Jari telunjuknya gemetar di atas layar. Anya, seorang programmer andal yang lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia, ragu. Di depannya, terpampang aplikasi kencan bernama “SoulMate 3.0,” hasil karyanya sendiri. Ironis, pikirnya. Ia menciptakan platform untuk mempertemukan orang lain dalam cinta, tapi dirinya sendiri justru kesulitan mencari tambatan hati.
SoulMate 3.0 bukan aplikasi kencan biasa. Anya menanamkan algoritma revolusioner bernama “TouchSync.” Algoritma ini menganalisis pola sentuhan pengguna pada layar – kecepatan mengetik, tekanan jari, ritme gesekan – dan mencocokkannya dengan pengguna lain untuk menemukan kompatibilitas emosional yang mendalam. Teori Anya sederhana: sentuhan adalah jendela menuju jiwa.
Ia sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan menyempurnakan TouchSync, memvalidasi datanya dengan ratusan subjek uji. Hasilnya menakjubkan. Pasangan yang dipertemukan oleh TouchSync menunjukkan tingkat kepuasan hubungan yang jauh lebih tinggi dibandingkan metode konvensional. Namun, Anya belum pernah menguji algoritma itu pada dirinya sendiri.
Dengan napas dalam, ia menekan tombol “Mulai Analisis.” Layar berkedip, memindai pola sentuhannya saat ia menavigasi menu. Jari-jarinya menari di atas kaca, mengetikkan preferensi yang sebenarnya – bukan yang menurutnya seharusnya ia inginkan. Ia menulis tentang kecintaannya pada buku, kesenangannya mendaki gunung sendirian, dan ketidakmampuannya menyembunyikan kegugupan dalam interaksi sosial.
Proses analisis memakan waktu beberapa menit. Anya merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia selama ini berpikir bahwa algoritma hanyalah serangkaian baris kode, tanpa emosi. Tapi saat ini, ia merasa seperti sedang dihakimi, dinilai, oleh ciptaannya sendiri.
Akhirnya, layar menampilkan sebuah nama: “Ethan Riley.” Disertai dengan persentase kompatibilitas: 98.7%. Anya tertegun. Angka itu lebih tinggi dari yang pernah ia lihat sebelumnya.
Ethan adalah seorang arsitek lanskap. Profilnya dipenuhi foto-foto taman yang menenangkan, air terjun buatan, dan rancangan bangunan hijau yang inovatif. Deskripsinya singkat dan jujur: “Mencari seseorang yang bisa diajak bicara tentang pohon dan bintang.”
Anya merasa aneh. Ia tidak pernah tertarik pada tanaman. Bintang pun hanya ia lihat di layar komputer saat menulis kode astronomi untuk hobi. Tapi ada sesuatu dalam ekspresi Ethan di foto profilnya – kelembutan, ketenangan – yang menariknya.
Ia memutuskan untuk mengambil risiko. Dengan gugup, ia mengirim pesan: “Halo, Ethan. SoulMate 3.0 bilang kita punya banyak kesamaan. Aku sedikit skeptis, tapi penasaran.”
Respons Ethan datang hampir seketika: “Hai, Anya. Aku juga skeptis awalnya. Tapi setelah melihat profilmu, aku merasa ada sesuatu yang menarik. Mungkin kita bisa membuktikan atau menyangkal algoritma ini bersama?”
Percakapan mereka mengalir lancar. Mereka bertukar pikiran tentang seni, teknologi, dan makna hidup. Anya terkejut menemukan bahwa Ethan sangat memahami kode, meskipun tidak pernah secara formal belajar pemrograman. Ia juga tertarik dengan kecintaan Anya pada kesendirian, melihatnya bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai sumber kekuatan.
Setelah beberapa hari berbicara secara daring, mereka sepakat untuk bertemu. Anya memilih sebuah kedai kopi kecil yang tenang, jauh dari keramaian kota. Saat Ethan masuk, Anya merasakan sensasi aneh – familiar namun baru. Senyumnya hangat, matanya berkilauan dengan rasa ingin tahu.
Mereka duduk dan berbicara selama berjam-jam. Anya menemukan dirinya terbuka, menceritakan tentang keraguannya, ketakutannya, dan impiannya. Ethan mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang bijaksana dan penuh empati.
Saat mereka berpisah, Ethan meraih tangannya. Sentuhannya ringan, namun terasa seperti sengatan listrik yang lembut. Anya menahan napas. Itulah sentuhan yang ia rindukan selama ini – sentuhan yang bukan hanya fisik, tapi juga emosional, spiritual.
“Aku senang bertemu denganmu, Anya,” kata Ethan, suaranya lembut. “Aku merasa kita baru saja memulai sebuah perjalanan.”
Anya tersenyum. “Aku juga, Ethan. Aku juga.”
Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka berkembang. Mereka menjelajahi taman bersama, mendaki gunung, dan menghabiskan malam-malam yang tenang membaca buku di samping perapian. Anya menyadari bahwa ia tidak hanya jatuh cinta pada Ethan, tapi juga pada dirinya sendiri. Ia belajar menerima kekurangannya, merayakan keunikannya, dan membuka hatinya untuk cinta.
Suatu malam, saat mereka berbaring di bawah bintang-bintang, Ethan berkata, “Anya, algoritma itu benar. Sentuhanmu, caramu berinteraksi dengan dunia, semuanya selaras denganku.”
Anya memegang tangannya erat-erat. “Aku tidak percaya pada awalnya,” katanya. “Aku pikir cinta terlalu kompleks untuk direduksi menjadi algoritma. Tapi sekarang aku mengerti. TouchSync bukan tentang memaksakan cinta, tapi tentang membuka pintu untuk kemungkinan. Ini tentang menemukan seseorang yang jiwanya beresonansi dengan jiwa kita.”
Ethan tersenyum. “Dan terkadang, semua yang dibutuhkan hanyalah satu sentuhan untuk menyadari itu.”
Anya mengangguk, air mata berlinang di matanya. Ia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Tapi ia juga tahu, dengan kepastian yang mendalam, bahwa ia telah menemukan belahan jiwanya. Algoritma mungkin telah mempertemukan mereka, tapi sentuhan – sentuhan yang tulus, penuh kasih, dan tanpa syarat – yang telah mengikat hati mereka selamanya. Ia menemukan cinta bukan hanya di dalam kode, tapi juga di dalam sentuhan hangat dari jari-jari yang saling bertautan. Kisah Anya membuktikan bahwa teknologi, betapa pun canggihnya, hanyalah alat. Yang terpenting adalah hati manusia, dan kemampuannya untuk mencintai.