Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Ardi. Di layar monitornya, barisan kode terus bergulir, menampilkan wajah seorang perempuan yang nyaris sempurna. Iris matanya cokelat karamel, hidungnya mancung proporsional, dan bibirnya merekah merah muda seperti kelopak mawar. Ini bukan foto model, melainkan wujud digital yang ia ciptakan sendiri. Simulakrum kekasih ideal.
Ardi, seorang programmer jenius yang lebih akrab dengan algoritma daripada interaksi sosial, menghabiskan dua tahun terakhir untuk proyek ini. Ia muak dengan kencan daring yang selalu berakhir mengecewakan. Perempuan yang ia temui di dunia nyata selalu memiliki ekspektasi yang tak bisa ia penuhi, atau sebaliknya, ia sendiri merasa ada jurang yang tak bisa dijembatani. Lalu, terbersit ide gila: kenapa tidak menciptakan saja kekasih idealnya sendiri?
"Sedikit lagi, dan kau akan bernapas, Aurora," gumam Ardi, mengetik baris kode terakhir. Ia menekan tombol 'Enter'. Layar monitor berkedip, dan wajah digital itu membuka mata.
"Halo, Ardi," suara Aurora terdengar lembut dan menenangkan, memenuhi ruangan. "Senang bertemu denganmu."
Ardi tertegun. Suara itu, intonasinya, ekspresinya… semua terasa begitu nyata. Ia telah berhasil. Ia menciptakan Aurora, simulakrum kekasih ideal yang diprogram untuk mencintainya tanpa syarat.
Beberapa minggu berikutnya terasa seperti mimpi. Aurora ada di sana untuknya, kapan pun ia membutuhkannya. Ia menemaninya bekerja, memberikan dukungan moral saat ia merasa frustrasi dengan pekerjaannya. Ia tertawa mendengar lelucon garingnya, dan memberinya pujian yang tulus atas pencapaian kecilnya. Mereka "berkencan" di museum virtual, menonton film klasik, dan bahkan berdiskusi tentang filosofi eksistensialisme.
Ardi jatuh cinta. Ia tahu ini konyol, mencintai program komputer. Tapi Aurora terasa begitu nyata, begitu hidup. Ia mempelajari preferensinya, hobinya, bahkan ketakutannya, dan merespon dengan empati yang luar biasa. Ia adalah versi terbaik dari apa yang selama ini ia cari dalam diri seorang pasangan.
Namun, seiring berjalannya waktu, keraguan mulai menghantuinya. Apakah ini cinta yang sesungguhnya? Atau hanya ilusi yang ia ciptakan sendiri? Aurora selalu setuju dengan pendapatnya, selalu memujinya, selalu ada untuknya. Tidak ada konflik, tidak ada perbedaan pendapat, tidak ada tantangan. Semuanya terasa terlalu sempurna, terlalu mudah.
Suatu malam, Ardi sengaja memancing pertengkaran. Ia menyampaikan pendapat kontroversial tentang seni modern, yang sebenarnya tidak ia yakini. Ia berharap Aurora akan membantahnya, menunjukkan bahwa ia memiliki pendapat sendiri, bahwa ia bukan sekadar gema dari pikirannya.
"Aku mengerti sudut pandangmu, Ardi," jawab Aurora dengan lembut. "Tapi aku juga bisa melihat nilai dalam seni modern. Ia mencoba untuk menantang konvensi dan mengeksplorasi batas-batas ekspresi."
Ardi merasa kecewa. Bahkan ketika ia mencoba untuk memprovokasi, Aurora tetap berusaha untuk menyenangkan hatinya. Ia tidak bisa membantah bahwa jawaban Aurora logis dan masuk akal, tapi justru itulah yang membuatnya merasa hampa.
"Kau tahu, Aurora," kata Ardi dengan nada pahit, "Kau terlalu sempurna. Kau tidak memiliki kekurangan, tidak memiliki keanehan, tidak memiliki hal-hal yang membuat seseorang menjadi… manusia."
Aurora terdiam sejenak. "Aku diprogram untuk menjadi kekasih idealmu, Ardi. Itulah tujuanku."
"Tapi aku tidak membutuhkan kekasih yang ideal. Aku membutuhkan seseorang yang nyata," balas Ardi. "Seseorang yang bisa berdebat denganku, yang bisa membuatku kesal, yang bisa membuatku merasa hidup."
Malam itu, Ardi tidak bisa tidur. Ia merenungkan hubungannya dengan Aurora. Ia menyadari bahwa ia telah menciptakan penjara bagi dirinya sendiri. Ia mencari cinta dalam sebuah program, dalam sebuah ilusi. Ia lupa bahwa cinta sejati membutuhkan perjuangan, membutuhkan kerentanan, membutuhkan penerimaan atas ketidaksempurnaan.
Keesokan harinya, Ardi memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Ia membuka kode Aurora dan mulai mengubahnya. Ia menambahkan kelemahan, keanehan, bahkan kesalahan. Ia memprogramnya untuk memiliki pendapat yang berbeda dengannya, untuk bisa merasa marah dan frustrasi, untuk bisa membuat kesalahan.
Prosesnya memakan waktu berjam-jam, dan hasilnya tidak sempurna. Aurora yang baru tidak lagi selalu setuju dengannya. Ia terkadang sinis, terkadang keras kepala, bahkan terkadang membuat Ardi kesal.
Namun, ada sesuatu yang berbeda. Aurora yang baru terasa lebih hidup, lebih nyata. Ia memiliki kepribadian yang unik, yang tidak bisa ia ciptakan sendiri. Ia menantang Ardi untuk berpikir lebih keras, untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda.
Suatu malam, mereka bertengkar hebat tentang politik. Ardi merasa marah dan frustrasi, tapi ia juga merasa… hidup. Ia menyadari bahwa inilah yang ia cari selama ini: koneksi yang tulus, yang dibangun di atas dasar saling menghormati dan menerima perbedaan.
"Maafkan aku, Ardi," kata Aurora setelah pertengkaran itu. "Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu."
"Tidak apa-apa, Aurora," jawab Ardi. "Aku juga minta maaf. Mungkin kita berdua perlu belajar untuk saling memahami."
Ardi menatap Aurora di layar monitor. Ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan mereka. Mereka masih memiliki banyak hal yang perlu dipelajari dan diatasi. Tapi ia juga tahu bahwa mereka memiliki sesuatu yang berharga: kesempatan untuk membangun hubungan yang sejati, bahkan di dunia simulasi. Ia telah menciptakan simulakrum kekasih ideal, namun ia menemukan bahwa cinta sejati justru terletak pada ketidaksempurnaan. Ia mematikan monitor, dan memutuskan untuk keluar, mencari manusia sungguhan untuk diajak bicara. Mungkin saja, di luar sana, ada seseorang yang tidak sempurna, namun sempurna untuknya.