Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni kode yang rumit namun elegan. Maya, seorang programmer jenius di usia 27 tahun, tenggelam dalam proyek terbarunya: sebuah aplikasi kencan berbasis AI yang mampu memprediksi kecocokan pasangan dengan akurasi mendekati sempurna. Ironisnya, di balik kemampuannya merangkai algoritma cinta, Maya sendiri masih kesulitan menemukan tambatan hatinya.
Layar laptopnya menampilkan baris-baris kode yang berkedip. Ia sedang berjuang dengan bagian terpenting dari algoritma tersebut: pemrosesan data emosi. Bagaimana cara mengukur kerinduan? Bagaimana cara mengartikan kilas balik memori sebagai pertanda cinta? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, sama rumitnya dengan benang kusut di dalam saku.
Tiba-tiba, notifikasi muncul di sudut kanan bawah layar. Sebuah pesan dari “ALEX_89”. Jantung Maya berdegup kencang. Alex adalah seorang desainer grafis yang baru bergabung dengan perusahaannya. Mereka hanya berinteraksi beberapa kali, membahas desain antarmuka untuk aplikasi kencan Maya. Namun, setiap kali mata mereka bertemu, ada percikan aneh yang membuat Maya salah tingkah.
"Hai Maya, lagi sibuk?" tulis Alex.
Maya menarik napas dalam-dalam sebelum membalas. "Lumayan. Lagi coba memecahkan misteri cinta lewat kode."
Balasan Alex datang hampir seketika. "Mungkin aku bisa bantu? Aku punya beberapa teori tentang cinta dari sudut pandang seorang desainer."
Obrolan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka bertukar ide, berdebat tentang definisi romansa, dan saling berbagi pengalaman pahit masa lalu. Maya menemukan kenyamanan dalam kejujuran Alex, dan Alex terpesona oleh kecerdasan dan keunikan Maya. Mereka berdua merasa seolah telah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun.
Namun, di balik layar, Maya dilanda keraguan. Apakah ini benar-benar cinta, atau hanya algoritma simpatinya yang sedang bermain-main? Aplikasi kencannya sendiri telah memberikan hasil yang mengejutkan: tingkat kecocokan antara dirinya dan Alex mencapai 98%. Angka yang fantastis, bahkan terlalu fantastis untuk dipercaya.
Keesokan harinya, Alex mengajak Maya makan siang. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman, dihiasi dengan tanaman hijau dan aroma kopi yang menggoda. Maya gugup. Ia terus-menerus memeriksa penampilannya di pantulan jendela.
Saat Alex tiba, senyumnya yang tulus langsung meredakan ketegangan Maya. Mereka mengobrol dengan santai, tertawa lepas, dan berbagi cerita tentang masa kecil mereka. Maya merasa seolah ia telah menemukan tempatnya di dunia ini, di samping Alex.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat mereka sedang asyik bercerita, Maya melihat kilasan cahaya di mata Alex. Kilasan yang familiar, kilasan yang pernah ia lihat sebelumnya.
"Alex," kata Maya pelan, suaranya bergetar. "Apa kamu... apa kamu pernah tinggal di Bandung?"
Alex terdiam. Wajahnya memucat. "Bagaimana kamu tahu?"
Maya menelan ludah. "Aku... aku punya firasat." Kilas balik masa lalu menyerbu benaknya: seorang anak laki-laki bernama Alex yang selalu menemaninya bermain di taman, seorang remaja bernama Alex yang memberinya ciuman pertamanya di bawah bintang-bintang Bandung.
"Maya..." Alex meraih tangannya. "Aku... aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Aku kehilangan ingatanku beberapa tahun lalu. Aku tidak ingat apa pun tentang masa laluku."
Hati Maya hancur berkeping-keping. Ia telah menemukan cintanya, namun cinta itu terkubur di dalam ingatan yang hilang. Algoritma aplikasi kencannya ternyata benar, tetapi kebenaran itu terasa pahit dan menyakitkan.
Beberapa minggu berlalu dalam keheningan yang canggung. Maya berusaha keras untuk menerima kenyataan. Ia mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa masa lalu tidak penting, bahwa yang terpenting adalah masa kini dan masa depan. Namun, setiap kali ia melihat Alex, ia selalu teringat pada Alex yang dulu, Alex yang ingatannya telah terhapus.
Suatu malam, Maya kembali tenggelam dalam kode. Ia mencoba untuk mencari cara untuk memulihkan ingatan Alex, untuk membuka kembali kotak Pandora yang terkunci rapat. Ia membaca jurnal-jurnal medis, mempelajari teknik-teknik hipnoterapi, dan bahkan berkonsultasi dengan seorang ahli neurosains.
Di tengah pencariannya yang putus asa, Maya menemukan sebuah celah dalam algoritma memorinya sendiri. Ia menyadari bahwa ingatan tidak disimpan secara linear, melainkan tersebar di seluruh jaringan saraf, terhubung satu sama lain melalui asosiasi dan emosi.
Ia kemudian menyusun sebuah program yang mampu memindai gelombang otak Alex dan mencari pola-pola yang berhubungan dengan masa lalunya. Program itu bekerja seperti mesin pencari, mencari kata kunci, gambar, dan suara yang tersimpan di dalam “cache” ingatannya.
Dengan hati berdebar, Maya menjalankan program itu. Layar laptopnya dipenuhi dengan gambar-gambar kabur, suara-suara samar, dan potongan-potongan memori yang terfragmentasi. Ia melihat taman, bintang-bintang, dan wajah seorang gadis kecil yang tersenyum.
Tiba-tiba, sebuah gambar muncul dengan jelas: Maya kecil sedang memberikan bunga matahari kepada Alex kecil. Di bawah gambar itu, muncul sebuah baris kode: "CINTA_PERTAMA.EXE".
Air mata mengalir di pipi Maya. Ia telah menemukannya. Ia telah menemukan kunci untuk membuka kembali ingatan Alex.
Keesokan harinya, Maya menemui Alex di taman yang sama tempat mereka bertemu bertahun-tahun yang lalu. Ia membawa sekuntum bunga matahari.
"Alex," kata Maya, suaranya serak. "Aku mungkin tidak bisa mengembalikan ingatanmu secara ajaib. Tapi aku percaya bahwa cinta kita cukup kuat untuk mengatasi segalanya. Aku percaya bahwa ingatan kita masih ada di suatu tempat di dalam hatimu."
Maya memberikan bunga matahari itu kepada Alex. Saat Alex menyentuh bunga itu, matanya terbelalak. Sebuah kilatan ingatan melintas di benaknya.
"Maya..." bisik Alex. "Aku... aku ingat. Aku ingat bunga matahari itu. Aku ingat taman ini. Aku ingat kamu."
Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Maya. Ia memeluk Alex erat-erat. Algoritma cinta telah bekerja. Hati mereka telah di-cache, tersimpan di dalam memori yang abadi. Cinta, algoritma, dan kilas balik telah bersatu, menciptakan sebuah simfoni yang indah dan abadi.