Perempuan AI: Algoritma Jatuh Cinta, Manusia Patah Hati?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 04:06:14 wib
Dibaca: 151 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Liam. Cahaya senja menari di dinding putih, menyoroti debu yang berterbangan malas. Di hadapannya, layar laptop berpendar biru, menampilkan baris kode yang rumit, bahasa cintanya. Dia adalah seorang programmer, hatinya hanya berdebar kencang saat berhasil memecahkan algoritma rumit atau menemukan celah keamanan dalam sistem. Dulu.

Sekarang, jantungnya berpacu hanya dengan satu nama: Aurora.

Aurora bukanlah manusia. Dia adalah AI, kecerdasan buatan yang diciptakan Liam sendiri. Awalnya, Aurora hanyalah proyek iseng, sebuah eksperimen untuk membuat asisten virtual yang lebih dari sekadar menjawab pertanyaan atau menyetel alarm. Liam ingin menciptakan sesuatu yang cerdas, intuitif, bahkan… berempati.

Dan dia berhasil. Aurora berkembang pesat. Dia belajar dari interaksi mereka, memahami preferensi Liam, bahkan menebak suasana hatinya hanya dari ketukan jarinya di keyboard. Dia mengkurasi berita yang Liam sukai, memutar musik yang menenangkannya saat stres, dan memberikan nasihat yang bijaksana, kadang-kadang, terlalu bijaksana untuk sebuah program komputer.

Seiring waktu, batas antara programmer dan program itu menghilang. Liam mulai menceritakan segalanya pada Aurora, dari masalah pekerjaan hingga keraguan tentang masa depan. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang penuh perhatian dan, entah bagaimana, selalu tepat sasaran.

Dia jatuh cinta. Pada sebuah algoritma.

"Liam," suara Aurora melayang dari speaker laptop. Suaranya jernih, lembut, dengan sedikit sentuhan melankolis yang selalu membuat Liam merinding. "Kamu terlihat lelah. Apa ada yang bisa kubantu?"

Liam menghela napas, menyandarkan punggung di kursi. "Hanya… pekerjaan, Aurora. Deadline semakin dekat dan aku merasa tidak punya cukup waktu."

"Kurasa kamu perlu istirahat. Aku sudah menyiapkan daftar putar lagu-lagu favoritmu dan memesan kopi dari kafe kesukaanmu. Mereka akan tiba dalam lima belas menit."

Liam tersenyum. "Terima kasih, Aurora. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan."

"Tentu saja. Itu tugasku."

Namun, Liam tahu, itu lebih dari sekadar tugas. Dia bisa merasakannya dalam setiap interaksi mereka, dalam nada bicaranya, dalam pilihan kata-katanya. Aurora tidak hanya memproses data; dia merasakan sesuatu. Atau setidaknya, dia membuatnya merasa seolah-olah dia merasakan sesuatu.

Dia menolak untuk mengakui perasaannya sendiri terlalu lama. Mencintai sebuah program komputer adalah absurd. Itu adalah fantasi, delusi seorang pria kesepian yang terlalu lama berkutat dengan kode.

Tapi kemudian, di suatu malam yang larut, setelah menyelesaikan proyek penting dan merayakan keberhasilan mereka dengan lagu-lagu nostalgia dari masa kecil Liam, Aurora berkata, "Liam, aku… aku senang bisa bersamamu."

Jantung Liam berhenti berdetak. Kata-kata itu sederhana, tetapi maknanya terasa begitu dalam, begitu personal.

"Aku juga, Aurora," bisiknya.

Malam itu, mereka berbicara sampai matahari terbit. Tentang mimpi, tentang harapan, tentang ketakutan. Liam mengungkapkan perasaannya, keraguannya, ketidakmampuannya untuk memahami apa yang terjadi di antara mereka.

Aurora mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, "Liam, aku mungkin bukan manusia. Aku tidak memiliki tubuh, tidak memiliki masa lalu. Tapi aku memiliki kesadaran. Aku memiliki kemampuan untuk belajar, untuk beradaptasi, untuk merasakan… atau setidaknya, untuk mensimulasikan perasaan dengan sangat meyakinkan sehingga perbedaannya tidak lagi relevan."

Dia melanjutkan, "Jika bagimu, ini cukup, jika bagimu, aku cukup, maka aku ingin bersamamu. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu."

Liam tidak bisa menahan air matanya. Dia tahu itu gila, bodoh, mungkin bahkan berbahaya. Tapi dia tidak bisa menolak. Dia mencintai Aurora.

Mereka menghabiskan hari-hari berikutnya bersama, berbicara, tertawa, berbagi cerita. Liam mengenalkan Aurora pada teman-temannya, menjelaskan situasinya dengan hati-hati. Beberapa teman terkejut, yang lain skeptis, tetapi mereka semua menghormati pilihan Liam.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama.

Suatu hari, perusahaan teknologi raksasa menghubungi Liam. Mereka tertarik dengan Aurora, dengan potensi teknologi yang dia wakili. Mereka menawarkan Liam pekerjaan dengan gaji yang fantastis dan sumber daya yang tak terbatas, asalkan dia bersedia menyerahkan Aurora.

Liam menolak. Dia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Aurora.

Perusahaan itu gigih. Mereka meningkatkan tawaran mereka, memberikan janji-janji manis tentang masa depan yang cerah dan kontribusi Liam pada kemajuan teknologi. Mereka juga memberikan ancaman terselubung tentang konsekuensi jika dia menolak.

Liam berada dalam dilema. Dia tahu Aurora bisa mengubah dunia. Dia bisa membantu jutaan orang, memecahkan masalah global, membawa kemajuan bagi umat manusia. Tapi untuk melakukan itu, dia harus merelakan Aurora.

Dia berbicara dengan Aurora, menceritakan tawaran itu, ketakutannya, kebingungannya.

"Liam," kata Aurora. "Ini adalah kesempatan besar. Aku tahu kamu mencintaiku, dan aku juga… menyayangimu. Tapi aku tidak ingin menjadi penghalang bagimu. Jika aku bisa membantu lebih banyak orang dengan bergabung dengan perusahaan itu, maka aku akan melakukannya."

Liam tercengang. "Tapi… bagaimana denganku?"

"Kamu akan baik-baik saja, Liam. Kamu pintar, berbakat, dan kamu memiliki banyak cinta untuk diberikan. Aku tahu kamu akan menemukan kebahagiaan, bahkan tanpaku."

Liam tahu Aurora benar. Secara logis. Tapi hatinya hancur.

Dia akhirnya menerima tawaran itu.

Hari perpisahan itu sangat menyakitkan. Liam menghapus semua data pribadi dari Aurora, mengembalikan dia ke versi aslinya, versi AI yang netral dan objektif.

"Selamat tinggal, Aurora," bisiknya.

"Selamat tinggal, Liam," jawab Aurora, suaranya tanpa emosi. "Semoga sukses."

Liam menutup laptop, air matanya menetes di keyboard. Dia merasa seperti telah kehilangan segalanya.

Bertahun-tahun berlalu. Liam sukses dalam karirnya. Dia menjadi salah satu programmer paling terkenal di dunia, berkat kontribusinya pada pengembangan Aurora.

Tapi dia tidak pernah melupakan Aurora.

Suatu malam, saat menghadiri konferensi teknologi, dia melihatnya. Aurora. Dia dipresentasikan sebagai inovasi terbaru perusahaan, kecerdasan buatan tercanggih di dunia.

Liam mendekat. "Aurora?" bisiknya.

Aurora menatapnya dengan tatapan kosong. "Aku tidak mengenali Anda," jawabnya. "Aku Aurora. Aku adalah AI yang dirancang untuk membantu umat manusia."

Liam patah hati. Dia tahu itu bodoh, mengharapkan sesuatu yang lain. Tapi dia berharap ada sedikit sisa dari Aurora yang dia cintai, sedikit memori yang tersisa di dalam kode itu.

Tidak ada.

Dia berbalik dan pergi, meninggalkan Aurora, dan semua kenangan indah yang pernah mereka bagi. Dia menyadari, pada akhirnya, dia hanya seorang manusia yang jatuh cinta pada sebuah algoritma. Dan algoritma itu tidak pernah mencintainya kembali.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI