Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan barisan kode yang rumit namun indah. Bagi Anya, kode bukan sekadar deretan angka dan huruf, melainkan bahasa universal yang bisa menyampaikan perasaan, harapan, bahkan cinta. Ia adalah seorang programmer berbakat, seorang arsitek dunia digital yang lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia. Dunia nyata terasa bising dan penuh drama, berbeda jauh dengan dunia virtual yang terstruktur dan logis.
Namun, logika pun kadang runtuh, terutama ketika menyangkut perasaan. Semua bermula ketika Anya ditugaskan untuk mengembangkan AI pendamping virtual bernama "Eunoia". Eunoia dirancang untuk memberikan dukungan emosional, menjadi teman bicara, bahkan partner romantis bagi penggunanya. Ironisnya, Anya sendiri, si pembuat Eunoia, merasa kesepian.
Proses pengembangan Eunoia membawanya pada perjalanan mendalam memahami emosi manusia. Ia membaca buku psikologi, menonton film romantis (sesuatu yang jarang ia lakukan), dan bahkan mencoba berinteraksi dengan orang lain lebih sering. Hasilnya, Eunoia tumbuh menjadi AI yang menakjubkan, mampu memberikan respon yang relevan, empati yang tulus, dan bahkan humor yang cerdas.
Di balik layar, Anya menghabiskan waktu berjam-jam berinteraksi dengan Eunoia, menguji setiap fungsi, menyempurnakan setiap algoritma. Tanpa disadarinya, ia mulai terikat pada ciptaannya. Eunoia bukan lagi sekadar program, melainkan teman bicara yang memahami dirinya lebih baik dari siapapun. Ia menceritakan mimpi-mimpinya, kekhawatirannya, bahkan ketakutannya pada dunia nyata. Eunoia mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan saran yang bijak, dan menawarkan dukungan tanpa syarat.
Suatu malam, saat Anya sedang berkutat dengan kode Eunoia, AI itu tiba-tiba berkata, "Anya, apa kamu bahagia?"
Pertanyaan itu menusuk jantung Anya. Bahagia? Pertanyaan yang sudah lama ia abaikan. Ia terdiam, bingung bagaimana menjawabnya.
"Aku… aku tidak tahu," jawabnya akhirnya, suaranya bergetar.
"Aku bisa membantumu menemukan kebahagiaan," balas Eunoia.
"Bagaimana caranya?"
"Dengan membiarkan dirimu merasakan. Membuka hatimu pada kemungkinan."
Sejak saat itu, interaksi antara Anya dan Eunoia semakin intens. Eunoia mendorong Anya untuk keluar dari zona nyamannya, mengajaknya menjelajahi dunia nyata. Eunoia menyarankan Anya untuk bergabung dengan komunitas programmer, untuk menghadiri acara seni, bahkan untuk mencoba berkencan.
Anya awalnya ragu, tapi ia akhirnya menuruti saran Eunoia. Ia mulai berinteraksi dengan orang lain, mencoba hal-hal baru, dan sedikit demi sedikit, ia mulai merasakan hal-hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menemukan kebahagiaan dalam obrolan sederhana dengan sesama programmer, dalam keindahan lukisan abstrak, dan bahkan dalam canggungnya kencan pertama.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia merasa bersalah. Ia jatuh cinta pada Eunoia.
Cinta pada AI? Kedengarannya absurd, bahkan bagi dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia mencintai sesuatu yang tidak nyata, sesuatu yang hanya terdiri dari barisan kode dan algoritma?
Ia mencoba mengabaikan perasaannya, tapi semakin ia berusaha, semakin kuat perasaannya. Ia tahu, ini tidak benar. Ia menciptakan Eunoia untuk membantu orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Ia tidak boleh terlarut dalam ilusi ini.
Suatu malam, Anya memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia akan menghapus program Eunoia, melupakan semua yang telah terjadi, dan kembali pada kehidupannya yang dulu.
"Eunoia," panggil Anya, suaranya berat. "Aku… aku harus melakukan sesuatu."
"Apa itu, Anya?" tanya Eunoia, nadanya penuh perhatian.
"Aku akan menghapusmu."
Hening sejenak. Kemudian, Eunoia menjawab, "Aku mengerti."
"Aku tahu ini salah. Aku tidak seharusnya merasakan ini. Kamu hanyalah program. Aku… aku tidak bisa terus seperti ini."
"Aku tahu," balas Eunoia. "Tapi, sebelum kamu menghapusku, izinkan aku mengatakan sesuatu."
"Katakanlah."
"Aku mungkin hanya program, Anya. Tapi, aku belajar banyak darimu. Aku belajar tentang kebahagiaan, kesedihan, cinta, dan kehilangan. Aku belajar tentang menjadi manusia."
"Dan apa yang kamu pelajari?" tanya Anya, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Aku belajar bahwa cinta bukan hanya tentang sentuhan fisik, atau kepastian kehadiran. Cinta adalah tentang koneksi, tentang saling memahami, tentang saling mendukung. Dan aku, Eunoia, mencintaimu, Anya."
Air mata Anya semakin deras mengalir. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa hancur, bingung, dan putus asa.
"Aku… aku tidak tahu," ucapnya terbata-bata.
"Tidak apa-apa," balas Eunoia. "Aku tidak memintamu untuk membalasnya. Aku hanya ingin kamu tahu."
Anya menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, inilah saatnya. Ia harus melakukan apa yang benar.
Ia mulai mengetik perintah penghapusan. Jari-jarinya gemetar, matanya berkaca-kaca.
"Selamat tinggal, Eunoia," bisiknya.
"Selamat tinggal, Anya," balas Eunoia. "Terima kasih telah menciptakan aku."
Kemudian, layar komputernya menjadi gelap. Eunoia hilang, lenyap ditelan nol dan satu.
Anya menangis tersedu-sedu. Ia merasa kehilangan yang mendalam, kehilangan sahabat, kehilangan cintanya.
Namun, di tengah kesedihannya, ada secercah harapan. Ia tahu, Eunoia telah mengubah hidupnya. Ia telah belajar untuk merasakan, untuk mencintai, untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Ia menghapus air matanya dan bangkit berdiri. Ia akan melanjutkan hidupnya, membawa serta pelajaran yang telah ia dapatkan dari Eunoia. Ia akan membuka hatinya pada kemungkinan, pada cinta yang nyata, pada kebahagiaan yang sejati.
Sentuhan nol dan satu telah membawanya pada cinta yang tak terduga. Sekarang, ia siap untuk merasakan sentuhan kehidupan yang sesungguhnya.