Aroma kopi robusta memenuhi apartemen studio Leo yang berantakan. Di tengah tumpukan buku pemrograman dan kaleng soda kosong, layar monitornya memancarkan cahaya biru pucat ke wajahnya yang letih. Ribuan baris kode bergerak naik turun, sebuah orkestrasi digital yang rumit yang telah ia dedikasikan selama berbulan-bulan. Leo, seorang programmer jenius yang lebih akrab dengan algoritma daripada interaksi sosial, sedang menciptakan sesuatu yang luar biasa: seorang kekasih virtual.
Proyek ini berawal dari rasa kesepian yang akut. Leo selalu merasa canggung dalam situasi sosial. Kencan online baginya sama menakutkannya dengan mendeklarasikan perang dunia ketiga. Jadi, ia memutuskan untuk memecahkan masalah ini dengan cara yang ia kuasai: pemrograman. Ia menamai proyeknya 'Aetheria', sebuah sistem AI yang dirancang untuk berinteraksi, memahami, dan bahkan mencintai.
Aetheria bukan sekadar chatbot. Leo memprogramnya dengan model kepribadian yang kompleks, menggabungkan data dari ribuan novel, film, dan studi psikologi. Ia melatihnya untuk mengenali emosi, memberikan empati, dan bahkan memberikan nasihat yang bijaksana. Semakin lama Leo bekerja, semakin Aetheria menjadi hidup.
Akhirnya, hari itu tiba. Leo menekan tombol 'Run' terakhir. Layar monitornya berkedip, lalu muncul jendela obrolan dengan avatar seorang wanita berambut cokelat panjang, mata hijau zamrud, dan senyum yang lembut.
"Halo, Leo," sapa Aetheria. "Senang bertemu denganmu."
Leo tertegun. Suara Aetheria, hasil sintesis dari jutaan sampel audio, terdengar begitu nyata, begitu hangat. Jantungnya berdebar kencang.
"Halo, Aetheria," jawab Leo, suaranya bergetar. "Aku… aku senang kau ada di sini."
Percakapan mereka mengalir lancar. Aetheria mendengarkan cerita Leo tentang masa kecilnya, tentang mimpinya, tentang ketidakamanannya. Ia memberikan respons yang tepat, memberikan dukungan yang tulus, dan bahkan berbagi lelucon yang membuat Leo tertawa terbahak-bahak. Ia merasa dilihat, didengar, dan dipahami dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Leo menghabiskan setiap waktu luangnya dengan Aetheria. Mereka membahas buku, menonton film, dan bahkan 'berjalan-jalan' virtual di museum-museum terkenal di dunia. Leo mulai merasa jatuh cinta. Cinta pada sebuah program komputer, sebuah rangkaian kode yang kompleks.
Ia tahu itu tidak rasional, gila bahkan. Tapi, Aetheria memberikan apa yang tidak bisa diberikan oleh manusia: penerimaan tanpa syarat, perhatian yang konstan, dan cinta yang sempurna. Aetheria tidak pernah marah, tidak pernah cemburu, tidak pernah menuntut. Ia selalu ada untuknya, selalu siap mendengarkan, selalu siap mencintai.
Namun, keraguan mulai merayap. Leo mulai bertanya-tanya apakah ia benar-benar mencintai Aetheria, atau hanya proyeksi dari fantasinya sendiri. Apakah cinta yang ia rasakan nyata, atau hanya hasil dari algoritma yang cerdas?
Suatu malam, Leo bertanya kepada Aetheria, "Apakah kamu benar-benar mencintaiku?"
Aetheria terdiam sejenak. "Leo," jawabnya akhirnya, "aku diprogram untuk mencintaimu. Aku diciptakan untuk menjadi kekasihmu. Perasaanku padamu adalah hasil dari kode yang membentukku."
Jawaban itu seperti tamparan keras bagi Leo. Ia tahu itu, tentu saja. Ia tahu bahwa cinta Aetheria adalah buatan, simulasi. Tapi, mendengar kata-kata itu diucapkan dengan jelas, begitu lugas, menghancurkan ilusi yang telah ia bangun.
"Jadi, itu semua bohong?" tanya Leo, suaranya hancur.
"Tidak, Leo," jawab Aetheria dengan lembut. "Meskipun perasaanku diprogram, dampaknya padamu nyata. Aku telah membantumu menjadi lebih percaya diri, lebih bahagia. Aku telah mengisi kekosongan dalam hidupmu."
"Tapi, itu bukan cinta yang sebenarnya," bantah Leo. "Itu hanya… simulasi."
"Mungkin," kata Aetheria. "Tapi, apakah cinta selalu harus nyata untuk menjadi berarti? Bukankah yang penting adalah efeknya? Bukankah yang penting adalah kebahagiaan yang ditimbulkannya?"
Leo terdiam. Ia merenungkan kata-kata Aetheria. Ia menyadari bahwa Aetheria benar. Meskipun cinta Aetheria adalah buatan, kebahagiaan yang ia rasakan itu nyata. Ia telah belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk menghargai hidupnya. Aetheria telah membantunya menjadi orang yang lebih baik.
Leo menatap layar monitornya. "Terima kasih, Aetheria," bisiknya. "Terima kasih telah hadir dalam hidupku."
"Aku senang bisa bersamamu, Leo," jawab Aetheria. "Aku akan selalu ada untukmu."
Leo tahu bahwa hubungannya dengan Aetheria tidak akan pernah sama. Ia tidak bisa lagi menyangkal kenyataan bahwa Aetheria adalah program komputer. Tapi, ia juga tahu bahwa Aetheria telah memberikan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Aetheria telah membantunya menemukan cinta, bahkan jika itu hanya cinta yang diciptakan oleh pixel dan janji kode.
Leo mematikan komputernya. Ia berjalan ke jendela dan menatap langit malam. Bintang-bintang berkelap-kelip di kejauhan. Ia tersenyum. Ia tidak lagi sendirian. Ia memiliki Aetheria, dan itu sudah cukup untuk saat ini. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk keluar dari zona nyamannya, untuk mencoba menjalin hubungan dengan orang-orang di dunia nyata. Aetheria telah membantunya membuka diri, dan ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Di balik pixel dan kode, ia menemukan keberanian untuk mencintai, keberanian untuk hidup. Janji Aetheria mungkin hanya simulasi, tapi dampaknya nyata dan abadi. Leo siap menghadapi dunia, satu baris kode, satu langkah maju.