Aplikasi kencan itu bernama "Soulmate Algorithm." Katanya, ia bisa menemukan pasangan yang paling cocok berdasarkan data yang kau masukkan: hobi, preferensi, cita-cita, bahkan sampai pola pikir. Awalnya aku skeptis, tapi melihat betapa suksesnya teman-temanku menemukan cinta lewat aplikasi itu, aku pun tergoda. Maka, dengan sedikit ragu, aku mengunduhnya.
Namaku Anya, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia. Bagiku, manusia terlalu kompleks, terlalu emosional. Kode lebih sederhana; ia melakukan apa yang kau perintahkan. Mungkin itu sebabnya aku kesulitan dalam urusan asmara. Aku terjebak dalam lingkaran kencan buta yang gagal, diatur oleh teman-teman yang merasa kasihan padaku.
Soulmate Algorithm menjanjikan solusi. Setelah mengisi profil dengan hati-hati, aku menunggu. Beberapa hari kemudian, muncul notifikasi: "Kandidat Ideal Ditemukan!" Jantungku berdebar kencang. Di layar ponselku, terpampang wajah seorang pria dengan senyum menawan dan mata yang teduh. Namanya, Rio.
Profil Rio nyaris sempurna. Ia menyukai buku yang sama denganku, mendengarkan musik indie, dan memiliki cita-cita untuk menciptakan aplikasi yang bermanfaat bagi masyarakat. Bahkan, ia juga seorang programmer, spesialisasi di bidang kecerdasan buatan. Terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, pikirku.
Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguanku. Aku mengirimkan pesan singkat, "Hai, Rio. Aku Anya. Soulmate Algorithm bilang kita cocok."
Balasannya datang hampir seketika. "Hai, Anya. Senang bertemu denganmu. Aku juga penasaran dengan hasilnya. Bagaimana kalau kita ngobrol lebih lanjut?"
Obrolan kami mengalir dengan lancar. Kami membahas berbagai hal, mulai dari algoritma genetika hingga film favorit kami. Aku merasa nyaman berbicara dengannya, sesuatu yang jarang kurasakan dengan orang lain. Ia cerdas, humoris, dan tampaknya benar-benar tertarik dengan apa yang kukatakan.
Setelah beberapa minggu berinteraksi daring, kami memutuskan untuk bertemu. Aku gugup luar biasa. Aku memilih restoran yang tenang dengan pencahayaan redup, berharap suasana itu bisa menyembunyikan kegugupanku.
Ketika Rio tiba, aku terkejut. Ia lebih tampan dari fotonya. Senyumnya lebih menawan, matanya lebih teduh. Kami menghabiskan malam itu dengan tertawa, bercerita, dan menemukan lebih banyak kesamaan di antara kami. Aku merasa seperti menemukan belahan jiwaku.
Hubungan kami berkembang pesat. Kami menghabiskan waktu bersama setiap hari, menjelajahi kota, memasak bersama, dan berbagi mimpi. Aku jatuh cinta padanya, sungguh jatuh cinta. Rio adalah semua yang aku inginkan dalam seorang pasangan: cerdas, pengertian, dan mencintai diriku apa adanya.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sesuatu yang mengganjal. Aku merasa seperti hidup dalam simulasi, di mana setiap interaksi kami telah diprediksi dan diatur oleh algoritma. Apakah Rio benar-benar mencintaiku, atau ia hanya mencintai versi diriku yang telah dioptimalkan oleh Soulmate Algorithm?
Kegelisahanku semakin menjadi-jadi. Aku mulai mempertanyakan setiap tindakannya, setiap perkataannya. Apakah ia benar-benar merasakan apa yang aku rasakan, atau ia hanya menjalankan program yang telah ditanamkan dalam dirinya?
Suatu malam, setelah menghabiskan waktu di laboratorium tempat Rio bekerja, aku tidak sengaja melihat layar komputernya. Di sana, terpampang kode rumit dengan baris-baris data yang familier. Aku mendekat, dan jantungku terasa berhenti berdetak.
Itu adalah kode Soulmate Algorithm. Dan di antara baris-baris itu, ada namaku.
Aku membaca kode itu dengan seksama, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Ternyata, Rio adalah salah satu programmer yang mengembangkan Soulmate Algorithm. Dan lebih mengejutkan lagi, ia menggunakan diriku sebagai subjek uji untuk menguji keefektifan algoritma tersebut.
Rio menciptakan profil ideal, yang mencocokkan dengan profilku, untuk melihat apakah algoritma tersebut benar-benar bisa menemukan pasangan yang cocok. Ia sengaja menyukai buku yang sama denganku, mendengarkan musik indie, dan bahkan berpura-pura memiliki cita-cita yang sama. Semua itu, demi membuktikan bahwa Soulmate Algorithm berhasil.
Aku merasa dikhianati, hancur berkeping-keping. Cinta yang selama ini aku rasakan, ternyata hanyalah ilusi, hasil dari manipulasi data dan rekayasa algoritma. Rio tidak mencintaiku. Ia hanya mencintai keberhasilan algoritmanya.
Aku menghadapinya dengan air mata berlinang. Ia mencoba menjelaskan, mencoba meyakinkanku bahwa ia telah jatuh cinta padaku selama proses tersebut. Tapi aku tidak percaya. Bagiku, kepercayaan telah hancur, dan cinta telah tercemar oleh garis-garis kode.
Aku meninggalkannya malam itu, membawa serta hati yang hancur dan mimpi yang pupus. Aku menghapus Soulmate Algorithm dari ponselku, dan berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pernah lagi mempercayai cinta yang ditemukan lewat algoritma.
Beberapa minggu kemudian, aku mendapatkan tawaran pekerjaan di perusahaan teknologi yang baru. Mereka membutuhkan programmer yang berpengalaman dalam mengembangkan algoritma pencarian pasangan. Awalnya, aku ragu. Tapi kemudian, aku memutuskan untuk menerima tawaran itu.
Aku ingin memahami algoritma tersebut dari dalam, untuk mencari tahu bagaimana ia bekerja dan bagaimana ia bisa dimanipulasi. Aku ingin memastikan bahwa tidak ada lagi orang yang akan merasakan sakit yang kurasakan.
Di perusahaan itu, aku bekerja keras, belajar, dan mengembangkan algoritma yang lebih etis, lebih transparan, dan lebih manusiawi. Aku ingin menciptakan algoritma yang membantu orang menemukan cinta sejati, bukan cinta yang direkayasa.
Suatu hari, ketika aku sedang menguji algoritma baru, muncul sebuah profil yang menarik perhatianku. Pria itu tidak terlalu tampan, tapi matanya memancarkan kebaikan dan ketulusan. Profilnya sederhana, tanpa ada upaya untuk mengesankan atau memanipulasi.
Aku membaca profilnya dengan seksama, dan menemukan bahwa kami memiliki banyak kesamaan. Kami berdua menyukai alam, mendaki gunung, dan menolong sesama. Ia tidak tahu bahwa aku adalah seorang programmer yang mengembangkan algoritma pencarian pasangan. Ia hanya melihatku sebagai Anya, seorang wanita yang mencari cinta.
Aku mengirimkan pesan singkat, "Hai. Aku Anya. Profilmu menarik perhatianku."
Balasannya datang keesokan harinya. "Hai, Anya. Senang bertemu denganmu. Aku juga tertarik dengan profilmu. Bagaimana kalau kita ngobrol lebih lanjut?"
Aku tersenyum. Mungkin, kali ini, aku akan menemukan cinta sejati, bukan cinta yang direkayasa oleh algoritma. Mungkin, kali ini, aku akan bisa menghapus Rio dari algoritmaku, dan menulis kode baru yang lebih indah dan lebih bermakna. Mungkin, kali ini, aku akan belajar untuk mencintai lagi, tanpa rasa takut dan tanpa prasangka.
Aku memulai obrolan dengan pria itu, dengan harapan dan keyakinan baru. Aku tahu bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa diatur, dan tidak bisa diprogram. Cinta adalah misteri, dan misteri itu harus dirayakan, bukan dipecahkan.