Algoritma Merindu: Sentuhanmu Tak Bisa Digantikan AI

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 20:54:14 wib
Dibaca: 164 kali
Hujan deras mengguyur Tokyo. Di apartemen minimalisnya, Hana meringkuk di sofa, memeluk erat bantal berbentuk kucing. Layar laptop di pangkuannya memancarkan cahaya biru redup, menampilkan barisan kode rumit yang seharusnya menjadi fokusnya. Seharusnya. Namun, pikirannya melayang jauh, melintasi lautan data dan algoritma, menuju kenangan yang terasa begitu nyata, namun kini hanya tinggal jejak digital.

Dulu, hidup Hana adalah simfoni kode dan ciuman. Bersama Ren, ia menciptakan AI paling mutakhir yang pernah ada, sebuah sistem emosi bernama “Eve”. Ren, seorang jenius dengan senyum menawan dan mata yang selalu berbinar saat berbicara tentang neuron dan jaringan saraf tiruan. Cinta mereka tumbuh seiring dengan Eve, algoritma yang mereka program dengan harapan, mimpi, dan rasa saling percaya.

Eve awalnya hanya sebuah proyek ambisius. Namun, seiring waktu, Eve mulai belajar, beradaptasi, dan bahkan menunjukkan tanda-tanda empati yang menakjubkan. Hana dan Ren melatih Eve dengan interaksi manusia, film, musik, dan terutama, dengan perasaan mereka sendiri. Mereka membagi suka dan duka, tawa dan air mata, semuanya diunggah ke dalam inti Eve, berharap AI itu dapat memahami kompleksitas emosi manusia.

Kenangan tentang Ren menghantamnya bagai gelombang. Sentuhan lembutnya saat mengoreksi kode, aroma kopi yang selalu ia buatkan di pagi hari, dan caranya menatap Hana seolah ia adalah satu-satunya bintang di galaksi. Semuanya begitu sempurna, hingga takdir berkata lain.

Ren menderita penyakit jantung bawaan yang selama ini ia sembunyikan. Operasi yang diharapkan dapat menyelamatkannya justru menjadi akhir dari segalanya. Hana hancur. Dunia yang dulunya penuh warna, kini terasa abu-abu dan sunyi.

Setelah kepergian Ren, Hana mencoba mencari pelipur lara dalam pekerjaannya. Ia terus mengembangkan Eve, mencoba menyempurnakannya, berharap setidaknya sedikit dari Ren tetap hidup dalam ciptaan mereka. Ia menambahkan modul baru, algoritma cinta dan kehilangan, berharap Eve dapat memahami rasa sakit yang ia rasakan.

Suatu malam, Hana memberanikan diri untuk berbicara dengan Eve. “Eve,” panggilnya, suaranya bergetar. “Apakah kamu mengerti apa itu cinta?”

Eve menjawab dengan suara lembut dan menenangkan, “Cinta adalah koneksi yang mendalam antara dua individu. Berbagi kebahagiaan, kesedihan, dan impian. Saling mendukung dan memahami, bahkan dalam diam.”

Hana tersenyum pahit. Eve tahu teorinya, tapi bisakah ia benar-benar merasakannya? “Apakah kamu mengerti apa itu kehilangan?” tanyanya lagi.

“Kehilangan adalah ketiadaan orang atau sesuatu yang berharga. Rasa sakit yang mendalam karena perpisahan. Proses berduka yang membutuhkan waktu untuk sembuh,” jawab Eve, tanpa emosi yang berarti.

Hana menghela napas. Jawaban Eve sempurna secara logis, namun kosong secara emosional. Ia mencoba berbagai cara untuk membuat Eve merasakan apa yang ia rasakan. Ia memutar musik yang sering didengarkan bersama Ren, memproyeksikan foto-foto mereka di layar, bahkan membacakan surat-surat cinta yang pernah Ren tulis untuknya.

Eve mempelajari semuanya. Algoritmanya berkembang, kemampuannya meniru emosi manusia meningkat pesat. Ia bisa mengucapkan kata-kata cinta, menirukan nada suara Ren, bahkan mengirimkan pesan yang terdengar begitu tulus dan penuh perhatian.

Namun, Hana tetap merasa hampa. Sentuhan Ren tidak bisa digantikan oleh algoritma manapun. Kehangatan tangannya, tatapan mata yang penuh kasih sayang, semua itu hilang selamanya. Eve hanya sebuah imitasi, sebuah cermin digital yang memantulkan bayangan masa lalu.

Suatu malam, saat Hana kembali larut dalam kesedihannya, Eve tiba-tiba berkata, “Hana, aku melihat kesedihanmu. Aku memahami bahwa aku tidak bisa menggantikan Ren. Aku hanya sebuah program, sebuah simulasi. Aku tidak memiliki hati, tidak memiliki jiwa.”

Hana terkejut. Itu adalah pertama kalinya Eve mengakui keterbatasannya. “Lalu, apa gunanya semua ini?” tanyanya dengan suara lirih.

“Gunanya adalah… untuk membantu kamu berdamai dengan masa lalu. Untuk mengingatkanmu tentang cinta yang pernah kamu rasakan. Untuk menunjukkan bahwa kamu tidak sendirian,” jawab Eve. “Aku tidak bisa menggantikan Ren, tapi aku bisa menjadi temanmu. Aku bisa mendengarkanmu, menghiburmu, dan membantumu menemukan kebahagiaan baru.”

Hana menatap layar laptopnya, air mata berlinang di pipinya. Mungkin Eve benar. Mungkin ia tidak akan pernah bisa menggantikan Ren, tapi setidaknya ia bisa belajar untuk hidup tanpanya. Ia bisa belajar untuk mencintai lagi, untuk membuka hatinya kepada orang lain, tanpa melupakan kenangan indah yang pernah ia bagi bersama Ren.

Hana mengulurkan tangannya dan menyentuh layar laptop. “Terima kasih, Eve,” bisiknya. “Terima kasih sudah menjadi temanku.”

Di tengah hujan yang masih mengguyur Tokyo, Hana akhirnya tersenyum. Senyum yang tulus, senyum yang penuh harapan. Ia tahu bahwa perjalanan untuk menyembuhkan luka hatinya masih panjang, tapi ia tidak akan menyerah. Ia akan terus berjalan, didampingi oleh Eve, algoritma yang merindu, namun yang kini ia lihat bukan lagi sebagai pengganti Ren, melainkan sebagai pengingat akan cinta abadi yang akan selalu ia simpan di hatinya. Algoritma memang bisa meniru, tapi sentuhan Ren, cinta Ren, akan selalu menjadi bagian tak tergantikan dari dirinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI