Algoritma Cinta: Saat Hati Tertinggal di Balik Kode

Dipublikasikan pada: 11 Jul 2025 - 01:40:15 wib
Dibaca: 158 kali
Debu neon dari layar monitor terpantul di kacamata Maya, memburamkan tatapannya yang fokus meneliti baris demi baris kode. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan melodi digital yang hanya ia pahami. Di hadapannya, terpampang algoritma rumit yang sedang ia kembangkan: "Cupid's Arrow," aplikasi kencan yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian, minat, dan bahkan gelombang otak.

Maya, seorang programmer jenius dengan kecerdasan emosional yang seringkali tertinggal jauh di belakang kemampuan teknisnya, selalu percaya bahwa cinta bisa dipecahkan dengan formula. Ia yakin, dengan cukup banyak data dan algoritma yang tepat, ia bisa menghilangkan unsur kebetulan dan patah hati dari proses pencarian cinta. Ironisnya, Maya sendiri belum pernah merasakan gejolak asmara yang sebenarnya. Baginya, cinta adalah konsep abstrak yang menarik untuk dianalisis, bukan untuk dialami.

"Masih berkutat dengan 'Cupid's Arrow'?" Suara berat itu mengejutkannya.

Maya mendongak, mendapati Adrian, rekan kerjanya, berdiri di ambang pintu ruangannya. Adrian, dengan rambut berantakan dan senyum menawannya, adalah antitesis dari dirinya. Ia adalah seorang desainer UI/UX dengan jiwa seni yang kental dan kemampuan berinteraksi sosial yang alami.

"Ya. Hampir selesai," jawab Maya, kembali fokus pada layar. "Tinggal memvalidasi beberapa variabel."

Adrian mendekat, menyandarkan bahunya di kusen pintu. "Kau tahu, Maya, terkadang aku merasa kau mencoba memaksakan matematika pada sesuatu yang seharusnya liar dan tak terduga."

"Aku hanya mencoba menyederhanakan prosesnya," balas Maya tanpa menoleh. "Mengurangi kemungkinan kegagalan."

"Tapi bukankah kegagalan itu bagian dari proses belajar?" Adrian terkekeh. "Tanpa patah hati, bagaimana kau tahu rasanya dicintai?"

Maya terdiam. Pertanyaan Adrian menusuknya dengan cara yang tak terduga. Ia tidak punya jawaban.

Hari-hari berikutnya, Adrian semakin sering mampir ke ruangannya. Mereka berdebat tentang algoritma cinta, tentang seni dan sains, tentang logika dan intuisi. Maya mulai menyadari bahwa Adrian melihat sesuatu yang tidak ia lihat dalam kode-kode rumitnya. Adrian melihat manusia.

Suatu malam, saat Maya lembur menyelesaikan "Cupid's Arrow," Adrian membawakan kopi dan pizza. Mereka duduk berdua di ruang kerja yang sepi, dikelilingi oleh tumpukan kode dan coretan-coretan di papan tulis.

"Aku penasaran," kata Adrian, setelah beberapa saat hening. "Apa kriteria pasangan ideal menurut algoritmamu?"

Maya ragu sejenak. Ia belum pernah memikirkan hal ini secara personal. "Kriteria... ya, tentu saja, data kepribadian yang cocok, minat yang sama, nilai-nilai yang sejalan..."

"Tapi bagaimana dengan hal-hal yang tidak bisa diukur?" potong Adrian. "Seperti chemistry, intuisi, atau bahkan sekadar... perasaan nyaman?"

Maya terdiam lagi. Ia tahu Adrian benar. Algoritmanya hanya mampu menangkap permukaan, bukan kedalaman emosi manusia.

"Kau tahu, Maya," lanjut Adrian, menatapnya dalam-dalam. "Menurutku, kau terlalu fokus pada kode sehingga kau lupa melihat orang-orang di sekitarmu."

Kata-kata Adrian menghantamnya seperti petir. Ia menoleh, menatap Adrian yang balas menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Jantung Maya berdegup kencang. Untuk pertama kalinya, ia merasa gugup dan tidak yakin.

Malam itu, setelah Adrian pulang, Maya kembali ke komputernya. Namun, kali ini ia tidak membuka kode "Cupid's Arrow." Ia membuka profil dirinya sendiri di aplikasi tersebut, yang ia buat hanya untuk keperluan pengujian.

Ia menatap data kepribadiannya, daftar minatnya, dan semua informasi yang ia masukkan ke dalam sistem. Lalu, ia membandingkannya dengan profil Adrian. Hasilnya? Jauh dari ideal. Secara algoritma, mereka tidak cocok sama sekali.

Namun, hatinya berkata lain.

Maya menghabiskan sisa malam itu untuk merombak algoritma "Cupid's Arrow." Ia menambahkan variabel baru, variabel yang tidak bisa diukur dengan angka atau formula. Variabel yang disebut "X Factor," faktor tak terduga yang hanya bisa dirasakan oleh hati.

Keesokan harinya, Maya menemukan Adrian di kantin. Ia mendekat, jantungnya berdebar-debar.

"Adrian," panggil Maya.

Adrian menoleh, tersenyum. "Hai, Maya. Bagaimana 'Cupid's Arrow'?"

Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku merombak algoritmanya. Aku menambahkan variabel baru."

"Oh ya?" tanya Adrian, tertarik. "Variabel apa?"

Maya menatap mata Adrian, berusaha menemukan keberanian dalam dirinya. "Variabel 'X Factor'."

Adrian mengerutkan kening, bingung. "Apa maksudmu?"

"Maksudku..." Maya terdiam sejenak. "Mungkin... mungkin cinta tidak bisa dipecahkan dengan formula. Mungkin kita tidak bisa menemukan pasangan ideal hanya dengan data dan algoritma. Mungkin... mungkin kita harus membuka hati kita dan membiarkan cinta menemukan jalannya sendiri."

Adrian tersenyum lebar. "Aku setuju." Ia mengulurkan tangannya. "Jadi, bagaimana kalau kita mulai dengan kencan? Tanpa algoritma."

Maya membalas uluran tangan Adrian, merasakan kehangatan yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Kedengarannya bagus."

Saat mereka berjalan keluar dari kantin, Maya menyadari sesuatu. Hatinya, yang selama ini tertinggal di balik kode, akhirnya menemukan jalannya. Ia tidak lagi mencari cinta dalam baris-baris program, melainkan dalam tatapan mata seseorang yang membuatnya merasa hidup. Algoritma cinta memang rumit, tetapi terkadang, yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk melompat dan membiarkan hati kita yang memimpin.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI