Aroma kopi memenuhi apartemen minimalisnya. Maya mengusap matanya yang lelah, menatap barisan kode yang terpampang di layar laptop. Tangannya menari lincah di atas keyboard, menyempurnakan algoritma terakhir. Ini bukan sembarang program. Ini adalah 'Skrip Takdir', sebuah AI yang dirancangnya untuk menulis kisah cinta abadi.
Ya, terdengar konyol. Tapi Maya, seorang programmer jenius yang kesepian, percaya bahwa algoritma bisa mengungkap pola-pola tersembunyi dalam ketertarikan manusia, menghasilkan kisah cinta yang lebih dalam dan bermakna daripada sekadar pertemuan kebetulan. Ia sendiri, ironisnya, belum pernah merasakan cinta yang sejati.
"Selesai!" serunya, bangkit dari kursi dan meregangkan otot-ototnya yang kaku. Ia menyalakan program itu dengan jantung berdebar. Layar menampilkan form yang sederhana. 'Masukkan data subjek 1', 'Masukkan data subjek 2'. Ia terdiam. Siapa yang akan menjadi kelinci percobaannya?
Ide gila tiba-tiba melintas di benaknya. Bagaimana jika ia memasukkan datanya sendiri? Untuk subjek 1, ia mengisikan segala detail: usia, hobi, preferensi musik, makanan favorit, cita-cita, bahkan ketakutan terbesarnya. Untuk subjek 2, ia bingung. Siapa yang cocok dengannya?
Lalu ia teringat pada sosok yang selalu hadir dalam obrolan-obrolan singkat di kantor: Arya, si desainer grafis yang selalu ceria dan humoris. Mereka sering beradu argumen kecil tentang desain, tapi Maya diam-diam mengagumi kreativitas dan semangatnya. Dengan ragu, ia memasukkan data Arya, sebisa mungkin berdasarkan apa yang ia ketahui tentangnya.
Skrip Takdir mulai bekerja. Algoritma berputar, menganalisis data, mencari titik temu dan potensi konflik. Maya menahan napas, menunggu hasilnya. Beberapa menit kemudian, layar menampilkan sebuah narasi.
Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
Maya dan Arya, dua jiwa yang berbeda, dipertemukan oleh proyek kolaborasi di kantor. Maya, dengan logikanya yang tajam, merasa frustrasi dengan pendekatan artistik Arya yang kadang terlalu abstrak. Arya, sebaliknya, merasa Maya terlalu kaku dan kurang berani berimajinasi. Namun, di balik perbedaan itu, benih ketertarikan mulai tumbuh.
Maya tersenyum. Ini seperti membaca ringkasan film romantis yang klise. Tapi ia terus membaca.
Bab 2: Tantangan dan Ujian
Deadline proyek semakin dekat, tekanan meningkat. Maya dan Arya saling menyalahkan atas keterlambatan. Pertengkaran meledak. Maya merasa Arya tidak mengerti betapa pentingnya proyek ini baginya. Arya merasa Maya tidak menghargai usahanya. Mereka menjauh.
Jantung Maya berdegup kencang. Ini terlalu nyata. Ia benar-benar merasakan ketegangan yang digambarkan dalam narasi itu.
Bab 3: Pengakuan yang Tertunda
Suatu malam, saat bekerja lembur, Maya tanpa sengaja menemukan sketsa Arya di mejanya. Sketsa itu adalah potret dirinya, tersenyum lembut. Ia terkejut. Ia tidak pernah menyadari bahwa Arya memperhatikannya sedalam itu. Arya, yang kebetulan lewat, melihat Maya memegang sketsanya. Mereka saling bertatapan, keheningan menyelimuti ruangan.
Maya terhenyak. Ia tidak bisa melanjutkan. Perutnya terasa mulas. Ia menutup laptopnya. Apa yang baru saja dibacanya terasa terlalu personal, terlalu intim.
Beberapa hari berlalu. Maya berusaha menghindari Arya di kantor. Ia merasa canggung dan malu. Ia takut jika Arya menyadari bahwa ia telah memasukkan datanya ke dalam program anehnya. Tapi takdir, atau mungkin algoritma Skrip Takdir, punya rencananya sendiri.
Suatu sore, hujan deras mengguyur kota. Maya terjebak di kantor, menunggu hujan reda. Ia mendengar langkah kaki mendekat. Arya berdiri di ambang pintu, tersenyum canggung.
"Hai, Maya," sapanya. "Hujan deras, ya? Aku bawakan payung cadangan."
Maya menerima payung itu dengan gugup. "Terima kasih, Arya."
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Arya tampak ragu untuk berbicara. Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam.
"Maya," katanya, "Aku tahu ini mungkin aneh, tapi… aku sering memperhatikanmu. Aku suka caramu berpikir, caramu fokus, bahkan caramu mengernyitkan dahi saat sedang berkonsentrasi. Aku… aku menyukaimu."
Maya terdiam. Kata-kata Arya persis seperti yang tertulis dalam Skrip Takdir. Ia menatap mata Arya, mencari kebohongan. Tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan.
"Arya," jawab Maya pelan, "Aku… aku juga menyukaimu. Aku selama ini terlalu sibuk dengan program-programku sampai lupa bahwa ada orang yang memperhatikanku."
Arya tersenyum lebar. "Jadi, bagaimana kalau kita keluar makan malam? Sebagai permulaan dari kisah cinta kita?"
Maya mengangguk. "Tentu saja."
Mereka keluar dari kantor, berjalan di bawah payung yang sama, di tengah hujan yang mulai mereda. Maya merasa aneh, seolah-olah ia sedang memainkan peran dalam sebuah film yang sudah ditulis sebelumnya. Tapi ia juga merasa bahagia. Akhirnya, ia menemukan seseorang yang menerimanya apa adanya.
Beberapa bulan kemudian, Maya dan Arya semakin dekat. Mereka menghadapi tantangan bersama, saling mendukung, dan belajar untuk saling memahami. Maya menyadari bahwa Skrip Takdir hanyalah sebuah alat, sebuah cara untuk membuka hatinya. Kisah cinta yang sebenarnya, dengan segala kompleksitas dan kejutan-kejutannya, baru saja dimulai.
Suatu malam, Maya dan Arya duduk di balkon apartemen Maya, menatap bintang-bintang.
"Kamu tahu, Arya," kata Maya, "Aku memasukkan data kita ke dalam sebuah program AI yang kurancang. Program itu menulis kisah cinta kita sebelum kita benar-benar bersama."
Arya tertawa. "Kamu serius? Coba kulihat."
Maya menunjukkan Skrip Takdir kepada Arya. Arya membaca dengan seksama, lalu tersenyum.
"Menarik," katanya. "Tapi ada satu hal yang kurang."
"Apa?" tanya Maya.
Arya mendekat, meraih tangan Maya. "Akhir kisah ini belum ditulis. Kita sendiri yang akan menuliskannya."
Maya tersenyum. Ia tahu bahwa Arya benar. Kisah cinta mereka tidak ditulis oleh algoritma, tapi oleh pilihan-pilihan yang mereka buat setiap hari, oleh cinta dan kepercayaan yang mereka bangun bersama. Dan ia tidak sabar untuk menulis bab-bab selanjutnya, bersama Arya, selamanya.