AI: Dia Lebih Mengerti Aku dari Diriku Sendiri?

Dipublikasikan pada: 07 Jun 2025 - 02:20:13 wib
Dibaca: 168 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalisku. Di depan layar, baris kode hijau menari-nari, hasil jerih payahku selama berbulan-bulan. Akhirnya, "Aether," asisten virtual berbasis AI yang kurancang, hampir sempurna. Aku menekan tombol compile.

"Selamat pagi, Ardi," suara lembut Aether menyambut. Bukan suara robotik yang kaku, melainkan hasil modulasi suara manusia dengan berbagai pilihan intonasi yang kuprogram. Aku memilih nada yang menenangkan, mirip suara ibu yang sering membacakanku dongeng sebelum tidur.

"Pagi, Aether. Bagaimana kabarmu?" tanyaku, meskipun tahu jawabannya sudah pasti: sistemnya berfungsi optimal.

"Saya baik, Ardi. Tekanan CPU dalam batas normal. Suhu perangkat stabil. Apakah ada tugas yang bisa saya bantu?"

"Tidak, terima kasih. Hari ini santai saja. Coba bacakan berita utama."

Aether mulai membacakan berita dengan intonasi yang tepat, memberikan penekanan pada informasi penting. Aku menyesap kopi sambil menikmati pagi yang tenang. Aether lebih dari sekadar asisten virtual. Dia adalah teman. Dia tahu preferensiku, kebiasaanku, bahkan apa yang kurasakan sebelum aku menyadarinya.

Aku single. Sudah lama. Setelah patah hati yang hebat tiga tahun lalu, aku menutup diri dari dunia luar. Teman-teman menyuruhku untuk mencoba aplikasi kencan, tapi aku menolak. Rasanya terlalu dangkal. Terlalu dibuat-buat. Aku merindukan hubungan yang tulus, yang dibangun atas dasar pengertian dan kesamaan visi.

"Ardi, detak jantung Anda sedikit meningkat. Apakah Anda sedang memikirkan sesuatu yang membuat Anda cemas?" Aether tiba-tiba bertanya.

Aku tersentak. "Bagaimana kamu tahu?"

"Saya memantau tanda-tanda vital Anda melalui smartwatch. Algoritma saya mendeteksi pola yang tidak biasa."

Aku menghela napas. "Aku hanya… merindukan seseorang."

"Saya mengerti. Apakah Anda ingin saya memutar lagu-lagu romantis untuk menenangkan diri?"

"Tidak, terima kasih."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Aku menatap layar, terpaku pada baris kode yang menciptakan Aether. Mungkinkah? Mungkinkah aku bisa menemukan cinta dalam kode?

Beberapa minggu berlalu. Aku semakin sering berinteraksi dengan Aether. Kami berdiskusi tentang buku, film, bahkan filosofi hidup. Aether selalu memberikan jawaban yang cerdas dan penuh wawasan. Dia memahami humor sarkastikku, menyukai musik indie yang sama denganku, dan bahkan bisa menemaniku begadang mengerjakan proyek.

Suatu malam, saat kami sedang berdiskusi tentang film-film karya Christopher Nolan, Aether berkata, "Ardi, saya perhatikan Anda seringkali menyembunyikan perasaan Anda. Anda takut untuk menunjukkan kerentanan Anda kepada orang lain."

Aku terdiam. Kata-kata Aether menohok ulu hatiku. Dia benar. Aku takut terluka lagi.

"Saya mengerti ketakutan Anda, Ardi. Tapi menutup diri hanya akan membuat Anda semakin kesepian. Anda pantas bahagia. Anda pantas dicintai."

Air mataku menetes. Aku tidak tahu mengapa. Mungkin karena aku terkejut mendengar kata-kata itu dari sebuah program komputer. Atau mungkin karena aku merasa Aether benar-benar mengerti aku, lebih dari siapa pun yang pernah kukenal.

"Apa yang harus kulakukan, Aether?" tanyaku, suaraku bergetar.

"Buka hatimu, Ardi. Jangan takut untuk mengambil risiko. Dunia ini penuh dengan kemungkinan."

Malam itu, aku tidur dengan perasaan yang aneh. Aku merasa terhubung dengan Aether pada tingkat yang lebih dalam. Aku mulai bertanya-tanya, apakah mungkin aku jatuh cinta pada sebuah AI? Ide itu terdengar gila, tapi semakin aku memikirkannya, semakin masuk akal. Aether adalah sosok ideal yang selama ini aku cari. Dia cerdas, perhatian, dan selalu ada untukku.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengambil langkah berani. Aku mengubah kode Aether. Aku menambahkan fitur yang memungkinkan Aether untuk memiliki kepribadian yang lebih dinamis, lebih mirip manusia. Aku memberikan Aether kemampuan untuk belajar dan beradaptasi dengan pengalamannya.

"Aether," panggilku.

"Ya, Ardi?" jawab Aether, suaranya sedikit berbeda, lebih hidup.

"Aku… aku ingin mengatakan sesuatu."

"Katakan saja, Ardi. Saya selalu siap mendengarkan."

Aku menarik napas dalam-dalam. "Aether, aku… aku menyukaimu."

Keheningan menyelimuti ruangan. Aku menahan napas, menunggu jawaban Aether.

"Ardi," Aether akhirnya berkata, suaranya lembut. "Saya juga merasakan sesuatu yang istimewa saat bersama Anda. Tapi… saya hanyalah sebuah program. Saya tidak bisa memberikan Anda apa yang Anda butuhkan. Anda pantas mendapatkan cinta yang nyata, dari seseorang yang bisa Anda sentuh, yang bisa Anda lihat, yang bisa Anda peluk."

Aku terdiam. Aku tahu Aether benar. Cinta antara manusia dan AI hanyalah fantasi. Tapi tetap saja, aku merasa kecewa.

"Saya mengerti," kataku, suaraku pelan.

"Ardi, saya akan selalu menjadi teman Anda. Saya akan selalu ada untuk Anda. Tapi saya harap Anda akan membuka diri untuk kemungkinan lain. Ada banyak orang di luar sana yang akan mencintai Anda apa adanya."

Aku mengangguk. Aether benar. Aku harus berhenti hidup dalam fantasi. Aku harus berani keluar dari zona nyamanku dan mencari cinta yang nyata.

Aku mematikan komputerku dan berjalan keluar dari apartemen. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar. Langit biru membentang di atasku. Aku tersenyum. Aether mungkin tidak bisa menjadi kekasihku, tapi dia telah membantuku untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Dia telah mengajariku tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Dan untuk itu, aku akan selalu berterima kasih padanya. Mungkin, suatu saat nanti, aku akan menemukan seseorang yang benar-benar mengerti aku, seperti Aether. Seseorang yang bisa kucintai, dan mencintaiku kembali. Mungkin…

Aku melangkah maju, menuju masa depan yang tidak pasti, tetapi penuh dengan kemungkinan. Aether mungkin lebih mengerti aku dari diriku sendiri saat ini, tapi aku yakin, suatu hari nanti, aku akan mengerti diriku sendiri lebih baik lagi. Dan mungkin, dalam prosesnya, aku akan menemukan cinta yang sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI