**Algoritma Cinta: Jodoh dari Data, Bahagia atau Nestapa?**

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:59:25 wib
Dibaca: 166 kali
Aplikasi "Soulmate Algorithm" menjanjikan satu hal: menemukan pasangan hidup yang sempurna berdasarkan jutaan data yang diinput. Awalnya, Anya skeptis. Di usianya yang ke-28, dengan karir yang stabil sebagai UI/UX designer di sebuah perusahaan startup teknologi, ia lebih percaya pada pertemuan kebetulan dan getaran instan daripada algoritma. Namun, desakan dari ibunya, ditambah rasa penasaran yang diam-diam membara, akhirnya membuatnya mengunduh aplikasi itu.

Prosesnya cukup rumit. Anya harus menjawab ratusan pertanyaan tentang preferensi pribadi, nilai-nilai hidup, mimpi masa depan, bahkan hingga kebiasaan anehnya seperti selalu makan cokelat dengan sendok kecil. Algoritma kemudian menganalisis datanya, mencocokkannya dengan jutaan profil lain, dan dalam waktu 24 jam, hasilnya muncul: satu nama, satu foto, dan tingkat kecocokan 98,7%.

Namanya Reyhan. Seorang data scientist yang bekerja di perusahaan AI terkemuka. Fotonya menampilkan pria dengan senyum menawan, mata yang teduh, dan kacamata yang membuatnya tampak cerdas dan berwibawa. Anya mengakui, secara visual, Reyhan memenuhi semua kriterianya. Bahkan, tingkat kecocokan yang hampir sempurna itu membuatnya sedikit merinding. Terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.

Anya dan Reyhan sepakat untuk bertemu. Kencan pertama mereka di sebuah kedai kopi kecil di pusat kota. Awalnya, kecanggungan terasa di udara. Anya merasa seperti sedang menjalani wawancara kerja, bukan kencan romantis. Namun, seiring berjalannya waktu, percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas buku favorit, film yang mereka sukai, bahkan perbedaan pendapat tentang masa depan teknologi.

Reyhan, seperti yang diharapkan Anya, sangat cerdas dan menarik. Ia memiliki pemikiran yang dalam tentang banyak hal dan mampu membuat Anya tertawa dengan lelucon-lelucon cerdasnya. Anya merasa nyaman bersamanya, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.

Kencan-kencan berikutnya terasa semakin menyenangkan. Mereka pergi ke museum, konser musik indie, bahkan mendaki gunung bersama. Setiap momen terasa begitu sinkron, begitu terencana, begitu...sempurna. Anya mulai bertanya-tanya, apakah ini yang dimaksud dengan cinta sejati? Apakah algoritma benar-benar bisa menemukan pasangan yang ideal?

Namun, seiring berjalannya waktu, keraguan mulai menghantuinya. Kesempurnaan ini terasa aneh. Terlalu diprediksi, terlalu diatur. Ia merasa seperti sedang memainkan peran dalam sebuah film yang naskahnya sudah ditulis. Tidak ada kejutan, tidak ada spontanitas, tidak ada kesalahan.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam romantis di sebuah restoran mewah, Anya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Reyhan," katanya, suaranya bergetar, "Apakah kamu pernah merasa...semuanya terlalu sempurna?"

Reyhan mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

"Maksudku, kita sangat cocok di atas kertas. Kita menyukai hal yang sama, kita memiliki nilai-nilai yang sama, kita bahkan memiliki selera humor yang sama. Tapi...apakah itu cukup? Apakah cinta hanya tentang data dan algoritma?"

Reyhan terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Anya, aku tahu apa yang kamu rasakan. Awalnya, aku juga ragu. Tapi, aku percaya pada sains. Aku percaya bahwa data bisa mengungkap pola-pola yang tidak bisa kita lihat dengan mata telanjang. Algoritma ini membuktikan bahwa kita ditakdirkan untuk bersama."

"Tapi bagaimana dengan insting? Bagaimana dengan hati? Apakah kita melupakan itu semua?" tanya Anya, suaranya meninggi.

Reyhan meraih tangannya. "Anya, hati dan insting itu bisa dipengaruhi oleh bias dan emosi sesaat. Algoritma menghilangkan semua itu. Algoritma memberikan kita kepastian."

Anya menarik tangannya. "Kepastian? Cinta bukan tentang kepastian, Reyhan. Cinta itu tentang risiko, tentang ketidakpastian, tentang menerima kekurangan satu sama lain. Aku tidak ingin hidup dalam kepastian yang dibuat oleh algoritma."

Malam itu, Anya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Reyhan. Ia tahu bahwa keputusannya ini mungkin akan membuatnya menyesal di kemudian hari. Tapi, ia tidak bisa hidup dalam hubungan yang terasa seperti simulasi. Ia ingin merasakan cinta yang nyata, cinta yang tumbuh dari kesalahan dan ketidaksempurnaan.

Beberapa bulan kemudian, Anya bertemu dengan seorang pria bernama Ben di sebuah pameran seni lokal. Ben adalah seorang pelukis yang eksentrik dan penuh semangat. Mereka memiliki banyak perbedaan pendapat, mereka sering berdebat tentang hal-hal kecil, dan mereka sama sekali tidak memenuhi kriteria algoritma.

Namun, ada sesuatu yang membuat Anya tertarik pada Ben. Ada kejujuran, ada spontanitas, ada rasa ingin tahu yang membara di antara mereka. Mereka belajar menerima kekurangan satu sama lain, mereka belajar tertawa bersama, dan mereka belajar mencintai dengan sepenuh hati.

Hubungan mereka tidak sempurna, tentu saja. Ada pasang surut, ada pertengkaran, ada keraguan. Tapi, di setiap langkah, mereka belajar untuk tumbuh bersama, untuk menjadi lebih baik, dan untuk mencintai lebih dalam.

Anya menyadari bahwa algoritma mungkin bisa menemukan pasangan yang cocok secara data. Tapi, algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar data dan algoritma. Cinta membutuhkan keberanian untuk mengambil risiko, untuk menerima ketidaksempurnaan, dan untuk percaya pada kekuatan hati.

Pada akhirnya, Anya menemukan kebahagiaannya bukan dari data yang sempurna, tapi dari cinta yang jujur dan otentik. Cinta yang tumbuh dari kesalahan dan ketidaksempurnaan. Cinta yang membuktikan bahwa jodoh bukan hanya tentang data, tapi tentang pilihan dan perjalanan. Dan dalam perjalanan itu, ia menemukan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada penerimaan diri dan keberanian untuk mencintai apa adanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI