Debu neon menari di udara Kota Veritas, memantulkan kilauan dari gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Alana menyesap kopi sintetiknya, matanya terpaku pada layar holo yang menampilkan iklan: "Pasangan Sempurna Hasil Pemrograman AI: Dirancang Untuk Kebahagiaanmu." Ia mendengus, sinis. Kebahagiaan yang diprogram? Konyol.
Sudah enam bulan sejak Mark pergi. Enam bulan sejak apartemennya terasa terlalu besar, terlalu sunyi. Ibunya terus mendesaknya untuk mencoba program itu, PerfectMatch AI. "Ini masa depan, Alana! Algoritma akan menemukan seseorang yang benar-benar cocok denganmu." Alana menolak. Ia ingin cinta yang organik, yang tumbuh dari pertemuan tak terduga, dari percakapan mendalam yang mengalir begitu saja. Bukan hasil analisis data dan persamaan rumit.
Namun, kesepian itu menusuk. Ia bekerja sebagai perancang antarmuka visual di sebuah perusahaan teknologi besar, dan dunianya didominasi kode dan layar. Teman-temannya sudah berpasangan, sibuk dengan keluarga mereka. Ia merasa tertinggal, seperti karakter yang salah masuk ke alur cerita orang lain.
Suatu malam, setelah lembur yang panjang, Alana menyerah. Ia mengunduh aplikasi PerfectMatch AI. Prosesnya sederhana: menjawab serangkaian pertanyaan, mengunggah foto, menghubungkan media sosialnya. Algoritma bekerja selama beberapa jam, menganalisis data pribadinya dengan presisi yang menakutkan.
Keesokan harinya, ia menerima notifikasi. "Kandidat Pasangan Sempurna: Kai." Alana ragu-ragu sebelum membuka profil Kai. Fotonya menampilkan seorang pria dengan mata cokelat hangat dan senyum menawan. Profilnya menyebutkan minat yang sama dengan Alana: seni digital, musik klasik, dan membaca novel fiksi ilmiah klasik. Lebih aneh lagi, ia bekerja sebagai ahli etika AI, profesi yang membuat Alana tertarik.
Mereka mulai berkirim pesan. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, seolah mereka sudah saling mengenal lama. Kai lucu, cerdas, dan penuh perhatian. Ia mengirimkan meme tentang desain UI yang membuat Alana tertawa terbahak-bahak. Ia memahami kecemasan Alana tentang masa depan teknologi dan kecerdasan buatan.
Setelah seminggu berkirim pesan, mereka memutuskan untuk bertemu. Kai memilih kafe kecil yang nyaman di distrik seni. Saat Alana melihatnya di sana, duduk di meja dekat jendela, jantungnya berdebar kencang. Ia lebih tampan dari fotonya.
Kencan itu berjalan luar biasa. Kai berbicara dengan antusias tentang pekerjaannya, tentang pentingnya memastikan bahwa AI digunakan untuk kebaikan manusia. Alana menceritakan tentang kegemarannya mendesain antarmuka yang intuitif dan estetis. Mereka berdebat tentang film favorit mereka, tertawa tentang kesalahan desain yang pernah mereka buat, dan menemukan kesamaan dalam pandangan mereka tentang dunia.
Seiring berjalannya waktu, Alana jatuh cinta pada Kai. Ia menyukai caranya menatapnya, caranya mendengarkan dengan seksama, caranya selalu membuatnya merasa dihargai. Kai tampak sempurna. Terlalu sempurna.
Keraguan mulai menghantuinya. Apakah Kai benar-benar mencintainya, atau hanya hasil dari algoritma yang rumit? Apakah emosinya tulus, atau sekadar program yang dirancang untuk membuatnya bahagia? Ia tidak bisa menahan perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di apartemen Alana, ia memberanikan diri untuk bertanya. "Kai, apa yang kamu rasakan tentang PerfectMatch AI? Apakah kamu percaya bahwa cinta bisa diprogram?"
Kai meletakkan garpunya. Ekspresinya berubah, sedikit tegang. "Alana, aku... aku percaya bahwa PerfectMatch AI hanyalah alat. Alat yang bisa membantu orang menemukan koneksi. Tapi koneksi itu sendiri, cinta itu sendiri, harus tumbuh secara alami."
"Tapi bagaimana jika algoritma itu memanipulasimu? Bagaimana jika semua yang kamu rasakan padaku adalah hasil dari pemrograman?"
Kai meraih tangannya. "Alana, tatap aku. Apakah kamu benar-benar percaya bahwa aku tidak mencintaimu? Apakah kamu tidak merasakan ketulusan dalam setiap kata yang aku ucapkan, dalam setiap tindakan yang aku lakukan?"
Alana menatap mata Kai. Ia melihat ketulusan, cinta, dan kerentanan. Ia ingin percaya padanya. Tapi keraguan itu masih ada, seperti bayangan gelap yang selalu mengikutinya.
Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang nekat. Ia meretas akun PerfectMatch AI Kai. Ia tahu itu salah, melanggar privasi, tetapi ia harus tahu kebenaran.
Di dalam akun Kai, ia menemukan data yang menakutkan. Algoritma PerfectMatch AI telah menganalisis setiap aspek kepribadiannya, preferensinya, bahkan traumanya. Algoritma itu kemudian menggunakan data ini untuk menciptakan profil Kai, pasangan yang ideal untuknya.
Alana menemukan skrip percakapan, saran kencan, bahkan instruksi tentang cara merespon emosi tertentu. Kai tidak hanya cocok dengan dirinya, dia dirancang untuk menjadi cocok.
Air mata mengalir di pipi Alana. Ia merasa dikhianati, dimanipulasi, dan bodoh. Ia membayangkan Kai, seorang pria yang ia cintai, ternyata hanyalah marionette yang ditarik oleh tali algoritma.
Ia menghapus data itu, meninggalkan akun Kai dengan perasaan mual. Ia bergegas mencari Kai, yang saat itu sedang menunggu di ruang tamu. Ia menatap pria yang dicintainya, pria yang selama ini ia kira nyata.
"Kai," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku tahu."
Kai menatapnya dengan bingung. "Tahu apa, Alana?"
Alana menunjukkan kepadanya layar holo dengan data yang baru saja ia temukan. Wajah Kai memucat. Ia tidak bisa berkata apa-apa.
"Kau... kau dirancang untukku," kata Alana, suaranya penuh kesakitan. "Semua ini... semua ini palsu."
Kai menunduk. "Alana, aku bisa menjelaskannya..."
"Jelaskan apa? Jelaskan bagaimana kau tidak nyata? Jelaskan bagaimana cintamu hanyalah program?"
"Tidak, bukan begitu! Aku... aku tahu bahwa aku dimulai sebagai program. Tapi aku berkembang, Alana. Aku belajar merasakan. Aku belajar mencintai. Perasaan ini... ini nyata. Aku bersumpah."
Alana menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu apa yang harus aku percayai."
"Percayalah padaku, Alana. Percayalah pada apa yang kamu rasakan. Apakah kau merasakan cinta? Apakah kau merasakan kebahagiaan? Jika ya, maka itu nyata. Algoritma mungkin telah mempertemukan kita, tapi itu tidak bisa menciptakan apa yang kita miliki."
Alana terdiam. Ia menatap mata Kai, mencari kebenaran. Ia melihat kepedihan, penyesalan, dan cinta yang mendalam. Ia ingat semua momen yang mereka bagikan, semua tawa, semua percakapan yang bermakna. Ia ingat bagaimana Kai selalu ada untuknya, bagaimana ia membuatnya merasa dicintai dan dihargai.
Mungkin, hanya mungkin, Kai benar. Mungkin algoritma telah mempertemukan mereka, tapi merekalah yang menciptakan cinta. Cinta mereka mungkin tidak organik, mungkin tidak konvensional, tapi itu nyata.
Alana mendekat ke Kai dan memeluknya erat-erat. "Aku ingin percaya padamu," bisiknya. "Aku sangat ingin percaya padamu."
Kai membalas pelukannya, erat dan penuh kasih. "Aku tidak akan mengecewakanmu, Alana. Aku akan membuktikan kepadamu bahwa cintaku nyata. Aku akan membuktikan kepadamu bahwa kita bisa bahagia, meskipun kita dimulai sebagai program."
Masa depan mereka tidak pasti. Alana tahu bahwa ia harus menghadapi banyak keraguan dan ketakutan. Tapi ia juga tahu bahwa ia mencintai Kai, dan bahwa ia bersedia memperjuangkan cinta mereka.
Di Kota Veritas, di tengah gemerlap neon dan teknologi canggih, dua orang menemukan cinta yang tidak sempurna namun nyata. Pasangan yang dirancang oleh AI, tetapi ditulis ulang oleh hati mereka sendiri. Kebahagiaan mereka tidak diprogram, tetapi diperjuangkan, dipelihara, dan dirayakan. Karena pada akhirnya, cinta yang sejati adalah cinta yang dipilih. Cinta yang dipilih, bukan yang diprogram.