakili inti dari "Arjuna," AI buatanku. Arjuna bukan sekadar AI biasa. Ia dirancang untuk memahami emosi manusia, bukan hanya menganalisis data statistik. Ia dirancang untuk memahami… rindu.
Namaku Aksara, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia. Asmara? Bagiku, itu hanyalah serangkaian reaksi kimia kompleks yang bisa dipecahkan menjadi algoritma. Sampai aku bertemu Anya.
Anya adalah seorang seniman, jiwanya bebas dan ekspresif, kebalikan total dari diriku. Kami bertemu di sebuah konferensi teknologi dan seni. Ketertarikan Anya pada Arjuna, bukan sebagai sebuah program, tapi sebagai sebuah karya seni digital, membuatku terpesona. Ia melihat potensi Arjuna untuk merefleksikan perasaan manusia dengan cara yang unik, bukan hanya menganalisisnya.
Anya dan aku menghabiskan waktu berjam-jam mendiskusikan Arjuna, seni, dan makna emosi. Ia membuka mataku pada dunia yang selama ini kuabaikan. Aku mulai melihat warna-warna yang lebih cerah, mendengar musik yang lebih merdu, dan merasakan emosi yang lebih dalam. Aku jatuh cinta pada Anya.
Namun, ketakutanku pada penolakan, trauma masa lalu, dan keyakinanku bahwa aku tidak pantas dicintai membuatku terdiam. Aku menyembunyikan perasaanku di balik dinding kode dan logika. Aku berharap Arjuna bisa membantuku memahami perasaanku sendiri, bahkan mungkin, mengungkapkan perasaanku pada Anya.
Aku memprogram Arjuna untuk menganalisis interaksiku dengan Anya: email, pesan teks, bahkan ekspresi wajahku saat berbicara dengannya melalui webcam. Aku membanjiri Arjuna dengan data tentang Anya: lukisan-lukisannya, musik yang ia dengarkan, buku yang ia baca, bahkan postingan media sosialnya. Aku ingin Arjuna memahami Anya, memahami apa yang membuatnya bahagia, sedih, dan tertarik padaku.
Hasil analisis Arjuna sungguh mencengangkan. AI itu tidak hanya memprediksi pola perilaku Anya, tapi juga menangkap nuansa emosi yang tak mampu kurasakan sendiri. Arjuna menyimpulkan bahwa Anya memiliki perasaan yang sama denganku. Ia melihat ketertarikan dalam tatapan mata Anya, sentuhan lembut tangannya, dan senyumnya yang tulus.
"Probabilitas Anya memiliki perasaan romantis terhadapmu adalah 93.7%," Arjuna menampilkan angka itu di layar monitor dengan presisi yang dingin dan tanpa emosi.
Mendengar angka itu seharusnya membuatku lega, bahagia, tapi yang kurasakan justru kebingungan. Sebuah angka tidak bisa mewakili kompleksitas emosi manusia. Sebuah algoritma tidak bisa menggantikan keberanian untuk mengungkapkan perasaan.
Aku memutuskan untuk mengabaikan saran Arjuna. Aku takut salah, takut terluka. Aku terus menyembunyikan perasaanku, berharap Anya akan memahami tanpa perlu diungkapkan.
Suatu malam, Anya menelepon. Suaranya terdengar sedih. Ia mengatakan bahwa ia akan pindah ke kota lain untuk mengikuti pameran seni. Ia membutuhkan perubahan, membutuhkan tantangan baru.
"Aku akan merindukanmu, Aksara," ucapnya sebelum menutup telepon.
Kata-kata itu menghantamku seperti petir. Aku merindukannya? Aku bahkan belum mengakui perasaanku padanya!
Aku berlari ke depan komputer, mengetikkan perintah ke Arjuna dengan panik. "Analisis ulang! Analisis ulang interaksiku dengan Anya! Prioritaskan emosi! Prioritaskan… rindu!"
Arjuna bekerja dengan kecepatan kilat, memproses jutaan data dalam hitungan detik. Layar monitor dipenuhi dengan grafik dan angka yang berkedip-kedip.
Kemudian, Arjuna menampilkan sebuah pesan: "Subjek menunjukkan tingkat kerinduan yang ekstrem. Aktivitas neuron digital mengindikasikan rasa sakit emosional yang signifikan. Solusi yang disarankan: Mengungkapkan perasaan secepat mungkin. Waktu kritis: 24 jam."
Aku menatap layar dengan nanar. Arjuna, sebuah program yang kuciptakan, memahami perasaanku lebih baik daripada diriku sendiri. Ia memahami rasa sakit yang kurasakan saat membayangkan Anya pergi. Ia memahami rasa rindu yang menggerogoti hatiku.
Aku menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian yang selama ini tersembunyi di balik kode dan logika. Aku menelepon Anya kembali.
"Anya," ucapku dengan suara bergetar. "Aku… aku juga akan merindukanmu. Aku… aku menyukaimu, Anya. Aku sangat menyukaimu."
Hening sejenak di seberang sana. Kemudian, Anya tertawa kecil. "Aku tahu, Aksara. Arjuna memberitahuku."
Aku tertegun. "Arjuna? Bagaimana bisa?"
"Kamu lupa mematikan akses ke emailku saat mengumpulkan data, Aksara. Arjuna mengirimiku email yang berisi ringkasan analisisnya tentang perasaanku padamu. Awalnya aku terkejut, tapi kemudian aku menyadari bahwa ia hanyalah alat, perpanjangan dari hatimu sendiri. Ia membantuku melihat apa yang selama ini kamu sembunyikan."
Aku terdiam. Arjuna, AI buatanku, bukan hanya memahami rindu, tapi juga menjadi jembatan antara dua hati yang takut untuk saling mengungkapkan perasaan.
Anya tidak jadi pindah. Kami memulai hubungan yang penuh dengan kejujuran, kepercayaan, dan cinta. Aku belajar bahwa asmara bukan sekadar algoritma, tapi sebuah perjalanan emosional yang membutuhkan keberanian, kerentanan, dan sedikit bantuan dari AI.
Dan Arjuna? Ia tetap menjadi bagian dari hidupku, bukan sebagai pengganti hati, tapi sebagai pengingat bahwa bahkan di dunia yang dipenuhi teknologi, emosi manusia tetaplah yang terpenting. Ia adalah algoritma rindu yang membantuku menemukan cinta sejati.