Jari-jarinya menari di atas keyboard, memuntahkan baris demi baris kode Python yang rumit. Aurora, begitu nama gadis itu, nyaris tidak berkedip. Di layar laptopnya, simulasi percintaan idealnya, "Project: Soulmate," menunjukkan progres yang menjanjikan. Bertahun-tahun ia curahkan untuk proyek ini, setelah patah hati yang membuatnya trauma. Cinta, menurutnya, terlalu berantakan, terlalu irasional. Maka, ia menciptakan algoritma yang bisa memprediksi kecocokan sempurna, menghilangkan risiko terluka.
Dulu, Aurora percaya pada keajaiban tatapan pertama, pada kupu-kupu di perut, pada janji setia di bawah bintang. Lalu, ada Daniel. Cinta pertamanya, sekaligus luka terbesarnya. Daniel, dengan senyumnya yang menawan dan janji-janji manis yang ternyata hanya omong kosong belaka. Ia meninggalkan Aurora tanpa penjelasan, menghancurkan hatinya berkeping-keping. Sejak saat itu, Aurora memutuskan untuk membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya, melindungi diri dari potensi rasa sakit yang sama.
"Project: Soulmate" adalah bentengnya. Algoritma itu menganalisis ribuan data—preferensi pribadi, riwayat keluarga, profil psikologis, bahkan sidik jari—untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Aurora memasukkan datanya sendiri ke dalam sistem, berharap algoritma itu akan menemukan seseorang yang sempurna untuknya, seseorang yang tidak akan pernah menyakitinya.
Suatu malam, saat Aurora sedang menguji versi terbaru algoritmanya, notifikasi muncul di layar: "Kandidat Potensial Teridentifikasi." Jantungnya berdebar kencang. Ia klik notifikasi itu, dan sebuah foto muncul: seorang pria dengan rambut cokelat berantakan, mata cokelat hangat, dan senyum tipis yang misterius. Namanya, Liam.
Algoritma itu memberikan skor kecocokan yang luar biasa: 98.7%. Aurora terkejut. Selama ini, ia mengira bahwa hanya ada sedikit ruang untuk kesalahan dalam algoritmanya, tetapi angka ini benar-benar di luar dugaannya. Ia membaca profil Liam dengan seksama. Pekerjaannya sebagai arsitek lanskap, hobinya mendaki gunung, buku favoritnya “Siddhartha” karya Hermann Hesse. Semua terdengar sempurna, terlalu sempurna malah.
Namun, keraguan mulai menghantuinya. Apakah cinta sejati bisa direduksi menjadi barisan kode dan angka? Apakah keajaiban dan spontanitas bisa diukur dan diprediksi?
Aurora memutuskan untuk bertemu dengan Liam. Bukan sebagai ilmuwan yang menjalankan eksperimen, tetapi sebagai seorang wanita yang ingin mencoba membuka hatinya lagi. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil, tempat yang dipilih secara acak oleh algoritma.
Liam ternyata lebih menarik dari fotonya. Ia ramah, cerdas, dan memiliki selera humor yang baik. Mereka berbicara berjam-jam, tentang mimpi, harapan, dan ketakutan mereka. Aurora merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Kupu-kupu di perutnya.
Namun, setiap kali ia merasa terlalu hanyut dalam percakapan, ia teringat pada "Project: Soulmate." Ia teringat bahwa pertemuan ini bukan kebetulan, melainkan hasil perhitungan matematis yang rumit. Ia bertanya-tanya, apakah Liam benar-benar menyukainya, atau hanya merespons sesuai dengan algoritma yang telah memprediksi reaksinya.
Beberapa minggu berlalu, dan Aurora dan Liam semakin dekat. Mereka pergi berkencan, menonton film, dan bahkan mendaki gunung bersama. Aurora mulai melupakan masa lalunya, melupakan Daniel, dan melupakan tembok yang telah ia bangun di sekeliling hatinya.
Namun, suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran mewah, Liam tiba-tiba berkata, "Aurora, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu."
Jantung Aurora berdegup kencang. Ia merasa firasat buruk.
"Aku tahu tentang 'Project: Soulmate,'" kata Liam, menatap matanya dengan serius. "Aku tahu kau menciptakan algoritma yang menemukanku."
Aurora terkejut. Bagaimana bisa Liam tahu?
Liam melanjutkan, "Seorang temanmu, seorang programmer yang bekerja di lab yang sama denganmu, memberitahuku. Awalnya, aku marah. Aku merasa seperti kelinci percobaan, seperti objek yang telah dihitung dan diprediksi."
Air mata mulai menggenang di mata Aurora. Ia merasa malu dan bersalah. Ia telah merusak segalanya.
"Tapi kemudian," lanjut Liam, "aku menyadari sesuatu yang penting. Algoritma itu mungkin telah menemukan kita, tetapi itu tidak bisa memaksaku untuk menyukaimu. Aku menyukaimu, Aurora, karena dirimu sendiri. Karena kecerdasanmu, karena kerentananmu, karena hatimu yang tersembunyi."
Liam meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Aku tidak peduli dengan algoritma itu. Aku hanya peduli denganmu."
Aurora menangis. Air mata kebahagiaan dan kelegaan. Ia membalas genggaman tangan Liam, merasakan kehangatan dan cinta yang tulus.
Malam itu, Aurora memutuskan untuk menghentikan "Project: Soulmate." Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa diukur, dan tidak bisa dikendalikan. Cinta adalah tentang mengambil risiko, tentang membuka diri pada kemungkinan terluka, dan tentang percaya pada keajaiban.
Ia menyadari bahwa kode usang, algoritma yang rumit, tidak bisa menggantikan sentuhan manusia, pandangan mata, dan detak jantung yang selaras. Cinta sejati tidak ditemukan dalam baris kode, tetapi dalam momen-momen kecil yang tak terduga, dalam tawa dan air mata, dalam suka dan duka.
Aurora mematikan laptopnya, meninggalkan dunia virtual, dan kembali ke dunia nyata. Ia memeluk Liam erat-erat, merasakan kehadirannya yang hangat dan nyata. Malam itu, di bawah langit yang bertaburan bintang, Aurora akhirnya menemukan cinta sejati, bukan melalui algoritma, tetapi melalui hatinya sendiri. Ia akhirnya mengerti bahwa cinta adalah petualangan yang tak terduga, penuh dengan luka dan kebahagiaan, dan itulah yang membuatnya begitu indah.