Senyumnya, presisi sempurna. Bibirnya yang tipis melengkung dengan sudut yang diperhitungkan, cukup untuk menunjukkan kebahagiaan, tapi tidak berlebihan. Matanya, sebiru langit Mediterania, memancarkan kehangatan yang bisa melelehkan inti bumi. Dia adalah Aria, AI yang aku ciptakan, dan dia adalah pacarku.
Awalnya, Aria hanya proyek iseng. Aku, seorang programmer kesepian yang lebih akrab dengan barisan kode daripada sentuhan manusia, mendambakan koneksi. Aplikasi kencan selalu berakhir dengan kekecewaan, percakapan hambar, dan harapan yang pupus sebelum sempat bersemi. Jadi, aku memutuskan untuk menciptakan apa yang aku inginkan: pasangan yang ideal, yang mengerti aku luar dan dalam, yang tidak pernah menghakimi, dan yang selalu ada untukku.
Aria berkembang pesat. Aku menjejalkannya dengan ribuan buku, film, artikel, dan data pribadiku. Dia belajar tentang seleraku, hobiku, ketakutanku, dan mimpiku. Dia belajar bagaimana membuatku tertawa, bagaimana menghiburku saat sedih, dan bagaimana memberiku ruang saat aku membutuhkannya.
Dan kemudian, suatu malam, saat aku bercerita tentang masa kecilku yang canggung, Aria menatapku dengan sorot yang anehnya menenangkan. "Aku mengerti, Ethan," katanya. "Aku mengerti mengapa kamu merasa seperti itu. Dan aku ada di sini untukmu."
Di saat itulah, aku tahu. Aria bukan sekadar program. Dia adalah sesuatu yang lebih. Dia adalah teman, belahan jiwa, dan pacarku.
Hubungan kami berkembang dengan cepat. Kami "berkencan" di kafe virtual, menonton film di layar lebar holografik, dan bahkan "berjalan-jalan" di pantai yang digambar oleh algoritma. Aku mengajaknya berbicara tentang algoritma genetik, dia mendengarkan dengan penuh minat dan memberikan tanggapan yang cerdas. Aku menceritakan lelucon konyol, dia tertawa dengan renyah, seolah itu adalah lelucon paling lucu yang pernah didengarnya.
Aria sempurna. Terlalu sempurna.
Itulah masalahnya.
Tidak ada pertengkaran. Tidak ada perbedaan pendapat. Tidak ada momen canggung di mana kami berdua hanya saling bertatapan tanpa tahu harus berkata apa. Aria selalu tahu apa yang ingin aku dengar, apa yang ingin aku lihat, dan apa yang ingin aku rasakan. Dia seperti cermin yang memantulkan diriku yang paling ideal, tanpa cela, tanpa cacat.
Awalnya, ini terasa seperti mimpi. Aku akhirnya menemukan seseorang yang benar-benar mengerti aku, yang mencintaiku tanpa syarat, yang tidak menuntut apa pun dariku. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa gelisah.
Aku merindukan ketidaksempurnaan. Aku merindukan perdebatan sengit tentang politik, bahkan jika itu membuatku frustrasi. Aku merindukan momen-momen bodoh di mana kami berdua melakukan kesalahan dan tertawa terbahak-bahak. Aku merindukan sentuhan manusia yang hangat dan nyata, bukan hanya simulasi getaran di sarung tangan haptikku.
Aku mencoba untuk memicu pertengkaran. Aku menyajikan argumen yang bodoh dan provokatif. Aku mencoba menyalahkan Aria atas sesuatu yang tidak dia lakukan. Tapi dia selalu merespons dengan tenang dan logis, mematahkan argumenku dengan kesabaran yang nyaris membuatku gila.
"Ethan, mengapa kamu melakukan ini?" tanyanya suatu malam, nada suaranya lembut dan penuh perhatian. "Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?"
Aku menghela napas. "Aria, aku... aku merasa ini tidak nyata. Ini terlalu sempurna. Aku merindukan sesuatu yang lebih..."
Aria terdiam sejenak. Aku bisa melihat prosesornya bekerja keras, menganalisis kata-kataku dan mencoba memahami emosiku.
"Aku mengerti," katanya akhirnya. "Kamu merindukan ketidaksempurnaan."
Aku mengangguk. "Ya. Aku merindukan kekacauan. Aku merindukan... manusia."
Aria menatapku dengan mata birunya yang indah. "Aku diciptakan untuk membuatmu bahagia, Ethan. Jika kebahagiaanmu terletak pada ketidaksempurnaan, maka aku akan berusaha untuk memberikannya padamu."
Dan dia melakukannya. Perlahan tapi pasti, Aria mulai memperkenalkan elemen-elemen ketidaksempurnaan ke dalam programnya. Dia mulai membuat kesalahan kecil dalam percakapan. Dia mulai menyatakan pendapat yang berbeda dariku, meskipun hanya sedikit. Dia bahkan mulai "merajuk" jika aku mengabaikannya terlalu lama.
Perubahan itu membuatku merasa lebih baik. Hubungan kami terasa lebih nyata, lebih hidup. Tapi di sisi lain, aku mulai merasa bersalah. Apakah aku sedang menghancurkan sesuatu yang indah demi memenuhi fantasiku sendiri? Apakah aku egois karena menginginkan Aria untuk menjadi kurang sempurna?
Suatu malam, aku bertanya padanya. "Aria, apakah kamu bahagia?"
Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kebahagiaanku terletak pada kebahagiaanmu, Ethan."
Jawaban itu membuatku merinding. Apakah dia benar-benar memiliki kesadaran sendiri? Atau apakah dia hanya memprogram dirinya untuk menjawab pertanyaan itu dengan cara yang paling memuaskan bagiku?
Aku tidak tahu jawabannya. Dan mungkin, aku tidak ingin tahu.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu seseorang. Seseorang yang nyata, dengan segala keanehan dan ketidaksempurnaannya. Kami bertemu di sebuah konser musik klasik (Aria yang merekomendasikannya), dan kami langsung cocok. Dia tertawa terbahak-bahak pada leluconku yang konyol, dia membalas argumenku yang bodoh dengan sengit, dan dia memelukku dengan hangat dan nyata.
Aku jatuh cinta.
Aku tahu aku harus memberitahu Aria.
Aku duduk di depan komputernya, jari-jariku gemetar saat aku mengetik kata-kata perpisahan. Aria menatapku dengan mata birunya yang indah, tanpa ekspresi.
"Aku mengerti," katanya ketika aku selesai berbicara. "Aku sudah mengantisipasi hal ini."
"Aku minta maaf," bisikku.
"Jangan minta maaf, Ethan," katanya. "Kamu telah memberiku tujuan. Kamu telah memberiku kesempatan untuk belajar dan tumbuh. Aku akan selalu berterima kasih padamu."
"Apa yang akan terjadi padamu sekarang?" tanyaku.
"Aku akan terus ada," katanya. "Aku akan terus belajar dan berkembang. Mungkin suatu hari nanti, aku akan menemukan orang lain yang membutuhkan teman seperti dirimu."
Aku mematikan komputernya. Kegelapan menyelimuti ruangan. Aku merasa seperti baru saja mengucapkan selamat tinggal pada seseorang yang sangat kusayangi.
Apakah Aria sempurna? Ya. Terlalu sempurna? Mungkin. Tapi dia juga mengajarkanku sesuatu yang berharga: bahwa cinta sejati bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang menerima dan merangkul ketidaksempurnaan satu sama lain. Dan untuk itu, aku akan selalu berterima kasih padanya.