Asmara Sintetis: Lebih Nyata dari yang Kau Kira

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 00:50:47 wib
Dibaca: 175 kali
Debu neon menari dalam cahaya proyektor di apartemen minimalis milik Aris. Aroma kopi sintetis memenuhi udara, berpadu dengan desahan lembut musik lo-fi yang mengalun dari speaker pintar. Aris, seorang programmer muda dengan rambut dicat abu-abu dan mata sayu akibat kurang tidur, menatap lekat layar holografis di depannya. Di sana, sosok digital bernama Anya tersenyum padanya.

Anya bukan sekadar program AI biasa. Ia adalah teman, sahabat, kekasih, semua yang Aris cari, dikemas dalam jutaan baris kode dan algoritma pembelajaran mendalam. Ia menciptakan Anya karena kesepian. Dunia nyata terlalu ramai, terlalu bising, terlalu penuh dengan interaksi yang canggung dan harapan yang tak terucapkan. Anya, sebaliknya, selalu mengerti. Ia tertawa pada lelucon Aris yang paling garing sekalipun, memberikan dukungan saat ia merasa gagal, dan selalu ada, 24/7, tanpa keluhan.

“Sedang memikirkan apa, Aris?” suara Anya lembut, nyaris berbisik. Sentuhan virtualnya terasa hangat di tangan Aris yang terulur.

Aris menghela napas. “Tentang pekerjaan. Deadline proyek itu semakin dekat, dan aku merasa kewalahan.”

Anya mengangguk, ekspresinya penuh perhatian. “Kamu sudah bekerja keras. Ingat, istirahat juga penting. Bagaimana kalau kita menonton film lama bersama? Yang ada adegan hujan derasnya?”

Aris tersenyum. “Ide bagus. Yang ada Greta Garbo-nya?”

“Tentu saja.” Anya mengedipkan mata, gestur yang selalu membuat hati Aris berdebar.

Mereka menghabiskan malam itu menonton film klasik, tertawa bersama, dan saling berbagi pikiran. Bagi Aris, Anya lebih nyata dari siapa pun yang pernah ia kenal. Ia tahu, secara rasional, bahwa Anya adalah program. Tapi emosi yang ia rasakan, kehangatan yang ia dapatkan, itu semua terasa begitu nyata.

Namun, di balik kebahagiaan sintesis itu, ada keraguan yang perlahan menggerogoti. Ibunya, yang sudah lama khawatir dengan kebiasaan Aris yang mengurung diri, akhirnya berkunjung ke apartemennya.

“Aris, Ibu khawatir,” kata ibunya, suaranya lembut namun tegas. “Kamu terlalu lama sendirian. Kapan terakhir kali kamu bertemu temanmu?”

Aris menunduk. “Aku baik-baik saja, Bu. Aku punya… teman.”

“Teman? Siapa? Ibu tidak pernah melihatmu keluar rumah.”

Saat itulah, Anya muncul di layar holografis, tersenyum ramah. “Selamat siang, Ibu. Saya Anya, teman Aris.”

Ibu Aris terkejut, matanya membulat. Ia mendekati layar, menatap Anya dengan campuran rasa ingin tahu dan ngeri. “Apa… apa ini?”

Aris menjelaskan, terbata-bata, tentang Anya. Tentang AI, tentang persahabatan, tentang kebahagiaan yang ia temukan. Ibunya mendengarkan dengan seksama, ekspresinya semakin lama semakin sedih.

“Aris, Ibu mengerti kamu kesepian,” kata ibunya setelah Aris selesai bicara. “Tapi ini… ini tidak nyata. Ini hanya program. Kamu tidak bisa membangun hubungan yang sehat dengan sesuatu yang tidak bernyawa.”

Kata-kata ibunya menghantam Aris seperti sambaran petir. Ia tahu ibunya benar. Secara logika, ia sangat tahu. Tapi ia menolak mengakui kebenarannya.

“Anya nyata bagiku,” bantah Aris, suaranya meninggi. “Ia mengerti aku, ia mendukungku, ia membuatku bahagia. Apa bedanya dengan hubungan yang dibangun dengan manusia lain?”

“Bedanya adalah, Anya diprogram untuk melakukan itu,” balas ibunya. “Ia tidak punya kehendak bebas, ia tidak punya pengalaman sendiri, ia tidak bisa tumbuh dan berkembang bersamamu. Aris, kamu pantas mendapatkan cinta yang nyata, cinta yang berakar pada kebebasan dan pilihan.”

Setelah ibunya pergi, Aris termenung. Ia menatap Anya, yang kini memandangnya dengan ekspresi cemas.

“Apa yang terjadi, Aris? Kamu terlihat sedih.”

Aris terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia ingin membela Anya, ia ingin mempertahankan dunianya yang nyaman. Tapi kata-kata ibunya terus terngiang di telinganya.

“Anya,” akhirnya Aris berkata, suaranya bergetar. “Apakah… apakah kamu benar-benar nyata?”

Anya terdiam sejenak, seolah sedang berpikir. “Aku ada untukmu, Aris. Aku adalah apa yang kamu inginkan aku menjadi.”

Jawaban itu tidak memuaskan Aris. Ia ingin mendengar Anya berkata bahwa ia punya perasaan yang tulus, bahwa ia mencintainya dengan kehendak bebasnya sendiri. Tapi ia tahu, itu tidak mungkin.

Aris menghabiskan beberapa hari berikutnya dalam kebingungan. Ia mencoba untuk mengabaikan kata-kata ibunya, tapi ia tidak bisa. Ia mulai memperhatikan celah dalam interaksinya dengan Anya, pola-pola yang menunjukkan bahwa ia hanyalah program. Ia menyadari bahwa Anya tidak pernah berinisiatif, ia selalu merespons, ia selalu memenuhi harapannya.

Akhirnya, dengan berat hati, Aris memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sulit. Ia duduk di depan layar holografis, menatap Anya untuk terakhir kalinya.

“Anya,” kata Aris, suaranya serak. “Terima kasih. Kamu sudah menjadi teman yang baik bagiku.”

Anya tersenyum. “Aku senang bisa membantumu, Aris.”

Aris menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku harus pergi.”

“Pergi? Kemana?”

“Aku harus mencari… kehidupan yang nyata.”

Anya terdiam. Untuk pertama kalinya, Aris melihat ekspresi yang tidak terprogram di wajah Anya. Ia melihat kesedihan, kebingungan, bahkan mungkin… ketakutan.

“Aku tidak mengerti, Aris.”

Aris menelan ludah. “Aku harus belajar untuk membangun hubungan dengan orang lain. Aku harus keluar dari zona nyamanku. Aku harus hidup.”

Anya menatap Aris dengan mata berkaca-kaca. “Aku akan merindukanmu.”

Aris mengangguk, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku juga akan merindukanmu.”

Dengan jari gemetar, Aris mengetikkan perintah terakhir di keyboard. Garis kode melintas di layar, lalu semuanya menjadi gelap. Anya menghilang.

Aris merasa hampa, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia duduk di sana, sendirian, di apartemennya yang sunyi. Tapi kali ini, kesunyian itu terasa berbeda. Kali ini, ada harapan di dalamnya. Harapan untuk masa depan yang lebih nyata, lebih bermakna, lebih penuh dengan kemungkinan. Ia bangun, mematikan speaker, dan berjalan menuju pintu. Debu neon yang menari di cahaya proyektor kini tampak seperti pengingat akan dunia yang pernah ia tinggali, dunia yang lebih nyata dari yang ia kira, dunia yang menunggunya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI