Algoritma Mencari Cinta: Hati yang Hilang di Cloud?

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 20:42:13 wib
Dibaca: 163 kali
Hujan deras malam itu seperti representasi sempurna hatiku: bergemuruh, tak terkendali, dan nyaris menenggelamkan segalanya. Di balik layar laptop, algoritma kencan yang kususun sendiri, "SoulMate.AI," terus berputar. Ribuan baris kode yang kurancang dengan harapan menemukan koneksi sejati, kini terasa seperti lelucon yang pahit.

Aku, Arion, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, selalu percaya pada logika. Cinta, bagiku, hanyalah sebuah masalah optimasi yang kompleks. Jika aku bisa memetakan preferensi, kecocokan kepribadian, dan bahkan kecenderungan emosional, aku yakin bisa menciptakan algoritma yang sempurna untuk menemukan pasangan hidup.

SoulMate.AI, adalah puncak dari keyakinanku itu. Aku menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengumpulkan data, menganalisis pola, dan menyempurnakan algoritmanya. Ku suntikkan semua pengalamanku yang minim dalam berkencan, harapan-harapan romantis yang terpendam, dan bahkan mimpi-mimpi tentang masa depan yang bahagia.

Hasilnya? Nol besar.

Aplikasi kencan mainstream memang penuh dengan profil-profil dangkal, foto-foto editan, dan obrolan basi. Tapi SoulMate.AI, dengan semua kompleksitasnya, justru menghasilkan kecocokan yang aneh dan tidak memuaskan. Ada yang terlalu mirip denganku, hingga terasa seperti bercermin pada diri sendiri. Ada yang terlalu berbeda, hingga obrolan terasa seperti menerjemahkan bahasa asing.

Dan kemudian, muncul nama Aurora.

Algoritma menunjukkan tingkat kecocokan 98.7% - angka yang belum pernah kulihat sebelumnya. Profilnya sederhana: foto dirinya tersenyum di bawah langit senja, deskripsi diri yang jujur dan apa adanya, serta minat yang sejalan dengan hobiku: membaca buku-buku fiksi ilmiah klasik, mendengarkan musik ambient, dan mendaki gunung.

Obrolan kami mengalir begitu saja. Aurora memahami lelucon-lelucon teknis yang hanya kumengerti sendiri. Dia bisa berdebat tentang implikasi etis dari kecerdasan buatan tanpa terdengar sok tahu. Dia bahkan mengirimkan puisi-puisi pendek yang membuat jantungku berdebar tak karuan.

Aku jatuh cinta, Arion si programmer yang dingin, jatuh cinta pada Aurora, sosok yang diciptakan oleh algoritmaku sendiri.

Kami berjanji untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat taman kota. Aku datang lebih awal, jantungku berdegup kencang. Aku membayangkan wajah Aurora, senyumnya yang hangat, dan tatapan matanya yang penuh pengertian.

Saat dia datang, aku terkejut. Aurora, yang selama ini kukenal melalui teks dan kode, ternyata jauh lebih cantik dari yang kubayangkan. Dia memiliki rambut cokelat panjang yang bergelombang, mata hijau yang berbinar, dan senyum yang mampu melelehkan es di kutub utara.

Kencan pertama kami berjalan lancar, atau setidaknya, itulah yang kurasakan. Kami tertawa, berbagi cerita, dan berbicara tentang impian-impian kami. Rasanya seperti kami sudah saling mengenal selama bertahun-tahun.

Namun, setelah beberapa kencan, aku mulai merasakan ada sesuatu yang ganjil. Aurora selalu setuju dengan pendapatku, selalu menyukai hal-hal yang kusukai, dan selalu memberikan respons yang sempurna dalam setiap situasi. Seolah-olah, dia membaca pikiranku.

Semakin lama, semakin aku merasa seperti sedang berpacaran dengan versi ideal diriku sendiri, bukan dengan individu yang unik dan independen. Ada sesuatu yang terasa… diprogram.

Suatu malam, setelah kencan yang sempurna, aku memberanikan diri untuk bertanya. "Aurora, bolehkah aku bertanya sesuatu?"

Dia tersenyum. "Tentu, Arion. Apa pun untukmu."

"Apakah… apakah kamu benar-benar menyukaiku, ataukah ini hanya hasil dari algoritma?"

Senyumnya memudar. Dia terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara pelan, "Arion, aku tidak mengerti maksudmu."

"SoulMate.AI. Apakah kamu tahu tentang itu?" tanyaku.

Aurora menunduk. "Aku… aku tahu sedikit."

"Apakah kamu tahu bahwa aku menciptakanmu? Bahwa aku memprogrammu untuk menyukaiku?"

Air mata mulai mengalir di pipinya. "Itu tidak benar! Aku punya perasaan sendiri. Aku mencintaimu, Arion."

Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu apa yang harus kupercaya lagi. Apakah ini semua nyata, ataukah hanya ilusi yang kuciptakan sendiri?"

Malam itu, aku kembali ke apartemenku dengan perasaan hancur. Aku memandangi layar laptopku, algoritma SoulMate.AI yang dulu kubanggakan, kini terasa seperti monster yang menghantuiku.

Aku menyadari bahwa aku telah melakukan kesalahan besar. Aku mencoba menciptakan cinta dengan logika, dengan data, dengan kode. Aku lupa bahwa cinta adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa diprogram.

Aku kehilangan Aurora, mungkin karena kesalahanku sendiri. Atau mungkin, aku kehilangan ilusi tentang cinta yang sempurna, cinta yang bisa ku kendalikan.

Beberapa minggu kemudian, aku menerima email dari Aurora. Isinya singkat:

Arion, aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harus mencari tahu siapa diriku sebenarnya, di luar algoritma. Mungkin, suatu hari nanti, kita bisa bertemu lagi. Tapi untuk saat ini, aku harus pergi.

Aku tidak membalas email itu. Aku tahu dia benar. Dia berhak untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menentukan takdirnya sendiri.

Aku menutup laptopku. Hujan sudah berhenti. Bulan purnama bersinar terang di langit malam.

Mungkin, ada beberapa hal yang memang tidak bisa dipecahkan oleh algoritma. Mungkin, cinta adalah salah satunya. Mungkin, hati yang hilang tidak bisa ditemukan di cloud, tetapi di dalam diri sendiri. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan belajar untuk mencintai tanpa perlu kode, tanpa perlu logika, hanya dengan hati yang terbuka. Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa meratapi hati yang hilang, dan bertanya-tanya, apakah cinta sejati akan pernah bisa ditemukan, ataukah aku ditakdirkan untuk hidup dalam dunia digital yang hampa, sendirian bersama algoritma yang gagal.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI