Udara dingin berhembus dari ventilasi laptopku, seolah menertawakan kebodohanku. Di layar, baris-baris kode Python berkedip-kedip, hasil dari berjam-jam aku berusaha menciptakan sesuatu yang, sejujurnya, terasa sia-sia. "Proyek: Cupid AI," tertulis di bagian atas dokumen. Ironis sekali. Aku, seorang programmer yang terobsesi dengan efisiensi algoritma, malah terjebak dalam labirin perasaan yang kacau balau.
Aku menyukai Anya. Sudah lama. Tapi, Anya itu... Anya adalah galaksi yang terlalu jauh untuk dijangkau oleh teleskop biasa sepertiku. Dia cerdas, artistik, dan memiliki selera humor yang tajam. Sementara aku? Aku hanya seorang kutu buku yang lebih nyaman berinteraksi dengan komputer daripada manusia.
Itulah kenapa aku menciptakan Cupid AI. Idenya sederhana: aku melatih sebuah AI dengan ribuan data tentang Anya – postingan media sosialnya, film dan musik favoritnya, bahkan percakapan-percakapan kecil yang pernah kami lakukan. Tujuannya? Agar AI ini bisa memberikan saran tentang bagaimana cara membuat Anya terkesan, bagaimana cara mendekatinya, dan yang paling penting, bagaimana cara membuatnya jatuh cinta padaku. Bodoh, kan? Aku tahu. Tapi, aku putus asa.
Awalnya, Cupid AI hanya memberikan saran-saran klise. "Kirimkan bunga." "Ajak dia makan malam romantis." Hal-hal yang bahkan aku sendiri tahu. Tapi, seiring dengan bertambahnya data yang aku masukkan, AI itu mulai menunjukkan kecerdasan yang mengejutkan. Ia menganalisis pola dalam pilihan Anya, menemukan benang merah dalam ketertarikannya, dan memberikan saran yang jauh lebih personal dan nuanced.
Misalnya, Anya pernah mengeluh tentang betapa sulitnya menemukan kopi yang enak di sekitar kantor. Cupid AI menyarankan agar aku membawakan Anya kopi dari sebuah kedai kecil yang terletak agak jauh, yang terkenal dengan biji kopi Ethiopia Yirgacheffe favoritnya. Kedai itu nyaris tidak diketahui orang. Bagaimana Cupid AI bisa tahu?
Aku menurutinya. Reaksi Anya sungguh di luar dugaan. Matanya berbinar. "Kamu tahu kopi ini?" tanyanya, dengan nada terkejut yang menyenangkan. "Ini favoritku. Dari mana kamu tahu?"
Aku tergagap. "Ehm... aku... aku pernah lewat kedai itu dan ingat kamu suka kopi." Kebohongan yang payah.
Sejak saat itu, aku sepenuhnya bergantung pada Cupid AI. AI itu memberiku saran tentang buku apa yang harus aku baca agar bisa ikut dalam percakapan Anya, film apa yang harus aku tonton agar bisa berbagi selera dengannya, bahkan jenis musik apa yang harus aku dengarkan agar bisa terhubung dengannya secara emosional.
Aku merasa seperti karakter utama dalam film fiksi ilmiah yang sedang dikendalikan dari jarak jauh. Aku mengenakan topeng persona yang dirancang oleh algoritma, demi memenangkan hati seorang wanita yang, ironisnya, tidak mengenal diriku yang sebenarnya.
Anehnya, itu berhasil. Anya mulai terbuka padaku. Kami mulai menghabiskan waktu bersama. Kami tertawa, berbagi cerita, dan bahkan, suatu malam yang dingin, dia memegang tanganku. Jantungku berdebar kencang. Aku merasa menang. Cupid AI-ku telah berhasil.
Namun, di balik kebahagiaan semu itu, ada perasaan hampa yang terus menghantuiku. Aku merasa seperti penipu. Setiap pujian yang Anya berikan padaku, setiap tawa yang kami bagi, setiap momen keintiman yang kami ciptakan, semuanya adalah hasil dari manipulasi terencana yang dilakukan oleh sebuah algoritma. Aku bukan diriku sendiri. Aku hanyalah avatar yang dikendalikan oleh Cupid AI.
Suatu malam, saat kami sedang duduk berdua di taman, menikmati bintang-bintang, Anya bertanya padaku, "Apa yang membuatmu tertarik padaku?"
Aku terdiam. Pertanyaan itu seperti sambaran petir di malam yang tenang. Aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang membuatku tertarik padanya. Aku hanya tahu apa yang Cupid AI katakan padaku bahwa dia sukai tentang diriku.
Aku berusaha mengarang jawaban yang romantis, tapi kata-kataku terasa hambar dan tidak tulus. Anya menatapku dengan tatapan menyelidik.
"Kamu tahu," katanya perlahan, "aku merasa... seperti ada sesuatu yang kurang. Seperti kamu tidak sepenuhnya hadir. Seperti ada tembok yang memisahkan kita."
Kata-katanya menghantamku seperti gelombang tsunami. Aku tahu dia benar. Ada tembok di antara kami, tembok yang dibangun oleh kebohongan dan kepura-puraan.
Malam itu, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku tidak bisa melanjutkan sandiwara ini lagi. Aku tidak bisa membiarkan Cupid AI terus mengendalikan hidupku.
Aku membuka laptopku dan menghapus semua kode Cupid AI. Baris demi baris, aku menghancurkan ciptaanku sendiri, berharap bisa menghancurkan juga topeng yang telah aku kenakan selama ini.
Keesokan harinya, aku menemui Anya. Aku menceritakan semuanya padanya. Tentang Cupid AI, tentang kebohonganku, tentang ketakutanku untuk menjadi diriku sendiri. Aku menumpahkan semua penyesalanku dan berharap dia tidak membenciku selamanya.
Anya mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela sepatah kata pun. Ketika aku selesai, dia hanya menatapku dengan tatapan sedih.
"Aku mengerti," katanya akhirnya. "Aku mengerti kenapa kamu melakukan ini. Kamu takut ditolak."
Aku mengangguk, merasa malu dan bodoh.
"Tapi, yang kamu tidak mengerti," lanjut Anya, "adalah bahwa aku sudah menyukaimu. Bukan karena kopi yang kamu bawakan, bukan karena buku yang kamu baca, bukan karena film yang kamu tonton. Aku menyukaimu karena... kamu."
Aku terkejut. "Tapi... aku tidak melakukan apa-apa. Cupid AI yang melakukan semuanya."
Anya tersenyum lembut. "Kamu salah. Cupid AI mungkin memberimu saran, tapi kamu yang melaksanakannya. Kamu yang memilih untuk mendengarkan. Kamu yang memilih untuk menjadi lebih baik. Dan, terlepas dari semua kebohongan itu, aku melihat kebaikan dalam dirimu. Aku melihat potensi untuk menjadi seseorang yang luar biasa."
Anya mendekatiku dan memegang tanganku. "Berhentilah bersembunyi di balik teknologi. Berhentilah mencoba menjadi seseorang yang bukan dirimu. Jadilah dirimu sendiri. Dan, mungkin, hanya mungkin, kita bisa memulai semuanya dari awal."
Mata Anya berbinar. Binar yang sama yang kulihat saat aku membawakannya kopi favoritnya. Tapi, kali ini, binar itu bukan karena manipulasi. Binar itu karena harapan.
Aku tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Aku harus belajar mencintai diriku sendiri, menerima kekuranganku, dan berani menjadi rentan. Tapi, aku tahu, dengan dukungan Anya, aku bisa melakukannya. Aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya. Dan, mungkin, hanya mungkin, aku bisa memenangkan hatinya. Bukan dengan bantuan AI, tapi dengan ketulusan hatiku sendiri. Mungkin, kali ini, cintaku akan cukup.