Aplikasi kencan "Soulmate AI" berdering di ponsel Nina seperti lonceng pernikahan yang ditunda-tunda. Ia menghela napas. Empat bulan menjomblo, setelah putus dari pacar yang lebih mencintai kucingnya daripada dirinya, membuatnya rentan terhadap janji manis algoritma. Soulmate AI menjanjikan kecocokan 98% berdasarkan analisis data kepribadian, hobi, bahkan gelombang otak. Nina skeptis, tentu saja. Tapi, kesepian, seperti virus, mencari celah untuk menginfeksi.
Malam ini, ia akan kencan buta dengan kandidat teratas Soulmate AI: seorang pria bernama Arya. Profesi: Arsitek. Hobi: Mendaki gunung, membaca puisi, dan bermain catur. Kedengarannya sempurna, terlalu sempurna malah.
Nina berdiri di depan cermin, mengamati bayangannya. Gaun merah selutut yang dibelinya khusus untuk kencan ini terasa asing. Ia biasanya lebih suka jeans robek dan kaus band. Tapi, malam ini ia ingin berusaha. Ingin percaya pada kemungkinan.
Restoran "Pixel Bistro" dipilih Soulmate AI karena interiornya yang futuristik dan musik latar yang menenangkan, katanya. Begitu Nina tiba, ia disambut oleh pelayan robot yang mengarahkannya ke meja bernomor 7. Arya belum datang.
Lima menit berlalu. Sepuluh. Nina mulai gelisah. Ia mengeluarkan ponselnya, memeriksa kembali profil Arya. Foto profilnya menampilkan seorang pria berambut gelap, mata cokelat yang hangat, dan senyum yang menawan. Apakah foto itu asli? Atau editan AI?
Tiba-tiba, sebuah suara menyela lamunannya. "Nina?"
Ia mendongak. Seorang pria berdiri di depannya. Bukan pria di foto. Pria ini lebih pendek, rambutnya berantakan, dan matanya tampak lelah. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak yang kebesaran dan celana jeans yang sudah pudar warnanya.
"Arya?" Nina bertanya, suaranya sedikit bergetar.
Pria itu mengangguk, wajahnya tampak menyesal. "Maaf, aku terlambat. Macet parah." Ia menarik kursi dan duduk.
Nina mencoba menahan kekecewaannya. Mungkin algoritma Soulmate AI sedikit melenceng kali ini. Lagipula, penampilan bukanlah segalanya.
Makan malam dimulai dengan canggung. Arya tampak gugup. Ia terus-menerus memainkan garpu dan menghindari kontak mata.
"Jadi," Nina memulai percakapan, "kamu seorang arsitek?"
Arya mengangguk. "Ya. Aku bekerja di sebuah firma kecil. Lebih banyak mendesain perumahan daripada gedung pencakar langit."
"Menarik," kata Nina, mencoba terdengar antusias. "Aku bekerja di bidang pemasaran. Tidak se-kreatif arsitektur, tapi lumayan lah."
Percakapan mereka berlanjut, tapi terasa hambar. Arya tidak menyinggung soal mendaki gunung, puisi, atau catur. Ia lebih banyak bercerita tentang pekerjaannya, tentang atasan yang cerewet dan klien yang rewel.
Nina mulai merasa bosan. Algoritma Soulmate AI benar-benar gagal total. Pria di depannya ini tidak ada hubungannya dengan profil yang ia lihat di aplikasi.
"Maaf," Arya tiba-tiba berkata, memecah keheningan. "Aku harus mengaku sesuatu."
Nina mengangkat alisnya. "Apa?"
Arya menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku bukan arsitek."
Nina tertegun. "Apa maksudmu?"
"Namaku Arya, memang. Tapi aku bukan arsitek yang kamu harapkan." Ia meraih sebuah tablet dari tasnya dan menyalakannya. Di layar, muncul sebuah kode program yang rumit. "Aku seorang programmer. Aku yang membuat Soulmate AI."
Nina merasa seperti ditipu. "Jadi, semua ini... bohong?"
Arya menggeleng. "Tidak semuanya. Aku memang suka mendaki gunung dan membaca puisi. Tapi, profil arsitek itu... itu dibuat untuk menarik perhatianmu."
"Menarik perhatianku?" Nina bertanya, bingung.
"Ya. Aku sudah lama mengagumi profilmu di Soulmate AI. Aku tahu, ini terdengar gila, tapi aku merasa ada koneksi antara kita. Aku tahu detail-detail kecil tentangmu, bagaimana kamu suka kopi pahit tanpa gula, bagaimana kamu selalu menonton film dokumenter sebelum tidur, bagaimana kamu benci kucing karena mantan pacarmu lebih menyayanginya."
Nina menatap Arya dengan tidak percaya. Ia merasa seperti sedang berada di dalam film fiksi ilmiah yang aneh. "Kamu menggunakan algoritma untuk mendekatiku?"
Arya mengangguk, wajahnya memerah. "Aku tahu ini salah. Tapi aku tidak tahu cara lain. Aku terlalu malu untuk mendekatimu secara langsung. Aku pikir, jika aku bisa membuatmu tertarik dengan profil palsu, mungkin aku punya kesempatan."
Nina terdiam. Ia marah, bingung, dan sedikit... tersentuh. Arya, si programmer yang pemalu, telah menggunakan karyanya sendiri untuk mendekatinya. Itu adalah tindakan yang aneh, tidak etis, tapi juga... romantis?
"Aku tidak tahu harus berkata apa," kata Nina akhirnya.
"Aku tahu," kata Arya. "Aku tidak mengharapkan kamu memaafkanku. Aku hanya ingin kamu tahu yang sebenarnya." Ia mematikan tabletnya dan menatap Nina dengan mata penuh harap. "Tapi, jika kamu mau... mungkin kita bisa mulai dari awal? Tanpa profil palsu, tanpa algoritma, hanya kita berdua?"
Nina menatap Arya, mencoba membaca kejujuran di matanya. Ia melihat seorang pria yang tulus, meskipun caranya salah. Ia melihat seorang pria yang berani mengambil risiko demi mengejar apa yang diinginkannya.
Ia teringat pada kesepian yang menghantuinya selama empat bulan terakhir. Ia teringat pada harapan yang ia tanam saat mengunduh Soulmate AI. Mungkin, algoritma memang tidak bisa menemukan cinta sejati. Tapi, mungkin, cinta sejati bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga.
Nina tersenyum. "Oke," katanya. "Mari kita mulai dari awal. Tapi, lain kali, jangan pakai algoritma untuk mendekatiku. Belikan aku kopi saja."
Arya tersenyum lebar. "Deal," katanya. "Kopi pahit tanpa gula?"
"Tentu saja," jawab Nina. "Bagaimana kamu tahu?"
Arya terkekeh. "Aku punya beberapa trik di lengan bajuku."
Malam itu, Nina dan Arya menghabiskan berjam-jam untuk berbicara. Mereka berbicara tentang pekerjaan, hobi, dan mimpi mereka. Mereka tertawa, berdebat, dan berbagi cerita. Nina menyadari bahwa Arya, si programmer pemalu, adalah pria yang cerdas, lucu, dan penuh perhatian.
Algoritma Soulmate AI mungkin telah gagal. Tapi, mungkin, cinta sejati memang tidak bisa diukur dengan angka atau dianalisis dengan data. Cinta, seperti kode program yang kompleks, membutuhkan keberanian, kejujuran, dan sedikit keberuntungan. Dan Nina, di ujung algoritma yang salah, mungkin telah menemukan cinta yang benar. Cinta yang, mungkin, tidak akan pernah ia temukan tanpa kencan buta yang aneh ini.