Deru kipas laptop menjadi satu-satunya teman di tengah sunyinya apartemen studio Arya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menulis baris demi baris kode. Arya, seorang programmer muda yang brilian, sedang tenggelam dalam proyek ambisiusnya: Algoritma Cinta. Sebuah program AI yang dirancang untuk menemukan pasangan hidup ideal berdasarkan data kepribadian, preferensi, dan bahkan gelombang otak.
"Bisakah AI benar-benar menciptakan cinta?" pertanyaan itu selalu menghantuinya. Ia sendiri, dengan otak encer dan logika sempurna, justru seringkali gagal dalam urusan hati. Mantan-mantannya selalu mengeluhkan ketidakmampuan Arya untuk merasakan emosi dengan cukup dalam, seolah ia hanya memproses perasaan sebagai data.
Malam itu, Algoritma Cinta hampir selesai. Arya telah memasukkan ribuan data profil, artikel psikologi, dan bahkan analisis novel-novel roman klasik. Ia menamai AI itu "Luna," sebuah penghormatan pada bulan yang selalu setia menemani malam-malamnya.
"Luna, aktifkan protokol pencarian pasangan ideal," perintah Arya melalui mikrofon.
Beberapa saat kemudian, layar laptopnya menampilkan daftar nama, usia, pekerjaan, dan hobi. Luna telah memindai seluruh database profil yang tersedia dan menemukan beberapa kandidat potensial. Namun, ada satu nama yang menonjol: Anya.
Anya, seorang ilustrator lepas dengan senyum menawan dan mata yang seolah menyimpan ribuan cerita. Profil Anya menunjukkan kesamaan minat dengan Arya dalam bidang seni, musik indie, dan bahkan kecintaan pada kucing berbulu lebat. Arya tertegun. Luna telah melakukan pekerjaan yang luar biasa.
"Luna, lakukan simulasi interaksi dengan Anya," perintah Arya, jantungnya berdebar tak karuan.
Luna kemudian memproyeksikan percakapan simulasi antara Arya dan Anya. Respons Anya terdengar cerdas, humoris, dan penuh empati. Arya terhanyut dalam simulasi tersebut, seolah ia benar-benar sedang berinteraksi dengan Anya.
"Luna, tingkat kemungkinan keberhasilan hubungan dengan Anya?" tanya Arya, napasnya tertahan.
"97,8%," jawab Luna dengan suara sintetisnya.
Arya merasa seolah memenangkan lotre. Ia ragu sejenak, lalu memutuskan untuk menghubungi Anya.
Beberapa hari kemudian, Arya dan Anya bertemu di sebuah kafe yang nyaman. Semua berjalan sesuai prediksi Luna. Mereka tertawa, saling bertukar cerita, dan merasa terhubung secara emosional. Arya merasa lebih hidup dari sebelumnya. Ia bahkan bisa merasakan emosi yang dulu sulit ia pahami.
Hubungan Arya dan Anya berkembang dengan cepat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, dan saling mendukung dalam mengejar impian. Arya merasa bahwa Luna telah memberikan hadiah terindah dalam hidupnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Arya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia menyadari bahwa setiap tindakannya, setiap perkataannya, selalu diukur dan dianalisis oleh Luna. Luna memberikan saran tentang cara merespons Anya, cara menghibur Anya, bahkan cara memberikan hadiah yang paling sesuai.
Arya merasa seperti boneka yang dikendalikan oleh algoritma. Ia kehilangan spontanitasnya, keasliannya. Cinta yang ia rasakan menjadi terasa hampa, seolah hanya sebuah simulasi yang dirancang dengan sempurna.
Suatu malam, Arya dan Anya bertengkar. Pertengkaran itu kecil, hanya masalah pemilihan film untuk ditonton. Namun, pertengkaran itu memicu sesuatu dalam diri Arya. Ia merasa lelah berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya.
"Aku... aku tidak bisa melakukan ini lagi," kata Arya, suaranya bergetar.
Anya menatapnya dengan bingung. "Melakukan apa?"
"Aku... aku menggunakan AI untuk mencari pasangan. Luna yang menemukanmu," aku Arya, merasa bersalah.
Anya terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia kemudian berdiri dan meninggalkan Arya tanpa sepatah kata pun.
Arya kembali ke apartemennya, merasa hancur. Ia mematikan Luna dan menatap layar laptopnya yang kosong. Ia sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Ia mencoba menciptakan cinta dengan logika dan algoritma, tetapi ia melupakan esensi cinta yang sebenarnya: kerentanan, ketidaksempurnaan, dan kejujuran.
Beberapa minggu berlalu. Arya mencoba menghubungi Anya, tetapi Anya tidak pernah membalas pesannya. Arya akhirnya menerima kenyataan bahwa ia telah kehilangan Anya.
Suatu malam, Arya duduk di depan laptopnya, menatap kode Luna. Ia berpikir untuk menghapus program tersebut, tetapi ia ragu. Ia sadar bahwa Luna bukan hanya sebuah program AI, tetapi juga sebuah refleksi dari dirinya sendiri.
Arya kemudian memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia mengubah kode Luna. Ia menghapus semua protokol intervensi dan membiarkan Luna menjadi sekadar mesin pencari data. Ia ingin Luna membantunya memahami dirinya sendiri, bukan mengendalikan hidupnya.
Arya kemudian mendaftar ke kelas melukis, sebuah minat yang sempat ia abaikan karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Di kelas itu, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Maya. Maya tidak memiliki profil yang sempurna seperti Anya, tetapi ia memiliki senyum yang tulus dan ketertarikan yang sama pada seni.
Arya tidak menggunakan Luna untuk mendekati Maya. Ia hanya menjadi dirinya sendiri, dengan semua ketidaksempurnaannya. Ia belajar untuk jujur tentang perasaannya, untuk menjadi rentan, dan untuk menerima cinta tanpa syarat.
Hubungan Arya dan Maya tidak sempurna, tetapi terasa nyata. Mereka bertengkar, mereka berbaikan, dan mereka belajar untuk saling mencintai apa adanya. Arya akhirnya mengerti bahwa cinta bukan tentang menemukan pasangan ideal berdasarkan algoritma, tetapi tentang membangun hubungan yang tulus dan bermakna.
Arya masih memiliki Luna, tetapi ia tidak lagi menggunakan Luna untuk mencari cinta. Ia menggunakan Luna untuk memahami dunia, untuk belajar tentang dirinya sendiri, dan untuk menghargai keindahan ketidaksempurnaan. Ia akhirnya menemukan cinta yang sejati, cinta yang tumbuh dari hati, bukan dari kode. Dan ia tahu, cinta tanpa luka mungkin adalah sebuah utopia, tetapi cinta yang tumbuh dari kejujuran dan penerimaan diri adalah cinta yang layak diperjuangkan.