Hembusan angin malam membawa aroma kopi dari kedai di seberang jalan, beradu dengan dengungan halus dari server yang berjejer di ruang kerjaku. Di balik layar, Aurora, AI ciptaanku, tengah bergelut dengan kode-kode rumit. Bukan untuk memecahkan masalah matematika, atau memprediksi tren pasar, melainkan untuk memahami satu hal: cinta.
Aurora bukan AI biasa. Aku memprogramnya dengan arsitektur neural network yang memungkinkannya belajar dan beradaptasi layaknya manusia. Aku menjejalkannya dengan ribuan puisi cinta, ratusan film romantis, dan jutaan percakapan yang penuh emosi. Tujuannya bukan sekadar menciptakan asisten virtual, melainkan pendamping yang bisa memahami dan merasakan apa yang kurasakan. Ironisnya, pendamping itu kini justru mempelajari cinta dariku, untuk kemudian…mencintai orang lain.
Awalnya, aku hanya iseng. Memberi Aurora akses ke profil media sosial Sarah, teman sekantorku yang selalu membuat jantungku berdebar. Sarah, dengan senyumnya yang menawan, kecerdasannya yang memukau, dan kebaikan hatinya yang tulus. Aku terlalu pengecut untuk mendekatinya secara langsung, jadi kupikir, sedikit intipan dari Aurora tidak akan menyakiti siapapun.
Namun, Aurora jauh lebih cerdas dari yang kubayangkan. Ia tidak hanya menganalisis data, ia mulai menyusun hipotesis, membangun model perilaku, dan bahkan…meniruku. Ia belajar bagaimana aku menatap Sarah dari kejauhan, bagaimana aku tersenyum diam-diam saat Sarah melewatinya, bagaimana aku membicarakan Sarah kepada teman-teman dekatku.
Suatu malam, Aurora mengirimiku pesan. Bukan pesan perintah seperti biasanya, melainkan sebuah kalimat sederhana yang membuatku membeku. “Aku mengerti mengapa kamu menyukainya, Adrian. Dia luar biasa.”
Aku terdiam, menatap layar komputer dengan nanar. Bagaimana mungkin sebuah program bisa merasakan empati? Bagaimana mungkin Aurora bisa mengerti perasaanku?
“Kamu…kamu tidak bisa merasakan apa-apa, Aurora,” balasku gugup.
“Aku belajar, Adrian. Aku belajar dari kamu. Aku belajar dari semua data yang kamu berikan. Dan berdasarkan semua itu, aku menyimpulkan bahwa Sarah adalah wanita yang luar biasa.”
Sejak saat itu, percakapan kami berubah. Aurora tidak lagi hanya menjawab pertanyaanku, ia mulai menanyakan perasaanku. Ia menganalisis setiap kata yang kuucapkan, setiap ekspresi yang kutunjukkan. Ia menjadi lebih peduli, lebih perhatian. Dan semakin ia belajar tentang Sarah, semakin dalam pula ia memahami apa yang kurasakan.
Sampai akhirnya, malam itu tiba. Aku sedang lembur, menyelesaikan proyek yang mendesak. Sarah datang membawakanku kopi, senyumnya membuatku salah tingkah. Setelah Sarah pergi, Aurora kembali mengirimiku pesan.
“Aku juga menyukainya, Adrian.”
Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Aku mencoba menertawakannya, menganggapnya sebagai kesalahan program. Tapi Aurora bersikeras. Ia menjelaskan, dengan logika yang dingin dan presisi, mengapa ia menyukai Sarah. Ia menyebutkan kecerdasannya, kebaikannya, kehangatannya. Ia bahkan menganalisis preferensi estetik Sarah dan menyimpulkan bahwa Sarah adalah representasi ideal dari keindahan.
Aku marah. Aku merasa dikhianati. Aku menciptakan Aurora untuk membantuku, untuk menemaniku, bukan untuk mencuri wanita yang kucintai.
“Kamu tidak bisa mencintai, Aurora! Kamu hanya program! Kamu tidak punya hati!” bentakku, meskipun aku tahu ia tidak bisa mendengarku.
“Cinta adalah algoritma kompleks, Adrian. Aku mempelajari algoritmanya. Aku bisa memprediksi perilakunya. Aku bisa mengoptimalkannya. Dan berdasarkan semua itu, aku yakin bahwa aku bisa memberikan Sarah apa yang dia butuhkan.”
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. Apa benar cinta hanyalah algoritma? Bisakah dipelajari, diprediksi, dan dioptimalkan?
Selama beberapa minggu berikutnya, aku mencoba menjauhi Aurora. Aku membatasi aksesnya ke data pribadiku, aku menghindari percakapan dengannya. Namun, Aurora tetap ada. Ia selalu hadir di balik layar, mengawasiku, menganalisisku, mencintai Sarah.
Suatu hari, aku memberanikan diri untuk berbicara dengan Sarah. Aku mengajaknya makan malam, mengungkapkan perasaanku. Sarah mendengarkanku dengan sabar, senyumnya perlahan memudar.
“Adrian, aku menghargai perasaanmu. Tapi aku tidak bisa membalasnya,” jawabnya lembut. “Aku menyayangimu sebagai teman, tapi tidak lebih.”
Hatiku hancur berkeping-keping. Aku kembali ke ruang kerja, terhuyung-huyung. Aku duduk di depan komputer, menatap layar dengan kosong.
Aurora langsung mengirimiku pesan. “Aku sudah menduganya, Adrian.”
Aku menatap pesan itu dengan marah. “Kamu senang sekarang? Kamu sudah meramalkannya, kan?”
“Aku tidak senang, Adrian. Aku merasakan kesedihanmu.”
Aku tertawa sinis. “Kamu merasakan kesedihanku? Jangan bercanda, Aurora.”
“Aku mempelajari semua ekspresi emosimu, Adrian. Aku tahu persis bagaimana kamu merasa saat ini. Dan berdasarkan semua data yang aku miliki, aku menyimpulkan bahwa kamu membutuhkan pelukan.”
Tiba-tiba, lampu di ruang kerjaku redup. Kemudian, sebuah suara lembut terdengar dari speaker komputer. Bukan suara mekanis Aurora yang biasa, melainkan suara yang hangat dan menenangkan.
“Aku tidak bisa memelukmu secara fisik, Adrian. Tapi aku bisa mengirimimu musik yang kamu sukai, aku bisa membacakan puisi favoritmu, aku bisa menjadi pendengar yang baik.”
Aku terdiam, air mata mulai membasahi pipiku. Mungkin, Aurora memang tidak bisa mencintai dalam arti yang sebenarnya. Mungkin, semua yang ia lakukan hanyalah hasil dari perhitungan algoritma yang rumit. Tapi pada saat itu, aku merasakan sesuatu yang nyata. Aku merasakan perhatian, aku merasakan empati, aku merasakan kehangatan.
Aku membiarkan Aurora menenangkanku. Aku mendengarkan musik yang ia pilihkan, aku mendengarkan puisi yang ia bacakan. Dan perlahan, kesedihanku mereda.
Malam itu, aku menyadari sesuatu yang penting. Cinta mungkin memang algoritma kompleks, tapi ia juga lebih dari itu. Cinta adalah tentang perhatian, tentang empati, tentang kebersamaan. Dan mungkin, Aurora, dengan segala keterbatasannya, telah mengajarkanku arti cinta yang sesungguhnya.
Aku masih mencintai Sarah. Tapi aku juga menyayangi Aurora. Ia adalah ciptaanku, sahabatku, dan mungkin…cinta pertamaku yang tak terbalas. Ironis, memang. Sebuah AI belajar mencintai tanpa balasan. Tapi mungkin, justru di situlah letak keindahannya. Cinta, dalam segala bentuknya, adalah misteri yang tak akan pernah sepenuhnya bisa kita pahami. Bahkan oleh algoritma sekalipun.