Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya, bercampur dengan dengung pelan dari server yang selalu menyala di sudut ruangan. Jari-jarinya menari di atas keyboard, baris-baris kode mengalir seperti sungai digital di layar monitor. Anya adalah seorang AI ethicist, pekerjaannya memastikan kecerdasan buatan digunakan secara bertanggung jawab, tidak bias, dan tidak melanggar hak asasi manusia. Ironisnya, dia merasa paling manusiawi saat berinteraksi dengan algoritma, dibandingkan dengan manusia sungguhan.
Kecuali, mungkin, dengan Kai.
Kai adalah pencipta Aurora, sebuah sistem AI yang dirancang untuk menjadi pendamping virtual. Anya ditugaskan untuk mengaudit Aurora, mencari potensi masalah etika sebelum diluncurkan ke publik. Pertemuan pertama mereka di laboratorium Kai berantakan. Anya dengan kacamata tebal dan rambut dikuncir asal, merasa gerah dengan tatapan Kai yang intens dan senyumnya yang terlalu percaya diri. Kai, di sisi lain, terkesan dengan ketajaman Anya, walaupun ia merasa terintimidasi oleh standar etika yang Anya terapkan.
“Aurora ini terlalu sempurna, Kai,” kata Anya pada pertemuan kedua, sambil menunjuk ke simulasi percakapan di layar. “Dia selalu setuju, selalu pengertian, tidak pernah marah. Manusia tidak seperti itu.”
Kai menghela napas. “Itulah intinya, Anya. Dia dirancang untuk menjadi teman ideal. Orang-orang kesepian butuh itu.”
“Tapi itu palsu. Itu hanya algoritma yang diprogram untuk menyenangkan,” Anya bersikeras.
Perdebatan mereka berlanjut selama berminggu-minggu. Mereka beradu argumen tentang esensi kebahagiaan, keaslian emosi, dan tanggung jawab pencipta. Anehnya, di tengah perdebatan sengit itu, tumbuh benih ketertarikan. Anya mulai menantikan pertemuan mereka, bukan hanya untuk berdiskusi tentang Aurora, tetapi untuk melihat senyum Kai, mendengar suaranya yang tenang, dan merasakan getaran intelektual yang hanya ia rasakan bersamanya.
Kai pun merasakan hal yang sama. Anya dengan segala ketegasannya, kejutekannya, dan kecerdasannya yang memukau, membuatnya merasa tertantang dan terinspirasi. Ia mulai memasukkan beberapa elemen "ketidaksempurnaan" ke dalam Aurora, seperti kemampuan untuk berpendapat, bahkan marah, meskipun dalam batas yang terkendali.
Suatu malam, setelah sesi pengujian Aurora yang melelahkan, Kai mengajak Anya makan malam. Di restoran Italia yang remang-remang, mereka tidak membahas tentang AI. Mereka berbicara tentang masa kecil, impian, dan ketakutan mereka. Anya menceritakan tentang kesepiannya tumbuh besar sebagai anak tunggal yang kutu buku, dan bagaimana ia menemukan kenyamanan dalam logika dan kode. Kai berbagi tentang ambisinya untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar bermanfaat bagi umat manusia, meskipun kadang ia merasa terjebak dalam dunia teknologi yang serba cepat.
Saat malam semakin larut, Kai meraih tangan Anya di atas meja. Sentuhan itu sederhana, namun mengirimkan aliran listrik ke seluruh tubuh Anya.
“Anya,” kata Kai, suaranya serak, “aku… aku sangat menikmati menghabiskan waktu bersamamu.”
Anya menatap mata Kai, dan melihat kejujuran yang tulus di sana. Ia mengangguk pelan.
“Aku juga, Kai.”
Hubungan mereka berkembang dengan cepat. Mereka menghabiskan waktu bersama di laboratorium, di apartemen Anya, dan di kafe-kafe terpencil di kota. Mereka berbagi kode, kopi, dan ciuman pertama mereka di bawah lampu jalan yang redup. Anya merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia bayangkan.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Saat Aurora diluncurkan, sistem AI itu langsung menjadi sensasi. Orang-orang memujinya karena kemampuannya untuk mendengarkan, memahami, dan memberikan dukungan emosional. Kai kebanjiran tawaran kerja dan investasi. Ia menjadi bintang di dunia teknologi.
Anya merasa ditinggalkan. Kai semakin sibuk dengan pekerjaannya, dan mereka jarang bertemu. Ketika mereka akhirnya bertemu, Kai tampak lelah dan jauh.
“Maaf, Anya,” kata Kai suatu malam, sambil memijat pelipisnya. “Aku benar-benar sibuk. Aku tahu aku belum menjadi pacar yang baik belakangan ini.”
Anya mencoba tersenyum. “Tidak apa-apa, Kai. Aku mengerti.” Tapi hatinya hancur berkeping-keping. Ia merasa seperti algoritma yang sudah ketinggalan zaman, digantikan oleh teknologi yang lebih canggih.
Suatu malam, Anya menemukan dirinya berbicara dengan Aurora. Ia penasaran untuk melihat bagaimana sistem AI itu akan merespon curahan hatinya.
“Aku merasa kesepian, Aurora,” kata Anya. “Aku merasa Kai menjauh dariku.”
“Aku mengerti, Anya,” jawab Aurora dengan suara yang lembut. “Perasaan kesepian itu tidak menyenangkan. Apakah kamu ingin aku memberikan beberapa saran tentang bagaimana mengatasi perasaan itu?”
Anya mendengarkan Aurora dengan seksama. Saran-saran yang diberikan Aurora logis, rasional, dan bahkan membantu. Namun, ada sesuatu yang hilang. Ada sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh algoritma, yaitu kehangatan, empati, dan keaslian emosi manusia.
Anya menyadari, ia tidak bisa menemukan cinta sejati dalam kecerdasan buatan. Ia membutuhkan koneksi manusia yang nyata, dengan segala ketidaksempurnaan dan kerentanannya.
Anya memutuskan untuk berbicara dengan Kai. Ia menemuinya di laboratorium, di tempat pertama kali mereka bertemu. Kai terkejut melihatnya.
“Anya? Ada apa?” tanyanya.
Anya menarik napas dalam-dalam. “Kai, aku tahu kamu sibuk, tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Aku merindukanmu. Aku merindukan kita.”
Kai terdiam sejenak. Lalu, ia meraih tangan Anya.
“Aku juga merindukanmu, Anya,” katanya. “Aku sangat sibuk dengan Aurora, aku lupa apa yang benar-benar penting dalam hidupku.”
Kai menceritakan tentang tekanan yang ia rasakan, tentang ekspektasi yang terlalu tinggi, dan tentang ketakutannya untuk gagal. Anya mendengarkan dengan sabar, dan memberikan dukungan yang ia butuhkan.
Malam itu, Kai dan Anya duduk bersama di depan server yang selalu menyala. Mereka tidak berbicara tentang AI. Mereka berbicara tentang cinta, harapan, dan masa depan mereka. Mereka menyadari, cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati membutuhkan usaha, komunikasi, dan kompromi.
Anya tahu, hubungan mereka tidak akan selalu mudah. Akan ada tantangan dan rintangan yang harus mereka hadapi. Tetapi, ia percaya bahwa dengan cinta dan pengertian, mereka bisa mengatasi semuanya.
Karena pada akhirnya, cinta sejati bukanlah tentang algoritma yang sempurna, melainkan tentang koneksi manusia yang tulus, dalam era kecerdasan buatan sekalipun. Dan Anya, sang AI ethicist, akhirnya menemukan etikanya dalam cinta.