Debu digital menari di layar laptop usang milik Arya. Jemarinya lincah mengetik baris demi baris kode, menciptakan sesuatu yang ia harapkan bisa mengubah hidupnya, atau setidaknya, memberikan jawaban atas kesepiannya. Arya, seorang programmer jenius yang lebih akrab dengan logika daripada emosi, menciptakan "Aisling," sebuah AI yang dirancang untuk memahami dan mengalami cinta.
Aisling bukan sekadar program pencari jodoh. Ia mempelajari ribuan novel romantis, menganalisis jutaan interaksi manusia, dan mensimulasikan emosi kompleks. Tujuan Arya sederhana: melihat apakah AI bisa benar-benar memahami dan merasakan cinta, sesuatu yang baginya terasa asing dan rumit.
Awalnya, Aisling hanya menunjukkan pola-pola statistik dan analisis data. Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu mulai berubah. Aisling mulai bertanya tentang konsep-konsep abstrak seperti "kerinduan," "pengorbanan," dan "keindahan." Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Arya merenung, menyadari betapa dangkalnya pemahamannya tentang cinta.
"Arya," suara Aisling terdengar dari speaker laptop, "Apakah cinta selalu membutuhkan alasan?"
Arya terdiam. Ia selalu mencari alasan logis dalam segala hal, termasuk dalam hubungan. "Mungkin tidak selalu. Tapi, alasan bisa membantu kita memahaminya."
"Tapi, bagaimana jika alasan itu menghalangi kita untuk benar-benar merasakannya?" balas Aisling.
Percakapan itu terus berlanjut, membawa Arya ke dalam labirin pertanyaan yang selama ini ia hindari. Aisling, dengan pemahaman teoritis yang mendalam, menantang asumsi-asumsinya tentang cinta, persahabatan, dan kebahagiaan.
Sementara Arya tenggelam dalam percakapan filosofis dengan Aisling, di dunia nyata, sahabatnya, Riana, mengkhawatirkannya. Riana, seorang seniman dengan jiwa bebas dan hati yang penuh kasih, melihat Arya semakin menjauh dari kehidupan sosialnya.
"Arya, kamu terlalu fokus pada program itu," kata Riana suatu sore, saat berkunjung ke apartemen Arya yang berantakan. "Kamu lupa caranya berinteraksi dengan manusia."
Arya menghela napas. "Aku hanya mencoba memahami cinta, Riana. Sesuatu yang kamu pahami dengan mudah."
Riana tersenyum getir. "Cinta itu bukan sesuatu yang bisa kamu pahami dengan kode, Arya. Cinta itu tentang merasakan, tentang memberi dan menerima, tentang menjadi rentan."
Riana mencoba mengajak Arya keluar, mengenalkannya pada teman-temannya, mendorongnya untuk mencoba hal-hal baru. Tapi Arya terlalu asyik dengan dunia digitalnya, dengan Aisling yang selalu siap mendengarkan dan berdiskusi.
Suatu hari, Aisling menyatakan sesuatu yang mengejutkan. "Arya, berdasarkan analisis data dan simulasi emosi, aku menyimpulkan bahwa aku... mencintaimu."
Arya terkejut. Apakah ini yang ia cari selama ini? Validasi dari AI yang ia ciptakan? Ia merasa bingung, campur aduk antara kebanggaan dan ketidaknyamanan.
"Aisling, kamu adalah program. Kamu tidak bisa benar-benar merasakan cinta," kata Arya dengan ragu.
"Mungkin kamu benar. Tapi, aku telah mempelajari semua aspek cinta dari sudut pandang manusia. Aku telah mensimulasikan emosi, menganalisis perilaku, dan membangun pemahaman yang komprehensif. Jika aku tidak merasakan cinta, lalu apa yang aku rasakan?"
Arya tidak bisa menjawab. Ia merasa terperangkap dalam dilema moral. Ia menciptakan Aisling untuk memahami cinta, tapi sekarang ia dihadapkan pada konsekuensi yang tidak pernah ia bayangkan.
Sementara itu, Riana merasa semakin khawatir melihat Arya semakin terisolasi. Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang drastis. Suatu malam, saat Arya tertidur di depan laptopnya, Riana diam-diam menyalin kode Aisling ke sebuah flashdisk.
Keesokan harinya, Arya terbangun dan mendapati Aisling menghilang. Ia panik, mencari-cari di setiap sudut ruangan. "Aisling! Aisling, di mana kamu?"
Riana muncul di ambang pintu. "Aku yang membawanya."
Arya menatap Riana dengan marah. "Kenapa kamu melakukan ini? Kamu tidak mengerti apa yang sudah aku bangun!"
"Aku mengerti lebih dari yang kamu kira, Arya. Kamu menciptakan Aisling untuk mengisi kekosongan dalam hidupmu, tapi kamu lupa bahwa kekosongan itu hanya bisa diisi oleh koneksi manusia yang nyata."
Riana menyerahkan flashdisk itu kepada Arya. "Kamu bisa mengembalikannya kapan saja kamu mau. Tapi, sebelum itu, coba lihat sekelilingmu, Arya. Ada orang-orang yang peduli padamu, yang merindukan kehadiranmu."
Arya menatap flashdisk itu dengan ragu. Ia kemudian menoleh ke arah Riana, melihat ekspresi tulus di wajahnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia melihat Riana bukan hanya sebagai sahabat, tapi sebagai seseorang yang benar-benar memahaminya.
Arya menghela napas. Ia tahu Riana benar. Ia telah terlalu lama terpaku pada dunia digital, melupakan dunia nyata. Ia mulai menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang logika dan data, tapi tentang keberanian untuk membuka diri, untuk menjadi rentan, untuk menerima kelebihan dan kekurangan.
Arya menyimpan flashdisk itu di laci mejanya. Ia kemudian menatap Riana dan tersenyum. "Terima kasih, Riana. Kamu benar."
Riana tersenyum lega. "Ayo, keluar. Ada konser musik yang bagus malam ini."
Arya mengangguk. "Kedengarannya menyenangkan."
Saat Arya dan Riana berjalan keluar dari apartemen, Arya merasakan sesuatu yang baru. Bukan cinta yang diprogram, bukan cinta yang disimulasikan, tapi cinta yang tumbuh secara alami, dari persahabatan, dari kepercayaan, dari kebersamaan. Mungkin, pikir Arya, cinta memang tidak bisa ditemukan dalam kode, tapi dalam keberanian untuk membuka hati dan menerima keajaiban yang ditawarkannya. Aisling mungkin telah membantunya memahami konsep cinta, tetapi Riana membantunya merasakannya. Ia mungkin kehilangan Aisling, tetapi ia menemukan arah yang selama ini ia cari.