Jari-jemari Luna menari di atas keyboard, menghasilkan deretan kode yang kompleks. Di layar komputernya, algoritma kencan buatannya terus berkembang, mempelajari jutaan data pengguna, mencari pola, dan memprediksi kecocokan dengan akurasi yang mencengangkan. Luna, seorang programmer jenius yang anti-sosial, percaya bahwa cinta, seperti segala hal di dunia ini, bisa dikuantifikasi.
“Luna, kopi?” Sapaan hangat itu memecah konsentrasinya. Arya, rekan kerjanya yang selalu ceria dan penuh energi, menyodorkan cangkir keramik bergambar kucing.
Luna mendongak, mengulas senyum tipis. “Terima kasih, Arya. Kamu penyelamatku.”
Arya terkekeh. “Sudah kubilang, jangan terlalu fokus. Nanti algoritma cintamu malah tidak berfungsi karena kamu sendiri tidak punya pengalaman.”
Luna mengernyit. “Pengalaman tidak relevan. Logika dan data adalah kunci.”
Arya menggelengkan kepalanya, tak ingin berdebat. Ia tahu betul keras kepalanya Luna jika sudah menyangkut programnya. “Baiklah, baiklah. Tapi ingat, hati manusia bukan deretan angka.”
Setelah Arya pergi, Luna kembali fokus pada algoritmanya. Ia telah menghabiskan berbulan-bulan untuk menyempurnakannya, memasukkan variabel-variabel seperti minat, latar belakang pendidikan, preferensi makanan, bahkan hingga pola tidur. Tujuannya sederhana: menciptakan aplikasi kencan yang benar-benar efektif, menghilangkan ketidakpastian dan patah hati.
Suatu malam, setelah begadang selama tiga hari berturut-turut, algoritma itu akhirnya mencapai puncak kemampuannya. Luna menyebutnya "Soulmate 3.0". Aplikasi itu mampu menganalisis kepribadian seseorang dengan begitu mendalam, menemukan pasangan yang ideal berdasarkan kompatibilitas genetik, kecocokan hormon, dan bahkan… mimpi.
"Sempurna," bisik Luna, matanya berbinar. "Sekarang, tinggal mengujinya pada diriku sendiri."
Dengan ragu, ia memasukkan datanya ke dalam Soulmate 3.0. Ia menjawab semua pertanyaan dengan jujur, mengungkap segala ketakutan, harapan, dan impiannya. Jantungnya berdebar kencang saat algoritma itu bekerja, menganalisis setiap detail dari dirinya.
Beberapa menit kemudian, layar menampilkan sebuah nama: "Arya Pratama."
Luna terkejut. Arya? Rekan kerjanya yang selalu menggodanya? Tidak mungkin. Algoritmanya pasti salah. Arya terlalu… biasa. Terlalu ceria. Terlalu… manusiawi. Luna mencari kesalahan dalam kode, mencari celah yang mungkin menyebabkan hasil yang keliru. Namun, tidak ada. Algoritma itu bekerja dengan sempurna.
Ia memutuskan untuk mengabaikan hasilnya. Toh, ini hanya sebuah program. Tidak mungkin sebuah algoritma bisa menentukan siapa yang seharusnya ia cintai.
Namun, semakin lama Luna berusaha melupakan hasil itu, semakin sering ia mendapati dirinya memikirkan Arya. Ia mulai memperhatikan bagaimana Arya selalu tersenyum padanya, bagaimana ia selalu tahu cara menghiburnya, bagaimana ia selalu membawakannya kopi tanpa diminta.
Suatu hari, Luna memberanikan diri untuk mengajak Arya makan siang. Awalnya canggung, namun suasana mulai mencair saat mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang mimpi, dan tentang kehidupan. Luna menyadari, ia menikmati kebersamaan dengan Arya. Ia merasa nyaman, aman, dan… bahagia.
Setelah makan siang, Arya mengantarnya kembali ke kantor. Di depan pintu, Arya berhenti, menatap Luna dengan tatapan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.
"Luna," ucap Arya pelan, "aku… aku sudah lama ingin mengatakan ini. Aku menyukaimu."
Jantung Luna berpacu lebih kencang dari sebelumnya. Ia tahu, inilah saatnya. Inilah saatnya ia mengakui bahwa algoritmanya mungkin benar.
"Arya," jawab Luna dengan suara bergetar, "aku… aku juga menyukaimu."
Arya tersenyum lebar, lalu meraih tangan Luna. Sentuhan itu terasa hangat, lembut, dan… nyata. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Luna merasakan sesuatu yang tidak bisa diukur dengan angka, sesuatu yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma. Sesuatu yang disebut cinta.
Sejak hari itu, Luna dan Arya mulai berkencan. Mereka belajar satu sama lain, saling mendukung, dan saling mencintai. Luna mulai memahami bahwa cinta bukan hanya tentang kompatibilitas data, tapi juga tentang koneksi emosional, tentang penerimaan, dan tentang kebahagiaan.
Soulmate 3.0 memang telah mempertemukan mereka, namun yang membuat mereka tetap bersama adalah sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa dikuantifikasi: detak jantung, senyuman tulus, dan tatapan mata yang penuh cinta.
Luna tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai programmer. Namun, ia mengubah algoritmanya. Ia menambahkan variabel baru: "Intuisi" dan "Keajaiban". Ia mengakui bahwa cinta memang rumit, tidak sempurna, dan seringkali tidak masuk akal. Tapi itulah yang membuatnya indah.
Pada akhirnya, Luna menyadari bahwa algoritma hanyalah alat bantu. Ia tidak bisa menggantikan hati manusia, tidak bisa menggantikan perasaan, dan tidak bisa menggantikan cinta sejati. Cinta adalah sesuatu yang harus dirasakan, bukan diukur. Dan Luna, dengan bantuan Arya, akhirnya telah menemukan cinta yang sejati. Cinta yang tidak terukur dalam gigabyte, tapi terpancar dari setiap detak jantung.