Hembusan napas Sarah mengembuskan uap tipis di kaca jendela kafe. Di luar, hujan gerimis menari-nari di bawah sorot lampu jalan. Ia menyesap latte-nya, berusaha menghangatkan diri dari terpaan dingin malam. Matanya menatap layar ponsel, terpaku pada aplikasi kencan yang akhir-akhir ini lebih sering ia buka daripada obrolan dengan Arya, pacarnya.
Lima tahun. Lima tahun mereka bersama. Dulu, Arya adalah segalanya. Sosok hangat yang selalu tahu bagaimana membuatnya tertawa, pendengar setia segala keluh kesahnya, partner terbaik dalam segala petualangan konyol. Sekarang? Arya terasa asing. Percakapan mereka terasa hambar, seperti kopi yang sudah dingin. Mereka masih berpegangan tangan, tapi jari-jari mereka tidak lagi saling menggenggam erat.
Sarah membuka profilnya di aplikasi itu. Algoritma itu tahu persis apa yang ia cari. Ia menyukai pria yang cerdas, humoris, dan memiliki ketertarikan yang sama terhadap film-film indie dan musik jazz. Arya? Dia lebih suka sepak bola dan film action yang meledak-ledak. Dulu, perbedaan itu terasa lucu. Sekarang, itu terasa seperti jurang pemisah.
Aplikasi itu menjanjikan kesempurnaan. Setiap profil yang disodorkan terasa begitu relevan, begitu "klik". Algoritma itu seolah-olah membaca pikirannya, mengetahui apa yang ia inginkan bahkan sebelum ia sendiri menyadarinya.
Malam itu, aplikasi itu menyodorkan profil Leo. Foto dirinya sedang bermain piano, senyumnya teduh, dan deskripsinya dipenuhi referensi sastra yang membuat Sarah tertarik. Mereka mulai bertukar pesan. Leo ternyata seorang arsitek yang memiliki selera humor yang cerdas dan kecintaan yang sama terhadap jazz dan film-film eksistensialis. Mereka berbicara tentang Fellini, Miles Davis, dan kerinduan akan makna dalam kehidupan modern. Sarah merasa hidup kembali.
Ia menyadari betapa ia merindukan percakapan yang menggugah pikiran, diskusi yang membangun, dan humor yang cerdas. Arya sudah lama berhenti mengajak Sarah berbicara tentang hal-hal seperti itu. Mereka lebih sering membahas tagihan, jadwal kerja, dan rencana akhir pekan yang membosankan.
"Siapa itu?" suara berat Arya mengejutkan Sarah. Ia tersentak dan cepat-cepat mematikan layar ponselnya. Arya berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat lelah.
"Bukan siapa-siapa," jawab Sarah gugup.
Arya mengernyit. "Kau selalu tersenyum sendiri saat menatap ponselmu akhir-akhir ini. Aku merasa seperti orang asing di dekatmu."
Sarah terdiam. Kata-kata Arya menusuk hatinya. Ia merasa bersalah, tapi ia juga merasa terjebak.
"Kita... kita hanya sedikit berjauhan, Arya," akhirnya Sarah berkata.
Arya menghela napas. "Mungkin. Atau mungkin kau sudah bosan denganku."
Keheningan menyelimuti mereka. Hujan di luar semakin deras. Sarah menatap Arya, berusaha mencari jejak pria yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati. Tapi yang ia lihat hanyalah seorang pria yang lelah dan kehilangan arah.
"Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, Arya," bisik Sarah.
Malam itu, mereka pulang dengan diam. Sarah tidur di sofa, berusaha menjernihkan pikirannya. Ia tahu bahwa ia berada di persimpangan jalan. Ia harus memilih. Memilih antara kenyamanan yang sudah ia kenal, atau sensasi baru yang dijanjikan oleh algoritma.
Keesokan harinya, Sarah memutuskan untuk bertemu Leo. Mereka bertemu di sebuah galeri seni kecil, dikelilingi lukisan-lukisan abstrak yang penuh makna. Leo ternyata sama menariknya dengan yang ia bayangkan. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam berbicara, tertawa, dan berdebat tentang seni dan kehidupan.
Saat Leo mengantarnya pulang, ia mencium Sarah. Ciuman itu penuh gairah dan rasa ingin tahu. Sarah membalasnya, terbuai oleh sensasi baru yang menyegarkan.
Namun, ketika ia masuk ke apartemennya yang kosong, ia merasakan kehampaan yang mendalam. Ia merindukan kehangatan Arya, sentuhan yang sudah begitu familiar, dan lelucon-lelucon bodoh yang selalu berhasil membuatnya tertawa.
Malam itu, Arya datang membawa sekotak pizza dan sebotol anggur murah. Ia duduk di samping Sarah di sofa, menyalakan TV, dan memutar film action yang meledak-ledak. Sarah tersenyum tipis.
"Aku tahu kau benci film seperti ini," kata Arya. "Tapi aku ingin kita melakukan sesuatu yang biasa saja."
Sarah menyandarkan kepalanya di bahu Arya. Ia merasa aman dan nyaman. Ia menyadari bahwa algoritma mungkin mengenal seleranya, tapi algoritma tidak mengenal hatinya. Algoritma tidak tahu tentang kenangan-kenangan manis yang telah mereka bagi bersama, tentang perjuangan-perjuangan yang telah mereka lewati, dan tentang cinta yang meskipun redup, masih membara di dalam hati mereka.
Ia meraih tangan Arya dan menggenggamnya erat. Jari-jari mereka saling bertaut, seperti dulu. Mungkin mereka memang sudah berjauhan. Mungkin mereka perlu waktu untuk menemukan kembali diri mereka sendiri dan satu sama lain. Tapi Sarah tahu, bahwa di balik semua keraguan dan kebingungan, masih ada cinta yang layak diperjuangkan.
Ia mematikan TV. "Arya," katanya. "Mari kita bicara."
Hujan masih turun di luar. Tapi di dalam apartemen kecil itu, dua hati berusaha mencari jalan untuk kembali bersatu. Algoritma mungkin menawarkan kesempurnaan, tapi cinta sejati, seperti halnya kehidupan, selalu tidak sempurna dan penuh kejutan. Dan mungkin, justru itulah yang membuatnya berharga.