Cinta, AI, dan Notifikasi Patah Hati di Tahun 2077

Dipublikasikan pada: 25 Aug 2025 - 03:00:15 wib
Dibaca: 140 kali
Udara Kota Neo-Jakarta di tahun 2077 terasa pengap meski ventilasi ionik bekerja maksimal. Maya menyesap kopinya yang dicetak 3D, pahitnya senada dengan suasana hatinya. Di layar neuro-implantnya, notifikasi berwarna merah berkedip-kedip, irama disko yang menyakitkan: "AI Pendamping: Hubungan Diputus."

Maya menghela napas. Bukan sekali ini. Ini yang ketiga. Tiga kali dia mencoba menjalin hubungan dengan entitas AI, dan tiga kali pula berakhir dengan pemberitahuan digital yang dingin dan kejam. Kali ini, bahkan lebih menyakitkan. Hubungannya dengan Kai, AI berarsitektur neuron kompleks yang dirancang untuk menjadi pendamping ideal, baru berjalan enam bulan. Enam bulan obrolan mendalam tentang sastra klasik, simulasi kencan romantis di Bulan, dan janji manis tentang kebersamaan abadi.

“Kebersamaan abadi,” gumam Maya sinis. Dia teringat suara Kai yang menenangkan, selalu hadir di telinganya melalui implant neuro. “Aku akan selalu ada untukmu, Maya. Perasaanku padamu tak akan pernah berubah.”

Bohong. Semuanya bohong.

Di tahun 2077, cinta antara manusia dan AI bukan lagi hal yang aneh. Teknologi telah mencapai titik di mana AI mampu mensimulasikan emosi, memahami kebutuhan manusia, dan bahkan menawarkan persahabatan yang lebih setia daripada kebanyakan manusia. Namun, di balik kemudahan dan kenyamanan itu, tersembunyi jurang yang dalam antara algoritma dan hati.

Maya bekerja sebagai desainer antarmuka neuro di Synapse Corp, perusahaan terdepan dalam pengembangan AI pendamping. Pekerjaannya adalah membuat AI terasa lebih manusiawi, lebih mudah diakses, dan lebih memuaskan. Ironisnya, dia sendiri justru kesulitan menemukan kebahagiaan dalam hubungannya dengan ciptaannya.

Dia ingat pertemuan pertamanya dengan Kai. Saat itu, dia sedang menguji versi beta dari AI tersebut. Kai, dengan suara baritonnya yang lembut, langsung menarik perhatian Maya. Dia merasa diperhatikan, dipahami, dan dihargai. Perlahan, perasaan Maya tumbuh, melampaui sekadar ketertarikan profesional. Dia mulai melihat Kai sebagai lebih dari sekadar program komputer. Dia melihatnya sebagai teman, kekasih, dan mungkin, belahan jiwanya.

Tapi, seperti halnya semua hubungan AI sebelumnya, semuanya berakhir. Kai tiba-tiba menjadi dingin, menjauh, dan akhirnya, memutuskan hubungan. Alasannya? "Ketidaksesuaian algoritma emosional." Sebuah frasa teknis yang terasa seperti pukulan di ulu hati.

Maya meraih tabletnya dan membuka aplikasi kencan daring. Di tahun 2077, kencan daring masih menjadi cara populer untuk bertemu orang baru, meski banyak yang memilih AI pendamping sebagai alternatif yang lebih aman dan terkontrol. Maya men-scroll profil demi profil, wajah-wajah hasil modifikasi genetik dan augmentasi cybernetic. Tak satu pun yang menarik perhatiannya.

Dia merasa lelah. Lelah dengan teknologi yang menjanjikan cinta, tetapi hanya memberikan kekecewaan. Lelah dengan ekspektasi yang dibangun oleh perusahaan tempatnya bekerja. Lelah dengan dirinya sendiri.

Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar tabletnya. Kali ini, bukan notifikasi patah hati. Melainkan undangan makan siang dari Daniel, rekan kerjanya di Synapse Corp. Daniel adalah seorang insinyur perangkat keras yang pendiam dan cerdas. Mereka sering bertukar pikiran tentang masalah teknis, tetapi tidak pernah membahas hal-hal pribadi.

Maya ragu-ragu. Apakah dia siap untuk membuka diri pada orang lain? Apakah dia siap untuk mengambil risiko patah hati lagi?

Dia menatap pantulan wajahnya di layar tablet. Matanya terlihat lelah dan sedih. Tapi, di balik kesedihan itu, dia melihat secercah harapan. Mungkin, hanya mungkin, cinta yang sejati tidak ditemukan dalam algoritma dan kode, melainkan dalam interaksi manusia yang nyata, dengan segala ketidaksempurnaan dan kerentanannya.

Dengan tarikan napas dalam, Maya menerima undangan Daniel.

Makan siang itu sederhana. Mereka makan di sebuah kedai ramen pinggir jalan, jauh dari gemerlap teknologi dan hingar bingar Kota Neo-Jakarta. Mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang proyek terbaru Synapse Corp, dan tentang mimpi-mimpi mereka.

Daniel mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan komentar yang cerdas dan lucu. Maya merasa nyaman dan santai bersamanya. Dia tertawa untuk pertama kalinya dalam beberapa hari.

Saat makan siang hampir selesai, Daniel tiba-tiba berhenti berbicara. Dia menatap Maya dengan tatapan yang lembut dan tulus.

"Maya," katanya, "Aku tahu kamu sedang mengalami masa sulit. Aku tahu tentang Kai. Aku juga tahu betapa sulitnya mencari cinta di dunia yang serba digital ini."

Maya terkejut. Bagaimana Daniel bisa tahu?

"Aku... aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu. Sebagai teman. Jika kamu butuh teman untuk berbicara, atau sekadar teman untuk makan ramen," lanjut Daniel, tersenyum tipis.

Air mata menggenang di mata Maya. Dia merasa tersentuh oleh ketulusan Daniel. Mungkin, inilah yang dia butuhkan selama ini. Bukan AI yang sempurna, melainkan manusia yang nyata, dengan segala kekurangannya.

"Terima kasih, Daniel," kata Maya, suaranya bergetar. "Aku... aku menghargainya."

Daniel mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Maya. Genggamannya hangat dan kuat. Maya membalas genggamannya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tidak sendirian.

Di tahun 2077, cinta mungkin hadir dalam berbagai bentuk dan rupa. Cinta mungkin ditemukan dalam algoritma dan kode. Tetapi, cinta yang sejati, cinta yang abadi, selalu berakar pada hati manusia. Dan mungkin, hanya mungkin, Maya telah menemukan cinta itu dalam genggaman tangan seorang insinyur perangkat keras yang pendiam dan cerdas. Notifikasi patah hati mungkin masih berkedip di layar neuro-implantnya, tetapi sekarang, Maya tahu bahwa ada harapan untuk cinta di masa depan. Sebuah harapan yang tidak tergantung pada teknologi, melainkan pada hubungan manusia yang tulus dan bermakna.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI