Jemari Anya menari di atas keyboard, memprogram baris demi baris kode. Di layar laptopnya, tercipta sebuah algoritma unik, bukan untuk efisiensi bisnis atau prediksi pasar, melainkan untuk sesuatu yang jauh lebih personal: cinta. Proyek sampingannya ini, yang ia namai “Amor,” bertujuan untuk menemukan pasangan hidup yang paling kompatibel, bukan berdasarkan ketertarikan fisik semata, melainkan berdasarkan nilai-nilai, minat, dan tujuan hidup.
Anya, seorang programmer jenius dengan otak cemerlang namun hati yang sedikit tertutup, selalu merasa kesulitan dalam urusan asmara. Aplikasi kencan yang ada terasa dangkal dan penuh kepalsuan. Ia bosan dengan obrolan basa-basi dan janji manis yang tak berujung. Ia mendambakan sesuatu yang lebih dalam, koneksi yang tulus, seseorang yang benar-benar memahaminya.
“Amor akan memecahkan kode cinta,” gumamnya sambil menyesap kopi yang mulai dingin. Ia telah mengunggah profilnya sendiri ke dalam algoritma, menjawab ratusan pertanyaan detail tentang preferensi, ambisi, dan bahkan ketakutan terbesarnya. Prosesnya terasa aneh dan rentan, seolah ia membedah jiwanya sendiri di depan mesin.
Beberapa minggu berlalu. Anya hampir melupakan proyek “Amor” karena kesibukannya di kantor. Suatu malam, notifikasi muncul di layar laptopnya. “Hasil pencarian kompatibilitas: 98.7%.” Jantung Anya berdegup kencang. Ia membuka hasilnya dengan ragu.
Di layar, terpampang foto seorang pria bernama Arion. Deskripsi singkat tentangnya menyebutkan bahwa ia adalah seorang arsitek lanskap yang mencintai alam, musik klasik, dan memiliki selera humor yang sama uniknya dengan Anya. Yang paling mengejutkan, Arion juga seorang introvert yang kesulitan dalam interaksi sosial, sama seperti dirinya.
Anya menelan ludah. Angka 98.7% terasa terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Ia skeptis, namun rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia memutuskan untuk menghubungi Arion melalui platform yang terintegrasi dengan “Amor.”
Pesan pertama Anya sangat singkat dan formal. “Halo, Arion. Saya Anya. Kita memiliki tingkat kompatibilitas yang tinggi menurut algoritma Amor.”
Balasan Arion datang beberapa menit kemudian. “Halo, Anya. Algoritma, ya? Kedengarannya sedikit distopia, tapi saya penasaran.”
Percakapan mereka berlanjut selama berjam-jam. Mereka membahas buku favorit, mimpi masa kecil, dan kekecewaan yang pernah dialami. Anya terkejut betapa mudahnya ia merasa nyaman berbicara dengan Arion. Kata-kata mereka mengalir begitu saja, tanpa kecanggungan atau kepura-puraan.
Setelah beberapa minggu berkomunikasi secara virtual, Anya dan Arion memutuskan untuk bertemu langsung. Anya memilih sebuah kafe kecil dengan taman yang rindang, tempat yang menurutnya cocok dengan kepribadian mereka berdua.
Ketika Arion tiba, Anya terkejut. Ia lebih tinggi dan lebih tampan dari fotonya. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah sorot matanya yang hangat dan penuh perhatian.
Kencan mereka berjalan lancar, bahkan lebih baik dari yang Anya bayangkan. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan menemukan banyak kesamaan yang sebelumnya hanya mereka baca di profil “Amor.” Anya merasa seolah ia telah mengenal Arion seumur hidup.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, keraguan mulai menghantuinya. Apakah ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan? Apakah ia terlalu bergantung pada algoritma untuk menemukan cinta? Apakah perasaan yang ia rasakan benar-benar tulus, atau hanya hasil dari kalkulasi matematika?
Beberapa bulan berlalu. Anya dan Arion semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari, menjelajahi kota, memasak bersama, dan berbagi mimpi-mimpi mereka. Anya mulai melupakan keraguannya. Ia merasa bahagia dan dicintai, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Anya, menatap bintang-bintang, Arion meraih tangannya. “Anya,” katanya lembut, “Aku jatuh cinta padamu.”
Anya terdiam. Kata-kata itu terasa manis dan menakutkan pada saat yang bersamaan. Ia juga mencintai Arion, tapi ia masih merasa ragu. Apakah cinta mereka nyata, atau hanya produk dari algoritma yang sempurna?
Anya menceritakan keraguannya kepada Arion. Ia menjelaskan bahwa ia merasa bersalah karena telah menggunakan “Amor” untuk mencari cinta. Ia takut bahwa perasaannya tidak otentik, bahwa ia hanya mencintai Arion karena algoritma mengatakan bahwa mereka cocok.
Arion mendengarkan dengan sabar. Setelah Anya selesai berbicara, ia tersenyum. “Anya,” katanya, “Algoritma itu hanyalah alat. Ia membantumu menemukan seseorang yang potensial, tetapi ia tidak menciptakan perasaanmu.”
Ia melanjutkan, “Aku jatuh cinta padamu bukan karena algoritma mengatakan kita cocok. Aku jatuh cinta padamu karena kamu adalah kamu. Karena kecerdasanmu, kebaikanmu, dan bahkan kekhawatiranmu. Algoritma mungkin telah menyatukan kita, tetapi cinta kitalah yang membuatnya berarti.”
Kata-kata Arion menenangkan hati Anya. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada algoritma dan melupakan yang terpenting: perasaan yang ia rasakan di dalam hatinya. Ia mencintai Arion bukan karena angka 98.7%, melainkan karena ia adalah Arion, pria yang membuatnya merasa nyaman, dicintai, dan bahagia.
Anya membalas genggaman tangan Arion. “Aku juga mencintaimu, Arion,” bisiknya.
Malam itu, Anya menghapus algoritma “Amor” dari laptopnya. Ia tidak lagi membutuhkannya. Ia telah menemukan cinta, bukan melalui kode dan kalkulasi, melainkan melalui koneksi yang tulus, rasa percaya, dan keberanian untuk membuka hati. Ia belajar bahwa algoritma memang bisa menciptakan cinta, tetapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar angka. Cinta sejati membutuhkan hati yang terbuka, kepercayaan yang kuat, dan keberanian untuk meretas batasan diri sendiri. Dan terkadang, luka lama pun bisa sembuh, digantikan oleh kebahagiaan yang tak terduga.