Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan barisan kode yang rumit namun indah. Anya, seorang programmer muda berbakat, tengah larut dalam pekerjaannya, menciptakan algoritma cinta. Ironis memang, pikirnya, menciptakan sesuatu yang dia sendiri tak pernah rasakan. Baginya, cinta hanyalah deretan angka dan probabilitas, sebuah teka-teki yang bisa dipecahkan dengan logika.
Algoritma ciptaannya bernama "SoulMateMatch," sebuah aplikasi kencan yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data psikologis, preferensi, dan bahkan, sejarah penjelajahan internet penggunanya. Anya percaya, dengan cukup data, dia bisa memprediksi kompatibilitas dua orang dengan akurasi tinggi.
Anya sendiri tak pernah menggunakan SoulMateMatch. Baginya, aplikasi kencan adalah bentuk keputusasaan. Dia lebih memilih menghabiskan waktunya di depan layar, menciptakan dunia virtual daripada mencoba memahami kompleksitas emosi manusia di dunia nyata.
Sampai suatu hari, Adam, seorang desainer grafis yang baru bergabung dengan perusahaan tempat Anya bekerja, muncul di hadapannya. Adam memiliki senyum yang hangat, mata yang berbinar, dan kemampuan untuk membuat Anya tertawa, sesuatu yang jarang terjadi.
Awalnya, Anya berusaha menepis perasaannya. Dia mencoba menganalisis Adam, melihatnya sebagai sekumpulan data yang bisa dia kategorikan. Namun, semakin dia mencoba memahami Adam, semakin dia menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak bisa dia kuantifikasi. Ada kehangatan, spontanitas, dan rasa humor yang tidak bisa dia masukkan ke dalam algoritma.
Suatu malam, setelah lembur mengerjakan proyek bersama, Adam mengajak Anya makan malam. Anya ragu-ragu, tapi akhirnya menerima. Malam itu, mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari mimpi mereka, ketakutan mereka, hingga kekecewaan mereka. Anya merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Itu bukan sekadar ketertarikan intelektual, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih personal.
Beberapa minggu kemudian, Anya dan Adam resmi berpacaran. Anya merasa bahagia, tapi juga takut. Dia takut bahwa perasaannya hanyalah ilusi, hasil dari algoritma kompleks yang dia coba pahami. Dia takut bahwa Adam akan kecewa jika dia tahu bahwa Anya mencoba menganalisisnya seperti sebuah program komputer.
Suatu hari, Anya memberanikan diri untuk menceritakan tentang SoulMateMatch kepada Adam. Awalnya, Adam terkejut, tapi kemudian dia tertawa. "Jadi, kamu mencoba memprediksi cintaku dengan algoritma?" tanyanya sambil tersenyum.
Anya mengangguk malu. "Aku... aku hanya ingin memahaminya," jawabnya lirih.
Adam meraih tangan Anya. "Kamu tidak perlu algoritma untuk memahamiku, Anya. Kamu hanya perlu percaya padaku."
Kata-kata Adam menenangkan Anya. Dia menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang data dan probabilitas, tapi tentang kepercayaan, penerimaan, dan kerentanan. Dia menyadari bahwa dia telah salah selama ini.
Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Suatu sore, Anya menemukan Adam sedang berbicara dengan seorang wanita di kafe dekat kantor. Wanita itu sangat cantik, dan Adam terlihat sangat bahagia bersamanya.
Anya merasa hatinya hancur. Dia merasa dikhianati, ditipu. Dia lari dari kafe itu, air mata mengalir deras di pipinya.
Malam itu, Anya duduk di depan komputernya, menatap barisan kode SoulMateMatch. Dia merasa jijik dengan ciptaannya sendiri. Dia menghapus semua data tentang Adam dari algoritma itu, mencoba menghapus kenangan tentangnya dari benaknya.
Namun, semakin dia mencoba melupakan Adam, semakin dia mengingatnya. Dia ingat senyumnya, tawanya, sentuhannya. Dia ingat semua momen indah yang mereka bagikan bersama.
Anya menyadari bahwa dia tidak bisa menghapus Adam dari hatinya, sama seperti dia tidak bisa menghapus luka di hatinya. Luka itu mungkin akan sembuh seiring waktu, tapi bekasnya akan selalu ada.
Beberapa minggu kemudian, Anya bertemu dengan Adam di sebuah pameran teknologi. Mereka berdua terkejut melihat satu sama lain. Suasana menjadi canggung.
"Anya," kata Adam lirih, "Aku... aku ingin menjelaskan."
Anya menatap Adam dengan dingin. "Tidak perlu. Aku sudah mengerti."
"Tidak, kamu tidak mengerti," kata Adam dengan nada memohon. "Wanita yang kamu lihat di kafe itu... dia adalah sepupuku. Dia baru saja bertunangan, dan aku sedang memberikan selamat padanya."
Anya terdiam. Dia merasa malu, bodoh. Dia telah menghakimi Adam tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan.
"Aku tahu kamu mungkin tidak akan percaya padaku," kata Adam, "tapi aku mencintaimu, Anya. Aku tidak pernah mencintai siapa pun seperti aku mencintaimu."
Anya menatap mata Adam. Dia melihat kejujuran, penyesalan, dan cinta. Dia tahu bahwa dia harus mempercayainya.
"Aku... aku juga mencintaimu, Adam," kata Anya lirih.
Adam tersenyum. Dia meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat.
"Aku tahu ini tidak akan mudah," kata Adam, "tapi aku bersedia bekerja keras untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali."
Anya mengangguk. Dia tahu bahwa cinta itu tidak sempurna, bahwa ada luka dan kesalahan di dalamnya. Tapi dia juga tahu bahwa cinta itu layak diperjuangkan.
Anya dan Adam kembali bersama. Mereka belajar untuk saling mempercayai, untuk saling memaafkan, dan untuk saling mencintai tanpa syarat. Anya menyadari bahwa algoritma cinta mungkin bisa memprediksi kecocokan, tapi tidak bisa menciptakan cinta sejati. Cinta sejati adalah sesuatu yang tumbuh dari hati, dari pengalaman, dan dari komitmen.
Anya tidak pernah menghapus SoulMateMatch, tapi dia tidak pernah menggunakannya lagi. Dia tahu bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dianalisis, dan tidak bisa dikendalikan. Cinta adalah misteri yang indah, sebuah teka-teki yang tidak perlu dipecahkan, tapi dinikmati. Dan Anya, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, bersedia menikmati misteri itu bersama Adam. Luka di hatinya mungkin tidak akan pernah hilang sepenuhnya, tapi dia percaya bahwa bersama Adam, dia bisa menyembuhkan luka itu, dan menciptakan algoritma kebahagiaan mereka sendiri.