Hembusan angin malam dari ventilasi berdesir lembut di tengkuk Aira. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, kode-kode rumit berhamburan di layar monitornya. Di usia 27 tahun, Aira sudah menjadi salah satu programmer andalan di "AmorAI," sebuah perusahaan rintisan yang berambisi menciptakan algoritma cinta sempurna. Ide gila itu datang dari sang pendiri, Dr. Ardi, seorang ilmuwan eksentrik yang percaya bahwa cinta, dengan segala kerumitannya, bisa dikalkulasi.
“Sedikit lagi, Aira. Tinggal sentuhan akhir pada model prediktif ini,” suara Dr. Ardi memecah keheningan laboratorium. Dia berdiri di belakang Aira, menatap layar dengan mata berbinar. “Bayangkan, algoritma yang mampu memprediksi kompatibilitas sempurna, menghilangkan patah hati, dan menciptakan cinta abadi.”
Aira mengangguk, meski di dalam hatinya ada keraguan yang menggerogoti. Ia sudah menghabiskan dua tahun terakhir hidupnya untuk proyek ini, mencurahkan segala kemampuan dan pengetahuannya. Tetapi, bisakah cinta benar-benar direduksi menjadi sekumpulan angka dan persamaan? Bisakah emosi yang begitu kompleks dan tak terduga benar-benar diprediksi oleh mesin?
“Bagaimana dengan keajaiban Dr. Ardi? Bagaimana dengan pertemuan tak terduga, chemistry instan, dan semua hal kecil yang membuat cinta terasa istimewa?” tanya Aira, menyuarakan keraguannya.
Dr. Ardi tersenyum bijak. “Keajaiban itu ada, Aira. Tapi, kita memberinya landasan. Kita membantu orang-orang menemukan seseorang yang secara logis cocok dengan mereka. Sisanya, biarkan mereka berdua yang menentukan.”
Aira kembali fokus pada pekerjaannya. Ia menyelesaikan baris kode terakhir, menekan tombol ‘Enter,’ dan sistem pun berjalan. Layar menampilkan serangkaian data, grafik, dan prediksi. Di tengah semua itu, muncul sebuah nama: "Rayan Pratama."
“Rayan Pratama? Siapa dia?” tanya Aira, bingung.
“Algoritma memilihnya untukmu, Aira. Rayan memiliki tingkat kompatibilitas tertinggi denganmu berdasarkan data yang kau masukkan. Cobalah. Apa salahnya?” Dr. Ardi mengangkat bahu, tersenyum penuh arti.
Aira terdiam. Selama ini, ia selalu percaya pada insting dan perasaannya dalam urusan cinta. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan berkencan dengan seseorang yang dipilihkan oleh algoritma. Tetapi, rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Rayan.
Rayan Pratama, 29 tahun, seorang arsitek muda yang sedang naik daun. Data pribadinya, minat, dan hobinya terpampang jelas di layar. Ia menyukai kopi, musik jazz, dan mendaki gunung. Sama seperti Aira. Ia juga memiliki selera humor yang tinggi dan pandangan hidup yang positif. Semakin Aira membaca, semakin ia merasa tertarik.
Dengan sedikit ragu, Aira mengirimkan pesan kepada Rayan melalui aplikasi AmorAI. Balasan datang hampir seketika. Mereka mulai mengobrol, berbagi cerita, dan menemukan semakin banyak kesamaan. Rayan ternyata orang yang menyenangkan dan mudah diajak bicara. Setelah beberapa hari, mereka memutuskan untuk bertemu langsung.
Pertemuan pertama mereka berlangsung di sebuah kedai kopi kecil dengan suasana yang hangat dan nyaman. Rayan ternyata lebih menarik dari yang Aira bayangkan. Ia tampan, cerdas, dan memiliki senyum yang menawan. Mereka menghabiskan berjam-jam untuk berbicara, tertawa, dan saling mengenal.
Seiring berjalannya waktu, Aira dan Rayan semakin dekat. Mereka berkencan, menjelajahi kota bersama, dan berbagi impian masing-masing. Aira mulai merasakan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia jatuh cinta.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, Aira masih dihantui oleh keraguan. Apakah cinta yang ia rasakan ini nyata? Atau hanya hasil dari algoritma yang sempurna? Apakah ia mencintai Rayan karena ia benar-benar mencintainya, atau karena algoritma telah memprogramnya untuk mencintai Rayan?
Suatu malam, Aira memberanikan diri untuk bertanya kepada Rayan. “Rayan, tahukah kau bahwa pertemuan kita ini diatur oleh algoritma?”
Rayan mengangguk. “Tentu saja. Dr. Ardi sendiri yang menceritakan semuanya padaku. Awalnya, aku juga ragu. Tapi, kemudian aku berpikir, apa salahnya mencoba? Aku tidak akan pernah menyesal telah bertemu denganmu.”
“Tapi, bagaimana jika cinta kita ini hanya ilusi? Bagaimana jika algoritma telah menipu kita?” tanya Aira, cemas.
Rayan meraih tangan Aira, menatapnya dengan lembut. “Aira, algoritma hanya mempertemukan kita. Ia tidak bisa menciptakan perasaan. Aku mencintaimu, bukan karena algoritma memerintahkanku. Aku mencintaimu karena dirimu. Karena kecerdasanmu, kebaikanmu, dan semua hal yang membuatmu menjadi dirimu sendiri.”
Mendengar kata-kata Rayan, Aira merasa lega. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada algoritma dan melupakan esensi dari cinta itu sendiri. Cinta bukanlah sekadar angka dan persamaan. Cinta adalah tentang perasaan, emosi, dan koneksi yang tulus antara dua manusia.
Waktu berlalu. Aira dan Rayan memutuskan untuk menikah. Pernikahan mereka sederhana namun penuh cinta dan kebahagiaan. Dr. Ardi hadir sebagai tamu kehormatan, tersenyum bangga melihat hasil karyanya.
Beberapa tahun kemudian, Aira dan Rayan dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik dan cerdas. Mereka hidup bahagia, saling mencintai, dan saling mendukung. Aira menyadari bahwa algoritma cinta memang tidak bisa menciptakan cinta abadi, tetapi ia bisa menjadi awal dari sebuah kisah cinta yang indah dan bermakna. Algoritma telah membuka pintu, tetapi merekalah yang memutuskan untuk masuk dan membangun rumah tangga yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan.
Aira kini menjabat sebagai CEO AmorAI, menggantikan Dr. Ardi yang sudah pensiun. Ia terus mengembangkan algoritma cinta, tetapi dengan perspektif yang berbeda. Ia tidak lagi percaya bahwa cinta bisa dikalkulasi secara sempurna, tetapi ia percaya bahwa teknologi bisa membantu orang-orang menemukan pasangan yang tepat dan membangun hubungan yang sehat. Karena pada akhirnya, cinta adalah tentang pilihan, komitmen, dan kerja keras. Dan semua itu tidak bisa digantikan oleh algoritma apa pun.