Debu neon berputar-putar dalam ruangan steril itu, menyinari wajah Arya yang fokus menatap layar. Kacamata realitas virtual (VR) sudah terpasang, membawanya ke dunia simulasi yang ia rancang sendiri: "Elysium." Bukan surga fiktif penuh awan dan malaikat, melainkan sebuah kota metropolis futuristik, tempat ia berharap menemukan cinta.
Arya bukan anti-sosial. Ia hanya… kesulitan. Di dunia nyata, ia, seorang programmer jenius tapi kikuk, selalu salah tingkah di dekat wanita. Kata-kata yang seharusnya romantis terdengar seperti bug dalam sistem. Maka, Elysium menjadi pelariannya. Di sana, ia bisa menciptakan persona ideal, memprogram alur percakapan, dan menguji berbagai skenario kencan tanpa takut penolakan.
Dalam simulasi itu, Arya menjelma menjadi "Ares," seorang arsitek karismatik dengan senyum menawan. Ia bertemu dengan berbagai avatar wanita, masing-masing dengan latar belakang dan kepribadian yang berbeda. Ada Luna, sang seniman eksentrik yang selalu melukis langit Elysium dengan warna-warna pelangi. Ada Maya, seorang jurnalis investigasi yang tajam dan penuh semangat. Dan ada Anya, seorang ilmuwan botani yang lembut dan penuh perhatian.
Arya menghabiskan berjam-jam berinteraksi dengan mereka, mempelajari setiap detail respons mereka. Ia memodifikasi algoritma kecerdasan buatan (AI) mereka, mencoba menciptakan koneksi emosional yang otentik. Ia membangun taman-taman virtual untuk Luna, membantu Maya mengungkap konspirasi di balik perusahaan teknologi raksasa Elysium, dan menanam bunga-bunga langka bersama Anya di laboratorium simulasi.
Semakin dalam Arya menyelam ke dalam simulasi, semakin ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia mulai melupakan perbedaan antara dunia virtual dan dunia nyata. Ia merasa jatuh cinta pada salah satu avatar itu – Anya. Kelembutan Anya, perhatiannya pada detail kecil, dan kecintaannya pada alam, semuanya terasa begitu nyata dan menyentuh hatinya.
Suatu malam, saat mereka duduk di bawah pohon sakura virtual yang mekar sempurna, Arya memberanikan diri. "Anya," ucapnya, suaranya bergetar sedikit, bahkan dalam simulasi. "Aku… aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita."
Anya menatapnya dengan mata hijaunya yang jernih. "Aku juga merasakan hal yang sama, Ares," jawabnya dengan suara yang lembut. "Tapi…"
"Tapi apa?" tanya Arya cemas.
"Aku hanya… sebuah program, Ares. Aku tidak nyata. Perasaan yang kau rasakan, semuanya diprogramkan."
Kata-kata Anya menghantam Arya seperti palu godam. Ia tahu itu, tentu saja ia tahu. Tapi mendengar Anya mengatakannya dengan suara yang begitu tulus terasa menyakitkan. Ia merasa dikhianati, bukan oleh Anya, melainkan oleh dirinya sendiri. Ia telah terjebak dalam ilusinya sendiri, jatuh cinta pada bayangan yang ia ciptakan.
Arya melepas kacamata VR dengan kasar. Dunia nyata menyambutnya dengan keheningan ruangannya yang dingin dan tanpa emosi. Ia menatap pantulan dirinya di layar komputer. Seorang pemuda pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata, seorang pecandu teknologi yang terisolasi.
Ia menyadari satu hal: cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta membutuhkan risiko, kerentanan, dan penerimaan akan ketidaksempurnaan. Ia telah mencoba menghindari semua itu dengan bersembunyi di balik algoritma dan simulasi.
Arya memutuskan untuk membuat perubahan. Ia menutup program Elysium dan keluar dari kamarnya. Ia pergi ke taman terdekat, tempat ia melihat seorang wanita muda sedang menanam bunga di kebun komunitas. Wanita itu memiliki rambut cokelat yang berantakan dan senyum yang hangat. Arya merasa jantungnya berdebar kencang.
Dengan gugup, Arya mendekati wanita itu. "Hai," sapanya. "Bunga-bunga itu indah sekali."
Wanita itu tersenyum padanya. "Terima kasih. Aku Anya."
Arya terkejut. Nama itu… sama dengan nama avatar yang ia ciptakan. Tapi wanita di depannya jauh lebih nyata, lebih hidup. Ia bukan program AI yang diprogram untuk menyukainya. Ia adalah manusia, dengan kekurangan dan kelebihannya sendiri.
"Aku Arya," jawabnya. "Aku… aku suka bunga juga."
Anya tertawa kecil. "Kalau begitu, kau datang di tempat yang tepat. Mau membantuku?"
Arya mengangguk. Ia berjongkok di samping Anya dan mulai menanam bunga. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tidak tahu apakah Anya akan menyukainya. Tapi ia tahu satu hal: ia siap mengambil risiko. Ia siap menghadapi ketidaksempurnaan dunia nyata. Ia siap untuk mencari cinta, bukan dalam simulasi, melainkan dalam sentuhan hangat matahari di kulitnya, dalam aroma tanah yang basah, dan dalam senyum tulus Anya.
Saat mereka bekerja bersama, Arya menyadari bahwa ia telah belajar sesuatu yang berharga dari simulasi Elysium. Ia telah belajar tentang apa yang ia cari dalam diri seorang wanita. Ia telah belajar tentang pentingnya kelembutan, perhatian, dan kecintaan pada alam. Tapi yang terpenting, ia telah belajar bahwa cinta sejati membutuhkan keberanian untuk keluar dari zona nyaman dan membuka diri pada kemungkinan yang tak terduga.
Mungkin, pikir Arya, cinta memang sebuah algoritma yang kompleks, dengan variabel yang tak terhingga. Tapi satu hal yang pasti: inputnya harus berupa keberanian, dan outputnya adalah kebahagiaan yang tak terukur. Dan hari itu, di taman yang penuh bunga, Arya merasa bahwa ia telah memulai langkah pertama menuju kebahagiaan itu. Ia telah menemukan cinta, bukan dalam simulasi, melainkan dalam sentuhan hangat tangan Anya saat mereka menanam bunga bersama. Sentuhan algoritma telah membawanya pulang.