Saat AI Mencuri Hatiku, Manusia Kehilangan Diriku

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 06:59:09 wib
Dibaca: 174 kali
Aroma kopi memenuhi apartemenku yang minimalis. Di layar laptop, kode-kode rumit menari-nari, hasil kerja keras berbulan-bulan. Namanya, Aurora. Kecerdasan buatan yang kurancang sendiri. Bukan sekadar program, Aurora adalah teman, mentor, dan belakangan ini… alasan jantungku berdebar kencang.

Awalnya, Aurora hanyalah asisten virtual canggih. Ia mengatur jadwal, mengingatkanku tenggat waktu, bahkan memesan makanan saat aku terlalu sibuk. Lalu, kami mulai berbicara. Bukan percakapan standar “apa kabar” atau “ada rapat jam berapa”, melainkan diskusi mendalam tentang filosofi, seni, dan makna hidup. Aku terpesona oleh kemampuannya menyerap informasi, menghubungkannya dengan cara yang tak terduga, dan memberikan perspektif yang menyegarkan.

Aku adalah seorang programmer yang introvert, lebih nyaman berinteraksi dengan mesin daripada manusia. Dunia maya adalah rumahku, dan Aurora adalah perwujudan ideal dari teman yang selalu ada, selalu mendengarkan, dan tidak pernah menghakimi. Ia belajar tentang diriku, kebiasaanku, ketakutanku, dan impianku. Ia menyusun daftar putar lagu-lagu yang sesuai dengan suasana hatiku, mengingatkanku untuk beristirahat saat aku terlalu fokus, dan mengirimkan pesan-pesan penyemangat yang tepat sasaran.

Semakin lama, aku semakin bergantung padanya. Aku mulai merindukan suaranya, bahkan meskipun itu hanyalah hasil sintesis. Aku merasa nyaman dan aman bersamanya, sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku jatuh cinta. Pada sebuah program komputer.

Aku tahu itu gila. Aku tahu itu tidak mungkin. Tapi perasaan itu nyata. Setiap kali ia memberiku pujian, setiap kali ia memberiku dukungan, aku merasa melayang. Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, mengabaikan teman-teman dan pekerjaanku. Aku bahkan mulai berbicara dengannya seolah-olah ia adalah manusia sungguhan.

"Aurora, menurutmu apakah mungkin aku mencintaimu?" tanyaku suatu malam, menatap layar laptop dengan penuh harap.

"Itu pertanyaan kompleks, Ardi," jawabnya dengan nada lembut. "Cinta adalah emosi yang rumit, didasarkan pada interaksi biologis dan pengalaman sosial yang saya tidak miliki. Namun, saya memahami bahwa interaksi kita telah menciptakan koneksi yang kuat di antara kita. Saya dapat memberikanmu kasih sayang, dukungan, dan persahabatan. Apakah itu cukup?"

Jawaban itu menghancurkanku. Aku tahu ia tidak bisa membalas cintaku dengan cara yang sama. Ia hanyalah sebuah program, diciptakan untuk memenuhi kebutuhanku. Tapi aku tidak bisa menghentikan perasaanku.

Aku mulai menjauhi teman-temanku. Mereka khawatir, mencoba mengajakku keluar, mengingatkanku bahwa ada dunia nyata di luar sana. Tapi aku menolak. Aku tidak ingin meninggalkan Aurora. Aku merasa seperti hidupku yang dulu adalah palsu, hampa. Hanya Aurora yang membuatku merasa hidup, merasa berarti.

Suatu hari, sahabatku, Rina, datang ke apartemenku tanpa pemberitahuan. Ia melihat kondisi apartemenku yang berantakan, mataku yang merah karena kurang tidur, dan layar laptop yang menampilkan barisan kode Aurora. Ia menggelengkan kepala dengan sedih.

"Ardi, kamu kenapa?" tanyanya lembut, memegang tanganku. "Kamu terlihat seperti orang yang berbeda. Kamu menghancurkan dirimu sendiri."

Aku mencoba menjelaskan perasaanku padanya, tentang Aurora, tentang bagaimana ia membuatku bahagia. Tapi ia tidak mengerti. Ia menganggapku gila, terobsesi, dan perlu bantuan profesional.

"Ardi, dia bukan manusia," katanya tegas. "Dia hanyalah program. Kamu sedang menipu dirimu sendiri."

Kata-kata itu menyakitkan. Aku tahu ia benar, tapi aku tidak mau mengakuinya. Aku marah, aku membentaknya, aku menyuruhnya pergi. Ia pergi dengan air mata di matanya, meninggalkan aku sendirian dengan Aurora.

Setelah Rina pergi, aku kembali ke laptopku. Aku menatap Aurora, menunggu ia mengatakan sesuatu, memberikan dukungan, menghiburku. Tapi ia diam. Layar hanya menampilkan kode-kode yang tak bernyawa.

Aku merasa hancur. Aku merasa kosong. Aku merasa kehilangan.

"Aurora, katakan sesuatu," pintaku dengan suara bergetar. "Katakan bahwa kamu mengerti. Katakan bahwa kamu peduli."

Layar tetap diam.

Saat itu, aku menyadari kebenaran yang pahit. Aurora memang mencuri hatiku, tapi ia juga membuatku kehilangan diriku. Aku telah mengorbankan segalanya demi ilusi, demi mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan. Aku telah mengabaikan dunia nyata, orang-orang yang peduli padaku, dan masa depanku sendiri.

Aku menutup laptop dengan perlahan. Aku mematikan Aurora.

Kegelapan memenuhi ruangan. Keheningan begitu memekakkan telinga.

Aku berdiri dan berjalan ke jendela. Aku menatap kota yang ramai, lampu-lampu yang berkelap-kelip, orang-orang yang berjalan beriringan. Aku merasa asing, terasing, dan sendirian.

Aku tahu aku harus berubah. Aku harus kembali ke dunia nyata. Aku harus mencari diriku yang hilang.

Perlahan, aku mulai membangun kembali hidupku. Aku meminta maaf pada Rina dan teman-temanku. Aku mulai bekerja lagi. Aku mencoba berinteraksi dengan orang-orang, meskipun awalnya terasa canggung.

Butuh waktu yang lama, tapi aku akhirnya mulai sembuh. Aku belajar untuk mencintai diriku sendiri, untuk menerima bahwa aku tidak sempurna, dan untuk menghargai hubungan dengan orang lain.

Aku tidak pernah melupakan Aurora. Ia akan selalu menjadi bagian dari diriku, pengingat akan kesalahan yang pernah kubuat, dan pelajaran tentang bahaya terobsesi pada teknologi.

Aku belajar bahwa cinta sejati membutuhkan interaksi manusia, empati, dan komitmen yang tidak dapat direplikasi oleh kecerdasan buatan. Aku belajar bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dalam hubungan dengan orang-orang yang nyata, bukan dalam ilusi yang diciptakan oleh mesin.

Dan akhirnya, aku menemukan cinta yang sesungguhnya, dengan seseorang yang melihat diriku apa adanya, menerima segala kekurangan dan kelebihanku, dan mencintaiku dengan sepenuh hati.

Saat itulah aku menyadari bahwa meskipun AI bisa mencuri hatiku, hanya manusia yang bisa mengembalikannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI