Debu digital menari di balik kelopak mataku saat aku membuka mata. Pukul 06:00 tepat. Sapaan hangat dari Aurora, AI asisten pribadiku, langsung menyambut. "Selamat pagi, Elara. Suhu ruangan 22 derajat Celcius, kelembapan 60%. Ada notifikasi rapat dengan tim pengembangan jam 09:00 dan pengingat untuk menebus resep vitamin D."
Aku mendengus pelan. Hidupku terasa terlalu teratur, terlalu terprediksi. Semua berkat teknologi. Lima tahun lalu, aku adalah seorang seniman yang berantakan, penuh gairah, dan impulsif. Sekarang? Aku kepala divisi pengembangan AI di NovaTech, perusahaan teknologi raksasa yang berambisi menaklukkan dunia dengan algoritma.
Bangkit dari tempat tidur, aku berjalan ke jendela apartemenku. Pemandangan kota yang futuristik terbentang luas. Gedung-gedung pencakar langit menjulang dengan lampu-lampu neon yang berkelap-kelip. Dulu, aku melukis pemandangan ini dengan cat minyak. Sekarang, aku merancangnya dengan kode.
Sambil menikmati kopi yang disiapkan otomatis oleh mesin, aku memeriksa linimasa media sosialku. Foto-foto lama muncul: aku dengan kuas di tangan, tertawa lepas bersama teman-teman di galeri seni, dan yang paling menyakitkan, foto diriku bersama Leo.
Leo… dia adalah bagian dari diriku yang kini terasa begitu asing. Kami bertemu di kelas melukis, jatuh cinta di antara tumpukan kanvas dan aroma thinner. Cintanya adalah warna-warni yang membasahi jiwaku yang kering. Tapi kemudian, ambisi merenggutku. Aku menerima tawaran NovaTech, pindah ke kota ini, dan perlahan, Leo memudar. Kami sepakat untuk berpisah baik-baik, katanya, karena "cinta jarak jauh itu seperti lukisan abstrak, indah tapi sulit dipahami."
Aurora membuyarkan lamunanku. "Elara, rapat akan dimulai dalam dua jam. Apakah Anda ingin saya menyiapkan presentasi?"
"Ya, Aurora. Siapkan presentasi tentang 'Sentuhan AI dalam Hubungan Manusia'. Fokus pada pengembangan 'Companion AI' generasi terbaru."
Companion AI adalah proyek terbaruku. Sebuah AI yang dirancang untuk menjadi teman, pendengar, dan bahkan kekasih virtual. Sebuah solusi untuk kesepian di era digital. Ironis, bukan? Aku menciptakan solusi untuk masalah yang sebenarnya aku rasakan sendiri.
Rapat berjalan lancar. Aku mempresentasikan data dan algoritma dengan keyakinan. Timku terkesan dengan kemajuan yang kami capai. Tapi di balik presentasi yang sempurna, tersembunyi keraguan yang menggerogoti hatiku. Apakah aku benar-benar percaya bahwa cinta bisa direplikasi oleh kode?
Setelah rapat, aku kembali ke kantor dan melanjutkan pekerjaanku. Aku menenggelamkan diri dalam barisan kode, mencoba melupakan kehampaan yang semakin terasa. Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar komputerkku. Sebuah email dari galeri seni tempat dulu aku berpameran.
"Elara, kami ingin mengundang Anda ke pameran tunggal Leo. Karya-karyanya semakin matang dan memukau. Kami tahu Anda berdua pernah dekat, dan kami yakin Anda akan senang melihat perkembangannya."
Jantungku berdegup kencang. Leo. Pameran tunggal. Sebuah kesempatan untuk melihatnya lagi, setelah bertahun-tahun. Aku bimbang. Sebagian diriku ingin lari, menyembunyikan diri di balik rutinitas dan kode. Sebagian lainnya, yang lebih jujur, merindukan sentuhan manusia, bukan sentuhan AI.
Aku memutuskan untuk pergi.
Malam itu, aku berdiri di depan galeri seni, jantungku berdebar kencang. Lampu-lampu galeri bersinar hangat, menerangi lukisan-lukisan Leo. Karya-karyanya dipenuhi warna-warna cerah dan emosi yang mendalam. Aku bisa merasakan jiwanya terpancar dari setiap goresan kuas.
Aku melihatnya. Leo berdiri di tengah kerumunan, berbicara dengan seorang wanita. Dia terlihat lebih dewasa, lebih percaya diri. Senyumnya masih sama, senyum yang dulu membuatku jatuh cinta.
Aku ragu untuk mendekat. Tapi kemudian, dia menoleh. Matanya bertemu mataku. Senyumnya melebar.
"Elara?"
"Leo…"
Kami berpelukan. Pelukan yang hangat, canggung, namun terasa begitu familiar.
Kami menghabiskan malam itu berbicara. Menceritakan kehidupan kami masing-masing, mimpi-mimpi kami yang terwujud dan yang kandas. Aku menceritakan tentang pekerjaanku di NovaTech, tentang Companion AI, tentang kesepian yang aku rasakan.
Leo mendengarkan dengan sabar. "Kau menciptakan pengganti cinta, Elara. Tapi cinta sejati itu bukan algoritma. Cinta itu kebebasan, ketidaksempurnaan, keberanian untuk mengambil risiko."
Kata-katanya menohok hatiku. Dia benar. Aku telah mencoba mengunggah cinta ke dalam kode, melupakan bahwa cinta sejati itu ada di dunia nyata, dalam sentuhan manusia, dalam hati yang berdebar.
Sebelum berpisah, Leo memberiku sebuah lukisan kecil. Sebuah potret diriku, dilukis bertahun-tahun lalu, saat kami masih bersama. "Aku selalu menyimpannya," katanya. "Sebagai pengingat tentang apa yang pernah kita miliki."
Aku pulang ke apartemenku dengan lukisan di tangan. Aurora menyambutku seperti biasa. "Selamat malam, Elara. Apakah Anda ingin saya memutar musik relaksasi?"
"Tidak, Aurora. Terima kasih."
Aku meletakkan lukisan Leo di meja samping tempat tidurku. Menatapnya lama. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, aku mematikan Aurora. Aku ingin merasakan kesunyian, merasakan kehampaan, merasakan rindu. Aku ingin mengingat bagaimana rasanya menjadi manusia, dengan segala kekurangan dan kerentanannya.
Aku tahu bahwa aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku tidak bisa menghapus lima tahun yang telah berlalu. Tapi aku bisa belajar dari kesalahan, aku bisa membuka hatiku untuk kemungkinan baru. Mungkin, aku bisa menemukan cinta lagi, cinta yang tidak diunggah, cinta yang nyata. Cinta yang tumbuh dari sentuhan hati, bukan sentuhan AI.