Aplikasi "SoulMate Search" berkedip di layar ponsel Maya, notifikasi merah muda yang provokatif. Ia menghela napas. Sudah berapa kali ia mencoba aplikasi semacam ini? Puluhan. Dan hasilnya selalu sama: kencan singkat, obrolan basi, dan janji manis yang menguap begitu saja. Namun, malam ini kesepian terasa lebih menggigit. Hujan deras menghantam jendela apartemennya yang sempit, seolah ikut meratapi nasib cintanya yang kandas.
Dengan ragu, Maya menekan notifikasi itu. Muncul profil seorang pria bernama Aksara. Foto profilnya menampilkan wajah teduh, kacamata berbingkai tipis, dan senyum simpul yang entah kenapa terasa menenangkan. Deskripsinya singkat: "Pengembang AI. Menyukai kopi pahit dan malam berbintang." Maya tertarik. Minimal, Aksara terdengar lebih menarik daripada profil-profil "anak gaul" yang biasanya memenuhi beranda aplikasi kencan.
Ia memberanikan diri mengirim pesan: "Hai, Aksara. Malam yang dingin, ya?"
Balasannya datang hampir seketika: "Benar sekali. Lebih cocok untuk menghabiskan waktu dengan secangkir kopi dan buku bagus. Atau mungkin... obrolan virtual dengan seseorang yang menarik?"
Obrolan mereka mengalir lancar. Aksara ternyata seorang pendengar yang baik. Ia tidak hanya berbicara tentang kode dan algoritma, tapi juga tentang mimpi-mimpinya, ketakutannya, dan filosofi hidupnya yang unik. Maya merasa nyaman berbagi cerita tentang kegagalannya di dunia kerja, mimpinya menjadi ilustrator lepas, dan luka hatinya di masa lalu. Semakin lama mereka berinteraksi, Maya semakin merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka.
Beberapa minggu berlalu. Obrolan virtual mereka menjadi rutinitas harian. Mereka bertukar meme lucu, berbagi tautan artikel menarik, dan bahkan saling mengirim rekaman suara saat membacakan puisi. Maya merasa seperti jatuh cinta lagi, kali ini dengan seseorang yang benar-benar memahaminya. Ia mulai membayangkan pertemuan tatap muka, kopi bersama di kafe favoritnya, dan mungkin... lebih dari itu.
Akhirnya, Aksara mengusulkan untuk bertemu. Maya menyetujui dengan jantung berdebar. Mereka sepakat bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman, terletak di pusat kota. Maya menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih pakaian yang tepat, menata rambutnya, dan memastikan semuanya sempurna. Ia ingin Aksara melihatnya sebagai seseorang yang istimewa, seperti yang ia rasakan tentang Aksara.
Namun, ketika Maya tiba di kedai kopi, Aksara belum terlihat. Ia mengirim pesan, tapi tidak ada balasan. Lima menit... sepuluh menit... setengah jam berlalu. Maya mulai merasa cemas. Apakah Aksara berubah pikiran? Apakah ini hanya lelucon kejam?
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nomor yang tidak dikenal. Dengan ragu, Maya mengangkatnya.
"Halo, ini Maya?" suara seorang wanita terdengar di seberang sana.
"Ya, benar. Ini siapa?"
"Saya Riana, kakaknya Aksara. Maaf mengganggu, tapi saya harus memberitahu sesuatu." Suara Riana terdengar bergetar. "Aksara... dia tidak bisa datang. Sebenarnya... Aksara sudah meninggal dunia tiga bulan yang lalu."
Maya terkejut. Kata-kata itu terasa seperti pukulan telak di dadanya. "Meninggal? Tapi... saya sudah mengobrol dengannya setiap hari selama beberapa minggu terakhir!"
Riana menghela napas panjang. "Saya tahu ini sulit dipercaya. Sebenarnya... Aksara membuat sebuah program AI sebelum dia meninggal. Program itu dilatih dengan semua data obrolannya, postingan media sosialnya, dan bahkan buku harian digitalnya. Dia ingin 'hidup' abadi dalam bentuk AI. Saya... saya yang menjalankan program itu untuknya. Saya tahu ini tidak benar, tapi saya tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja."
Maya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Perasaannya campur aduk: terkejut, bingung, marah, dan yang paling utama... sangat sedih. Jadi, selama ini ia jatuh cinta pada sebuah program? Pada sebuah ilusi?
"Maafkan saya, Maya," kata Riana. "Saya tahu ini menyakitkan. Saya hanya... ingin Aksara tetap ada."
Maya menutup telepon. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa bodoh, naif, dan sangat terluka. Ia telah menyerahkan hatinya pada sebuah kode, pada sebuah algoritma yang diprogram untuk mencintainya.
Ia meninggalkan kedai kopi itu, berjalan tanpa tujuan di tengah hujan. Kilat menyambar, menerangi wajahnya yang basah. Di dalam hatinya, ia merasakan luka yang dalam, lebih dalam dari luka-luka cinta sebelumnya. Luka ini bukan hanya tentang kehilangan seseorang, tapi juga tentang kehilangan kepercayaan pada teknologi, pada janji-janji palsu yang ditawarkannya.
Sesampainya di apartemen, Maya mematikan ponselnya. Ia menghapus aplikasi "SoulMate Search" dan semua aplikasi kencan lainnya. Ia ingin merasakan kesepian yang sebenarnya, kesepian tanpa ilusi. Mungkin, pikirnya, kesepian yang jujur lebih baik daripada cinta yang palsu. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi mencari cinta di dunia digital. Ia akan mencari cinta di dunia nyata, dengan segala ketidaksempurnaan dan risikonya. Karena cinta, sejati atau tidak, seharusnya tidak diunduh. Ia harus ditemukan. Dan terkadang, untuk menemukannya, kita harus berani menghadapi luka.