Algoritma Takdir: Cinta Diprogram, Hati Memberontak?

Dipublikasikan pada: 03 Nov 2025 - 01:20:12 wib
Dibaca: 141 kali
Aplikasi itu bernama "Soulmate Script". Konsepnya sederhana: sebuah algoritma kompleks yang menganalisis data personal, preferensi, bahkan gelombang otak penggunanya untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Luna awalnya skeptis, tapi dorongan rasa penasaran dan tekanan dari teman-temannya membuatnya mengunduh aplikasi itu. Toh, apa salahnya mencoba? Pikirnya.

Luna bekerja sebagai desainer UI/UX di sebuah perusahaan startup yang bergerak di bidang kecerdasan buatan. Hidupnya berkutat dengan kode, warna, dan tumpukan cangkir kopi yang tak terhitung jumlahnya. Romansa? Hampir terlupakan. Maka, Soulmate Script terdengar seperti solusi instan, jalan pintas menuju kebahagiaan yang selama ini ia abaikan.

Setelah mengisi profil dengan jujur – mungkin terlalu jujur – Luna menunggu. Algoritma itu bekerja keras, memilah jutaan data, mempertimbangkan berbagai variabel. Tiga hari kemudian, sebuah notifikasi muncul di layarnya.

"Kandidat Ideal Telah Ditemukan: Adam Pratama."

Luna mengklik profil Adam dengan jantung berdebar. Fotografer lepas, pecinta buku, pendengar musik indie, dan aktivis lingkungan. Secara teori, Adam sempurna. Kesamaan mereka bagaikan daftar belanjaan yang dicocokkan dengan cermat. Mereka berdua menyukai kopi hitam tanpa gula, film-film klasik, dan benci keramaian. Soulmate Script benar-benar melakukan tugasnya dengan baik.

Mereka mulai berkencan. Segalanya terasa begitu...terprogram. Adam selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana harus bersikap, dan di mana harus membawa Luna. Kencan pertama di kedai kopi kecil dengan suasana hangat. Kencan kedua di pameran seni fotografi yang menampilkan karya-karya Adam sendiri. Kencan ketiga, piknik romantis di taman kota. Semua terasa indah, terencana, dan sedikit...hambar.

"Kamu tahu, Adam," kata Luna suatu malam setelah mereka menonton film dokumenter tentang perubahan iklim, "rasanya kita seperti sedang membaca naskah."

Adam tersenyum, senyum yang menurut Luna, terlalu sempurna. "Mungkin karena kita berdua adalah karakter utama dalam naskah yang sama, Luna. Naskah kebahagiaan."

Kata-kata itu seharusnya membuat Luna bahagia, tapi malah membuatnya merinding. Apakah kebahagiaan bisa diprogram? Apakah cinta bisa direduksi menjadi algoritma? Hatinya memberontak.

Suatu sore, Luna tidak sengaja bertemu dengan seorang pria bernama Rio di sebuah toko buku bekas. Rio adalah kebalikan dari Adam. Ceroboh, berantakan, dan bicara ceplas-ceplos. Ia seorang musisi jalanan dengan rambut gondrong dan gitar akustik lusuh. Mereka bertengkar karena berebut buku puisi yang sama, dan pertengkaran itu berakhir dengan tawa.

Rio mengundang Luna untuk menonton penampilannya di sebuah kafe kecil malam itu. Luna awalnya ragu. Ia seharusnya makan malam romantis dengan Adam di restoran mewah yang sudah dipesan jauh-jauh hari. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya.

Kafe itu penuh sesak dan berisik. Rio berdiri di panggung kecil dengan gitar di tangannya, memancarkan aura yang karismatik dan apa adanya. Ia menyanyikan lagu-lagu ciptaannya sendiri, lirik yang jujur dan menyentuh. Luna terpaku. Ada sesuatu yang otentik dan mentah tentang Rio yang tidak ia temukan dalam diri Adam.

Setelah penampilannya, Rio menghampiri Luna dengan senyum lebar. "Jadi, apa pendapatmu?"

"Luar biasa," jawab Luna jujur. "Kamu punya bakat yang luar biasa."

"Terima kasih. Aku bisa merasakan kamu adalah seseorang yang menghargai kejujuran dalam musik."

Mereka menghabiskan malam itu berbicara. Tentang mimpi, ketakutan, dan kegagalan. Rio tidak berusaha menjadi orang lain. Ia tidak berusaha memenuhi harapan Luna. Ia hanya menjadi dirinya sendiri, dan itu sudah cukup.

Luna menyadari sesuatu. Algoritma bisa mencocokkan preferensi, tapi tidak bisa menciptakan koneksi. Cinta bukan tentang kesamaan, tapi tentang bagaimana dua perbedaan saling melengkapi. Cinta bukan tentang kepastian, tapi tentang keberanian untuk mengambil risiko.

Luna memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Adam. Adam menerima keputusan itu dengan tenang. "Mungkin algoritma Soulmate Script belum sempurna," ujarnya tanpa emosi.

Luna meninggalkan Adam dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersalah karena telah menyakiti pria yang secara teori sempurna untuknya. Tapi ia juga merasa lega karena telah mengikuti kata hatinya.

Ia menemukan Rio di taman kota, sedang bermain gitar untuk sekelompok anak kecil. Luna duduk di sampingnya dan mendengarkan musiknya.

"Aku putus dengan Adam," kata Luna setelah Rio selesai bernyanyi.

Rio berhenti bermain dan menatap Luna dengan tatapan lembut. "Aku tahu."

"Kamu tahu?"

"Aku tahu karena aku bisa melihatnya di matamu. Kamu tidak bahagia."

Luna tersenyum. "Aku mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi aku tahu bahwa aku ingin menghabiskan waktu bersamamu."

Rio meletakkan gitarnya dan meraih tangan Luna. "Aku juga."

Mereka berpegangan tangan, saling menatap dalam diam. Di mata Rio, Luna melihat sesuatu yang tidak bisa diprogram, sesuatu yang tidak bisa dianalisis oleh algoritma. Ia melihat cinta yang tulus, cinta yang tidak sempurna, tapi nyata.

Algoritma mungkin bisa menemukan kecocokan, tapi hanya hati yang bisa menemukan cinta. Dan kadang-kadang, pemberontakan hati adalah satu-satunya cara untuk menemukan takdir yang sebenarnya. Luna tidak tahu ke mana hubungan mereka akan mengarah, tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan membiarkan algoritma mendikte hatinya lagi. Ia akan mengikuti melodi yang dimainkan oleh takdirnya sendiri, melodi yang penuh dengan ketidakpastian, kejutan, dan kemungkinan yang tak terbatas.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI