Udara kafe digital itu beraroma kopi robusta dan harapan. Jari-jariku menari di atas layar tablet, menyempurnakan profil kencan virtualku di aplikasi "SoulMate 2.0." Algoritmanya konon mampu menemukan jodoh sejati berdasarkan kombinasi data kepribadian, preferensi, dan riwayat interaksi daring. Aku, Arina, 27 tahun, seorang desainer UI/UX, sangat berharap algoritma ini bekerja.
Beberapa bulan terakhir, hidupku terasa seperti kode yang belum selesai ditulis. Karierku cemerlang, apartemenku minimalis dan nyaman, tapi di balik semua itu ada lubang besar berbentuk kesepian. Teman-temanku sibuk dengan keluarga masing-masing. Aku ingin merasakan kehangatan tangan seseorang, bukan hanya dinginnya baja laptop.
"SoulMate 2.0," dengan jargonnya yang meyakinkan, menjadi jawabanku. Aku mengisi kuesionernya dengan jujur, mengunggah foto terbaikku (yang sudah diedit sedikit, tentu saja), dan menunggu.
Algoritma bekerja cepat. Tak lama kemudian, notifikasi berbunyi. "Calon pasangan potensial ditemukan: Damian."
Profil Damian tampak menjanjikan. Fotografer freelance, penyuka musik indie, dan pecinta alam. Kami memiliki kesamaan minat yang cukup banyak menurut perhitungan aplikasi. Aku merasa sedikit bersemangat.
Percakapan daring kami berjalan lancar. Damian ternyata humoris, cerdas, dan pendengar yang baik. Kami bertukar cerita tentang mimpi, ketakutan, dan pengalaman hidup. Semakin lama, semakin aku merasa mengenal Damian. Algoritma ini mungkin benar, pikirku.
Setelah dua minggu berinteraksi, Damian mengajakku bertemu. Kafe digital ini menjadi saksi bisu kencan pertama kami.
Damian datang tepat waktu. Penampilannya sama persis dengan fotonya di profil. Tinggi, kurus, dengan rambut ikal yang berantakan dan senyum menawan. Percakapan kami mengalir dengan lancar, seolah kami sudah saling kenal lama. Kami membahas film favorit, pameran seni yang baru-baru ini kami kunjungi (secara virtual, tentunya), dan bahkan berdebat ringan tentang manfaat dan kekurangan kecerdasan buatan.
Kencan pertama itu sukses. Aku merasa seperti melayang di atas awan. Algoritma "SoulMate 2.0" ternyata tidak berbohong. Damian adalah pria yang sempurna untukku.
Kencan-kencan berikutnya mengikuti pola yang sama. Kami menjelajahi kota, mencoba restoran baru, dan menonton konser musik. Setiap momen bersamanya terasa menyenangkan dan berkesan. Kami seolah terhubung di level yang lebih dalam. Aku mulai membayangkan masa depan bersamanya.
Namun, seiring berjalannya waktu, ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Sesuatu yang sulit dijelaskan.
Setiap kali kami berinteraksi, aku merasa seperti sedang memainkan peran. Aku merasa seperti sedang berusaha memenuhi ekspektasi yang telah ditetapkan oleh algoritma. Aku tahu apa yang Damian ingin dengar, apa yang akan membuatnya tertawa, dan bagaimana cara membuatnya merasa nyaman. Aku tahu semua itu karena algoritma telah menganalisis data pribadiku dan Damian, dan memberikan panduan.
Aku merasa seperti sedang berkencan dengan sebuah proyeksi, bukan dengan manusia yang sebenarnya. Aku merindukan kejutan, spontanitas, dan ketidaksempurnaan. Aku merindukan perasaan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam romantis di sebuah restoran Italia, aku tidak tahan lagi. Aku meletakkan garpuku, menatap mata Damian, dan berkata, "Damian, aku harus mengakui sesuatu."
Damian tampak bingung. "Ada apa, Arina?"
"Aku merasa...aku merasa kita terlalu bergantung pada aplikasi ini. Aku merasa kita tidak benar-benar mengenal satu sama lain. Kita hanya mengenal versi diri kita yang telah dioptimalkan oleh algoritma."
Damian terdiam sejenak. Kemudian, dia menghela napas panjang. "Aku tahu apa yang kau maksud, Arina. Aku juga merasakan hal yang sama."
Dia melanjutkan, "Awalnya, aku sangat senang menemukanmu. Algoritma ini seolah memberikan jaminan bahwa kita akan cocok. Tapi lama kelamaan, aku merasa seperti sedang bermain game. Aku berusaha memenuhi ekspektasi yang telah ditetapkan oleh aplikasi."
Kami berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanyaku, memecah keheningan.
Damian mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu. Mungkin kita harus berhenti menggunakan aplikasi ini. Mungkin kita harus mencoba mengenal satu sama lain tanpa bantuan algoritma."
Aku mengangguk setuju. "Aku rasa itu ide yang bagus."
Kami memutuskan untuk menghapus aplikasi "SoulMate 2.0" dari ponsel kami. Kami sepakat untuk berkencan tanpa bantuan teknologi. Kami ingin mengenal satu sama lain apa adanya, tanpa filter dan tanpa ekspektasi.
Kencan pertama kami tanpa algoritma terasa aneh dan canggung. Kami tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Kami tidak tahu bagaimana cara membuat satu sama lain tertawa. Tapi perlahan, sedikit demi sedikit, kami mulai menemukan jati diri kami yang sebenarnya.
Kami menemukan bahwa Damian ternyata tidak terlalu menyukai musik indie, tapi dia sangat ahli dalam memasak. Aku menemukan bahwa aku tidak terlalu suka berdebat tentang kecerdasan buatan, tapi aku sangat menikmati membaca buku-buku fiksi ilmiah.
Kami belajar menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kami belajar mencintai satu sama lain apa adanya.
Prosesnya tidak mudah. Ada banyak momen kebingungan, frustrasi, dan bahkan pertengkaran. Tapi kami berdua berkomitmen untuk terus berusaha. Kami percaya bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan oleh algoritma. Cinta sejati harus dibangun, dipupuk, dan diperjuangkan.
Beberapa bulan kemudian, aku dan Damian duduk di taman kota, berpegangan tangan. Matahari sore menyinari wajah kami, memberikan sentuhan hangat pada kulit kami.
"Kau tahu, Arina," kata Damian, "Aku senang kita menghapus aplikasi itu. Aku merasa lebih dekat denganmu sekarang. Aku merasa seperti aku benar-benar mengenalmu."
Aku tersenyum dan menggenggam tangannya lebih erat. "Aku juga, Damian. Aku juga."
Aku menyadari bahwa algoritma memang bisa membantu kita menemukan seseorang, tapi algoritma tidak bisa memberikan kita cinta sejati. Cinta sejati membutuhkan keberanian untuk menjadi diri sendiri, kejujuran untuk mengungkapkan perasaan kita, dan kesediaan untuk menerima orang lain apa adanya.
Mungkin algoritma bisa memeluk, tapi hanya hati yang bisa merasa. Dan hatiku, saat ini, merasa sangat bahagia.