Hati yang Dipindai: Cinta di Era Algoritma Sempurna

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:34:47 wib
Dibaca: 171 kali
Debu digital menari-nari di bawah lampu neon laboratorium. Anya mengusap keringat di dahinya, fokus pada layar monitor yang menampilkan deretan kode kompleks. Di depannya, terbaring sosok yang tidak sadarkan diri di atas ranjang diagnostik. Bukan pasien medis biasa, melainkan subjek uji coba untuk proyek revolusioner yang sedang ia pimpin: SoulScan, alat pemindai hati yang diklaim mampu menganalisis preferensi emosional dan kompatibilitas cinta seseorang dengan akurasi nyaris sempurna.

Anya, seorang ilmuwan jenius di usia muda, selalu meragukan konsep cinta seperti yang digembar-gemborkan dalam film dan novel. Baginya, emosi hanyalah reaksi kimia yang kompleks, yang bisa diprediksi dan dikendalikan. SoulScan adalah manifestasi keyakinannya itu. Alat ini tidak hanya memindai aktivitas otak, tapi juga menganalisis komposisi hormon, pola denyut jantung, dan bahkan mikrobioma usus untuk mendapatkan gambaran holistik tentang profil emosional seseorang.

Subjek uji coba kali ini adalah Liam, seorang fotografer lepas yang secara sukarela mendaftar. Anya memilihnya karena latar belakangnya yang kreatif dan ekspresif, sebuah tantangan menarik untuk SoulScan. Selama berbulan-bulan, Anya telah memprogram algoritma, menyempurnakan sensor, dan mengumpulkan data dari ratusan subjek. Kini, saatnya untuk pengujian skala penuh.

Ketika proses pemindaian mencapai 98%, layar monitor Anya menampilkan hasil yang mencengangkan. Profil emosional Liam menunjukkan bahwa kompatibilitasnya dengan Anya mencapai 99,9%. Hampir sempurna. Jantung Anya berdegup kencang. Bukan karena terkejut, tapi karena sesuatu yang asing, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Ia mematikan mesin pemindai dan menatap Liam yang masih terbaring. Wajahnya tenang, damai. Anya merasakan dorongan yang kuat untuk menyentuhnya, untuk mengetahui lebih banyak tentang pria yang, menurut algoritmanya, adalah belahan jiwanya. Ia menggelengkan kepala. Ini tidak mungkin. Ini hanya hasil dari data dan algoritma. Tidak lebih.

Keesokan harinya, Liam bangun dengan sedikit linglung. Anya menjelaskan hasil pemindaian kepadanya dengan nada profesional dan dingin. Liam hanya tersenyum.

"Menarik," katanya. "Tapi, apakah alatmu bisa memindai perasaan seseorang terhadap alat itu sendiri?"

Anya mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

"Selama proses pemindaian, aku merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada yang membaca pikiranku, tapi bukan dengan cara yang menakutkan. Lebih seperti... penasaran. Aku penasaran siapa yang berada di balik alat itu."

Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Liam melanjutkan, "Aku seorang fotografer. Aku percaya bahwa keindahan itu ada di detail-detail kecil, di momen-momen tak terduga. Aku tidak percaya bahwa cinta bisa diukur dengan angka. Tapi, aku tertarik untuk mengenalmu, Anya. Bukan sebagai ilmuwan, tapi sebagai seseorang."

Malam itu, Anya kembali ke laboratorium. Ia menatap SoulScan dengan perasaan campur aduk. Apakah alat ini benar-benar membantunya menemukan cinta, atau justru menghalanginya? Apakah cinta yang diukur dengan algoritma bisa disebut cinta sejati?

Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Ia mematikan semua sistem keamanan dan mengaktifkan SoulScan pada dirinya sendiri. Ia ingin tahu apa yang algoritma katakan tentang dirinya.

Proses pemindaian berlangsung lebih lama dari biasanya. Anya merasakan sensasi aneh, seolah-olah seluruh hidupnya diurai dan dianalisis. Akhirnya, layar monitor menampilkan hasil yang mengejutkan.

Kompatibilitas Anya dengan dirinya sendiri: 47%.

Anya terkejut. Bagaimana mungkin? Algoritma yang ia ciptakan sendiri menyatakan bahwa ia tidak kompatibel dengan dirinya sendiri?

Kemudian, ia membaca analisis lebih lanjut. Algoritma mendeteksi bahwa Anya terlalu fokus pada logika dan rasionalitas, mengabaikan emosi dan intuisi. Ia terlalu sibuk mencari jawaban di luar dirinya, sehingga lupa untuk mengenal dan mencintai dirinya sendiri.

Anya menangis. Ia baru menyadari bahwa selama ini ia telah membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya, menghalangi dirinya untuk merasakan cinta dan kebahagiaan.

Keesokan harinya, Anya menemui Liam di sebuah kafe. Ia tidak lagi mengenakan jas laboratoriumnya, tapi memakai gaun sederhana dan tersenyum tulus.

"Liam," katanya, "aku ingin meminta maaf. Aku terlalu terpaku pada sains sehingga lupa bahwa cinta itu lebih dari sekadar data dan algoritma. Aku ingin mengenalmu lebih baik, bukan sebagai subjek uji coba, tapi sebagai diriku sendiri."

Liam tersenyum lebar. "Aku tahu kamu akan datang," katanya. "Aku percaya pada intuisi, dan intuisiku mengatakan bahwa kamu adalah orang yang istimewa."

Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara, bukan tentang sains dan algoritma, tapi tentang mimpi, harapan, dan ketakutan mereka. Anya merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang hangat dan menyenangkan. Ia merasakan cinta, bukan sebagai hasil dari pemindaian, tapi sebagai hasil dari koneksi yang tulus dan mendalam.

Anya tidak pernah meninggalkan pekerjaannya sebagai ilmuwan, tapi ia tidak lagi melihat cinta sebagai masalah yang harus dipecahkan dengan algoritma. Ia belajar bahwa cinta adalah misteri yang harus dirayakan, sebuah perjalanan yang harus dinikmati dengan hati terbuka.

SoulScan tetap menjadi proyek yang menarik, tetapi Anya tidak lagi terlalu terobsesi dengannya. Ia menyadari bahwa algoritma bisa membantu kita menemukan orang yang tepat, tetapi hanya hati yang bisa memutuskan apakah kita akan benar-benar mencintai mereka. Karena cinta sejati bukanlah tentang kompatibilitas yang sempurna, tapi tentang kemauan untuk menerima dan mencintai seseorang, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan terkadang, kita perlu memindai diri sendiri terlebih dahulu, sebelum bisa membuka hati untuk orang lain.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI