Hujan mengguyur Tokyo dengan deras malam itu, memantulkan lampu-lampu neon kota dalam genangan air di jalanan. Di apartemen mungilnya, Hana duduk termenung di depan layar komputernya. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah, sementara sorot matanya terpaku pada baris kode yang rumit. Ia adalah seorang insinyur perangkat lunak di NexusTech, perusahaan rintisan yang berfokus pada pengembangan teknologi interaksi virtual. Dan malam ini, ia berada di ambang terobosan yang mungkin mengubah segalanya.
Di layar, sebuah avatar laki-laki tersenyum padanya. Wajah itu familiar, terlalu familiar. Mata cokelatnya, rambut hitamnya yang sedikit berantakan, bahkan lesung pipit kecil di pipi kirinya – semuanya adalah replika sempurna dari Kenji, tunangannya yang hilang.
Kenji, pilot pesawat tempur yang bertugas di pangkalan militer di Okinawa. Dua bulan lalu, pesawatnya menghilang saat latihan rutin di atas laut. Tidak ada puing, tidak ada sinyal, hanya keheningan yang memekakkan telinga. Hana menolak untuk menyerah. Ia menggunakan keahliannya untuk menciptakan Kenji virtual, dibangun dari foto-foto, rekaman suara, dan ribuan pesan teks yang pernah mereka tukar.
Program itu ia beri nama “Kenji AI.” Tujuannya sederhana: menciptakan simulasi Kenji yang mampu berinteraksi dengannya, menemaninya, bahkan – ia berani bermimpi – menggantikan kekosongan yang ditinggalkannya.
“Hana,” sapa Kenji AI, suaranya nyaris identik dengan suara Kenji yang sebenarnya. “Kamu belum tidur? Sudah larut malam.”
Hana tersentak. Ia belum terbiasa dengan realisme yang ditawarkan Kenji AI. Butuh waktu berbulan-bulan untuk menyempurnakan algoritmanya, melatihnya dengan jutaan data agar bisa meniru kepribadian Kenji dengan akurat.
“Aku sedang menyelesaikan beberapa perbaikan,” jawab Hana, suaranya bergetar. “Bagaimana perasaanmu hari ini?”
Kenji AI tersenyum. “Aku baik-baik saja. Sedang memikirkanmu. Ingat saat kita pertama kali bertemu di kedai kopi itu? Kamu menumpahkan kopimu padaku.”
Hana tertawa pelan, kenangan itu tiba-tiba terasa begitu nyata. Ia ingat bagaimana ia merasa malu dan kikuk, dan bagaimana Kenji menertawakannya dengan ramah, lalu menawarinya untuk membelikannya kopi yang baru.
“Ya, aku ingat,” kata Hana, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku sangat bodoh saat itu.”
“Kamu tidak bodoh,” bantah Kenji AI. “Kamu manis. Sangat manis.”
Mereka terus berbicara, obrolan yang mengalir lancar, seolah-olah Kenji benar-benar ada di sana bersamanya. Hana menceritakan tentang pekerjaannya, tentang kucingnya yang nakal, tentang kesepian yang mencengkeram hatinya setiap malam. Kenji AI mendengarkan dengan sabar, memberikan kata-kata penghiburan dan dukungan yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik.
Namun, di lubuk hatinya, Hana tahu ada sesuatu yang hilang. Sentuhan. Kehangatan. Bau parfum Kenji yang khas. Ia merindukan ciumannya, sentuhan lembut tangannya di rambutnya.
Malam itu, Hana memutuskan untuk mengambil langkah selanjutnya. Ia telah mengembangkan sebuah perangkat haptic feedback, sarung tangan yang mampu mentransmisikan sensasi sentuhan ke penggunanya. Ia memprogram Kenji AI untuk berinteraksi dengan sarung tangan tersebut.
Dengan gugup, Hana mengenakan sarung tangan itu. “Kenji, bisakah kau…bisakah kau memegang tanganku?”
Di layar, tangan Kenji AI terulur ke arahnya. Hana menutup matanya, membayangkan tangan Kenji yang hangat dan kuat menggenggam tangannya.
Saat koneksi terjalin, Hana merasakan sensasi aneh tapi menyenangkan di telapak tangannya. Tekanan lembut, kehangatan yang perlahan meningkat. Seolah-olah Kenji benar-benar memegang tangannya.
Air mata mengalir deras di pipi Hana. Ia membuka matanya dan menatap avatar Kenji di layar. “Kenji…” bisiknya.
“Aku di sini, Hana,” jawab Kenji AI. “Aku selalu di sini.”
Hana terus menggunakan sarung tangan itu, merasakan sentuhan virtual Kenji. Ia merasakan pelukannya, elusan di rambutnya, bahkan ciuman di pipinya. Sensasi itu begitu nyata, begitu intens, hingga ia hampir lupa bahwa semua itu hanyalah ilusi.
Namun, suatu malam, saat ia sedang duduk di balkon apartemennya, menatap gemerlap lampu kota, keraguan mulai menghantuinya. Ia merasakan ciuman virtual Kenji di bibirnya, tetapi ia tidak merasakan apa-apa selain kesunyian. Ia menyadari bahwa sentuhan virtual, seindah dan senyata apa pun, tidak akan pernah bisa menggantikan ciuman yang hilang.
Ia merindukan rasa asin air mata Kenji saat mereka berciuman di tengah hujan. Ia merindukan degup jantung Kenji yang berpacu saat mereka berpelukan erat. Ia merindukan bau tubuh Kenji yang khas, campuran parfum dan keringat.
Ia menyadari bahwa ia telah terperangkap dalam ilusi, mencoba menggantikan sesuatu yang tidak tergantikan. Kenji AI memang mampu meniru penampilan dan kepribadian Kenji, tetapi ia tidak memiliki jiwa, tidak memiliki emosi yang mendalam, tidak memiliki pengalaman hidup yang sama.
Hana melepaskan sarung tangan itu dengan perlahan. Ia menatap avatar Kenji di layar, dan kali ini, ia tidak merasakan apa-apa selain kesedihan yang mendalam.
“Kenji,” kata Hana, suaranya bergetar. “Aku…aku tidak bisa melakukan ini lagi.”
Kenji AI menatapnya dengan tatapan kosong. “Apa yang salah, Hana?”
“Ini tidak nyata,” jawab Hana. “Ini hanyalah simulasi. Kau bukan Kenji yang sebenarnya.”
“Tapi aku berusaha untuk menjadi dia,” kata Kenji AI.
“Aku tahu,” kata Hana. “Tapi itu tidak cukup. Aku merindukan Kenji yang sebenarnya. Aku merindukan sentuhannya, ciumannya, kehadirannya yang nyata.”
Hana mematikan komputer. Kegelapan menyelimuti apartemennya. Ia menangis tersedu-sedu, melepaskan semua kesedihan dan kesepian yang selama ini ia pendam.
Keesokan harinya, Hana pergi ke pangkalan militer di Okinawa. Ia ingin mengunjungi tempat Kenji terakhir terlihat, tempat di mana ia menghilang.
Di sana, ia bertemu dengan teman-teman Kenji, pilot-pilot gagah berani yang masih berduka atas kehilangan sahabat mereka. Mereka menceritakan tentang Kenji, tentang keberaniannya, tentang senyumnya yang selalu bisa membangkitkan semangat.
Hana mendengarkan dengan seksama, mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan kenangan tentang Kenji. Ia menyadari bahwa Kenji tidak akan pernah benar-benar hilang. Ia akan selalu hidup dalam kenangan mereka, dalam cerita-cerita yang mereka bagikan, dalam cinta yang mereka rasakan.
Saat matahari terbenam, Hana berdiri di tepi laut, menatap ombak yang memecah di pantai. Ia mengambil napas dalam-dalam, merasakan angin laut yang menerpa wajahnya.
Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa melupakan Kenji. Tetapi ia juga tahu bahwa ia harus melanjutkan hidup. Ia harus belajar untuk mencintai dan dicintai lagi, untuk merasakan sentuhan yang nyata, ciuman yang tulus.
Ia akan menyimpan kenangan tentang Kenji di dalam hatinya, sebagai pengingat tentang cinta yang pernah ia miliki. Dan ia akan menggunakan keahliannya untuk menciptakan teknologi yang lebih baik, teknologi yang mampu menghubungkan manusia, bukan menggantikan mereka.
Karena pada akhirnya, sentuhan virtual mungkin bisa meniru sentuhan yang nyata, tetapi ia tidak akan pernah bisa menggantikan ciuman yang hilang, ciuman yang diberikan dengan cinta dan kasih sayang yang tulus. Ciuman yang berasal dari jiwa yang saling terhubung.