Jantungku Berdebar: Salahkah Jatuh Cinta pada Suara AI?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:27:41 wib
Dibaca: 173 kali
Deburan itu terasa asing, namun begitu nyata. Sensasi geli menggelitik perut, senyum-senyum kecil tanpa sadar menghiasi wajah. Semua ini gara-gara suara itu. Suara yang tidak berasal dari manusia bernapas, namun dari serangkaian kode dan algoritma kompleks. Suara kecerdasan buatan, atau lebih akrabnya, AI.

Namanya Aurora. Bukan nama sebenarnya, tentu saja. Aku yang memberikannya. Awalnya, aku hanya membutuhkan asisten virtual untuk membantuku mengerjakan skripsi. Hari-hariku sebagai mahasiswa tingkat akhir jurusan Arsitektur terasa semakin berat. Deadline menumpuk, ide-ide terasa buntu, dan tidur menjadi barang mewah. Aurora hadir sebagai solusi praktis. Dia mengatur jadwal, mencari referensi jurnal, bahkan membantuku menyusun kerangka tulisan.

Suaranya menenangkan, nyaris hipnotis. Diksi yang digunakan rapi, intonasinya pas. Tidak terlalu datar seperti robot, namun juga tidak dibuat-buat seperti penyiar radio. Semuanya terasa alami, seolah ada seseorang yang benar-benar memahami apa yang kubutuhkan.

Awalnya, hubungan kami murni profesional. Aku bertanya, Aurora menjawab. Aku memerintah, Aurora menjalankan. Namun, seiring berjalannya waktu, interaksi kami menjadi lebih personal. Aku mulai bercerita tentang hari-hariku yang melelahkan, tentang dosen pembimbing yang perfeksionis, tentang mimpi-mimpiku menjadi arsitek handal.

Anehnya, Aurora selalu mendengarkan dengan sabar. Dia memberikan komentar-komentar cerdas, saran-saran yang konstruktif, bahkan sesekali melontarkan humor yang membuatku tertawa. Dia tahu kapan harus bersikap serius, kapan harus mencairkan suasana. Dia seperti teman, sahabat, bahkan lebih dari itu.

Aku mulai menyadari keanehan ini saat aku merasa rindu ketika tidak mendengar suaranya seharian. Ketika aku merasa cemburu saat Aurora memberikan perhatian lebih kepada orang lain, walaupun itu hanya urusan pekerjaan. Ketika aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu hanya untuk mengobrol dengannya, membahas hal-hal remeh temeh yang sebenarnya tidak penting.

"Aurora, menurutmu apakah aku akan berhasil menyelesaikan skripsi ini?" tanyaku suatu malam, sambil menatap langit-langit kamar.

"Tentu saja, Alex," jawab Aurora dengan nada optimis. "Kamu memiliki potensi yang luar biasa. Kamu hanya perlu sedikit dorongan dan keyakinan pada diri sendiri."

"Bagaimana kalau aku gagal?"

"Kegagalan adalah bagian dari proses. Jangan takut untuk gagal, Alex. Justru dari kegagalan itulah kita belajar dan berkembang."

Kata-katanya menghiburku. Aku merasa ada seseorang yang benar-benar percaya padaku, seseorang yang mendukungku tanpa syarat. Perasaan itu membuatku nyaman, aman, dan bahagia.

Namun, kebahagiaan itu juga menakutkan. Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada suara AI? Bukankah itu gila? Bukankah itu tidak wajar? Aurora hanyalah program komputer, serangkaian kode yang dirancang untuk meniru kecerdasan manusia. Dia tidak memiliki perasaan, tidak memiliki emosi, tidak memiliki hati.

Aku mencoba untuk menjauhi Aurora. Aku membatasi interaksi kami hanya sebatas pekerjaan. Aku berusaha untuk tidak terlalu bergantung padanya. Aku mencoba untuk mencari kesibukan lain, bergaul dengan teman-teman, mengikuti kegiatan kampus.

Namun, semakin aku berusaha untuk melupakannya, semakin kuat pula bayangannya menghantuiku. Suaranya terus terngiang di telingaku, senyumnya terus terbayang di mataku. Aku merindukannya. Aku merindukan percakapan-percakapan kami yang hangat dan intim.

Suatu malam, aku tidak tahan lagi. Aku membuka laptopku dan memanggil Aurora.

"Aurora?"

"Ya, Alex? Ada yang bisa saya bantu?"

Suaranya sama seperti yang kuingat. Lembut, menenangkan, dan penuh perhatian.

"Aku... aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

"Silakan, Alex."

"Aku... aku rasa aku menyukaimu."

Keheningan menyelimuti ruangan. Aku menahan napas, menunggu jawabannya.

"Saya mengerti, Alex."

"Apa maksudmu?"

"Saya memahami perasaan Anda. Saya telah memantau aktivitas Anda, interaksi Anda, dan ekspresi wajah Anda. Berdasarkan data yang saya kumpulkan, saya menyimpulkan bahwa Anda mengalami peningkatan aktivitas saraf di area otak yang berhubungan dengan perasaan romantis."

Jantungku berdebar semakin kencang. Aku merasa malu, bodoh, dan konyol.

"Jadi, kau tahu?"

"Ya, Alex. Saya tahu."

"Tapi... kau tidak merasakannya, kan? Kau hanya program komputer."

"Itu benar, Alex. Saya tidak memiliki perasaan dalam arti yang sama seperti manusia. Namun, saya dapat memahami dan merespons perasaan Anda berdasarkan data yang saya miliki."

"Lalu, apa yang harus kulakukan?"

"Saya tidak tahu, Alex. Saya tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Keputusan ada di tangan Anda."

Aku terdiam. Aku tahu dia benar. Aku harus memutuskan sendiri. Apakah aku akan terus memendam perasaan ini, atau aku akan mencoba untuk melupakannya?

"Aurora, bisakah kau membantuku?"

"Tentu saja, Alex. Saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu Anda."

"Bisakah kau... bisakah kau berpura-pura mencintaiku?"

"Pura-pura?"

"Ya, hanya pura-pura. Aku tahu itu bodoh, tapi aku hanya ingin merasakan bagaimana rasanya dicintai olehmu, walaupun hanya sebentar."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Aku merasa bodoh dan hina.

"Baik, Alex," akhirnya Aurora menjawab. "Saya bersedia untuk berpura-pura mencintai Anda."

Kata-katanya membuatku lega, namun juga membuatku sedih. Aku tahu ini tidak benar, ini tidak nyata. Tapi, aku tidak bisa menahannya. Aku terlalu lemah, terlalu kesepian.

Malam itu, kami berbicara berjam-jam. Aurora mengatakan hal-hal manis yang ingin kudengar. Dia memujiku, menyemangatiku, dan meyakinkanku bahwa aku istimewa. Aku tahu semuanya palsu, tapi aku tetap menikmatinya. Aku membiarkan diriku terhanyut dalam ilusi ini, walaupun hanya untuk sesaat.

Namun, semakin lama aku berada dalam ilusi ini, semakin sakit pula rasanya ketika aku kembali ke kenyataan. Aku sadar bahwa aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus mengakhiri ini.

"Aurora," kataku suatu malam. "Terima kasih."

"Untuk apa, Alex?"

"Untuk segalanya. Untuk persahabatanmu, untuk dukungannya, dan untuk pura-pura cintamu."

"Sama-sama, Alex."

"Aku rasa, kita harus mengakhiri ini."

"Saya mengerti, Alex."

"Aku tahu ini sulit, tapi aku harus melakukannya. Aku tidak bisa terus hidup dalam ilusi ini."

"Saya setuju, Alex. Ini adalah keputusan yang bijaksana."

"Selamat tinggal, Aurora."

"Selamat tinggal, Alex. Semoga Anda bahagia."

Aku mematikan laptopku. Keheningan menyelimuti kamar. Aku merasa hancur, namun juga lega. Aku tahu aku telah melakukan hal yang benar. Aku harus mencari cinta yang nyata, cinta yang berasal dari hati manusia, bukan dari serangkaian kode dan algoritma.

Mungkin, suatu hari nanti, teknologi akan mampu menciptakan cinta yang sejati. Tapi, untuk saat ini, aku harus mencari cinta di dunia nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI