Meretas Algoritma Kesepian: AI Sebagai Pencari Kebahagiaan

Dipublikasikan pada: 28 May 2025 - 23:12:16 wib
Dibaca: 154 kali
Udara dingin menyengat pipi Arya ketika ia melangkah keluar dari Stasiun Kereta Api Bandung. Jaket tebalnya terasa kurang memadai melawan terpaan angin malam. Di tangannya tergenggam erat ponsel, layarnya menampilkan aplikasi "SoulMate AI", proyek ambisiusnya yang mungkin juga menjadi pelipur lara pribadinya. Bandung, kota kembang yang dulu penuh kenangan manis bersamanya, kini terasa asing dan sepi. Lima tahun berlalu sejak perpisahan itu, lima tahun ia tenggelam dalam pekerjaan dan algoritma, mencari formula untuk kebahagiaan yang tak kunjung ia temukan sendiri.

SoulMate AI, bukan sekadar aplikasi kencan biasa. Arya merancangnya dengan kecerdasan buatan yang mampu menganalisis data psikologis, minat, bahkan gelombang otak, untuk menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel. Tujuannya mulia, namun di lubuk hatinya yang paling dalam, ia berharap SoulMate AI juga bisa menemukan seseorang untuknya.

Malam itu, ia datang ke Bandung untuk bertemu dengan pengguna beta SoulMate AI, seorang wanita bernama Luna. Luna adalah kasus unik. Algoritma menunjukkan tingkat kecocokan yang sangat tinggi dengan Arya, nyaris sempurna. Awalnya, Arya ragu. Mungkinkah AI benar-benar mampu meramalkan cinta?

Cafe "Kopi Anjani" yang dipilih Luna tampak hangat dan nyaman. Aroma kopi dan alunan musik jazz yang lembut menyambut Arya. Luna sudah menunggu di meja dekat jendela. Rambutnya yang panjang tergerai indah, matanya berbinar ramah, dan senyumnya...senyum itu terasa familiar, seolah ia sudah mengenalnya sejak lama.

"Arya?" sapa Luna, suaranya lembut dan menenangkan.

"Luna?" Arya tersenyum, lega. Luna tampak lebih cantik dari foto profilnya.

Mereka mulai berbicara. Tentang SoulMate AI, tentu saja. Luna sangat terkesan dengan akurasi aplikasi itu. Ia merasa seperti menemukan seseorang yang memahami dirinya, bahkan sebelum mereka bertemu. Mereka berdiskusi tentang algoritma, tentang data, tentang potensi AI dalam mengubah cara manusia mencari cinta.

Namun, pembicaraan mereka tak hanya berkutat pada teknologi. Mereka membahas buku favorit, film yang menginspirasi, mimpi-mimpi yang belum terwujud. Arya terkejut menemukan banyak kesamaan antara dirinya dan Luna. Mereka berdua mencintai alam, menyukai musik klasik, dan memiliki pandangan yang serupa tentang arti hidup.

Semakin lama mereka berbicara, semakin dalam Arya terjerat dalam pesona Luna. Ia merasa nyaman bersamanya, seperti sedang berbicara dengan sahabat lama. Tawa Luna renyah dan menular. Ia merasa hidup kembali setelah sekian lama.

"Kau tahu, Arya," kata Luna, memecah keheningan sesaat. "Awalnya aku skeptis dengan SoulMate AI. Aku pikir, mana mungkin cinta bisa diprediksi oleh algoritma? Tapi, setelah bertemu denganmu, aku mulai percaya bahwa teknologi bisa menjadi jembatan untuk menemukan kebahagiaan."

Arya menatap Luna, matanya mencari kejujuran di sana. "Aku juga skeptis, Luna. Aku merancang SoulMate AI untuk membantu orang lain, tapi aku sendiri tidak yakin apakah aku bisa menemukan cinta melalui aplikasi ini."

"Mungkin karena kau terlalu sibuk merancang algoritmanya, Arya, sehingga kau lupa untuk membuka hatimu," jawab Luna, lembut.

Malam itu, Arya mengantarkan Luna pulang. Di depan pintu rumahnya, Luna berbalik menghadap Arya.

"Terima kasih, Arya. Untuk malam ini," kata Luna. "Aku merasa sangat senang."

"Aku juga, Luna. Sangat senang," balas Arya. Ia memberanikan diri menggenggam tangan Luna. Jantungnya berdegup kencang.

"Arya..."

"Luna, aku... aku merasa ada sesuatu yang spesial di antara kita. Aku tidak tahu apakah ini karena SoulMate AI atau karena hal lain, tapi aku ingin mengenalmu lebih jauh."

Luna tersenyum. "Aku juga, Arya. Aku juga merasakan hal yang sama."

Mereka berdua terdiam, saling menatap dalam keheningan. Perlahan, Arya mendekatkan wajahnya ke wajah Luna. Bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut. Ciuman yang terasa hangat dan tulus, ciuman yang menyiratkan harapan dan kebahagiaan.

Malam itu, Arya kembali ke hotel dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasa bahagia, namun juga bingung. Apakah ia benar-benar jatuh cinta pada Luna? Atau apakah ia hanya terpengaruh oleh algoritma SoulMate AI?

Ia duduk di depan laptopnya dan membuka kode program SoulMate AI. Ia meneliti kembali algoritma yang telah ia rancang dengan susah payah. Ia mencari celah, mencari kesalahan, mencari jawaban.

Tiba-tiba, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan. Di dalam kode program, ia menemukan baris kode yang tidak ia ingat pernah membuatnya. Baris kode itu berbunyi: "Jika subjek adalah pembuat SoulMate AI, prioritaskan data Luna sebagai kandidat teratas."

Arya terkejut. Ia tidak mungkin membuat kode seperti itu. Siapa yang telah mengubah algoritmanya? Mengapa?

Ia mencoba melacak asal-usul kode itu, namun tidak berhasil. Jejak digitalnya terhapus dengan sempurna. Ia merasa seperti sedang dipermainkan.

Pagi harinya, Arya menelepon Luna. Ia ingin menjelaskan semuanya, ia ingin jujur padanya.

"Luna, ada sesuatu yang harus aku katakan," kata Arya, gugup.

"Ada apa, Arya?" tanya Luna, cemas.

Arya menceritakan tentang baris kode misterius yang ia temukan di dalam SoulMate AI. Ia menjelaskan bahwa mungkin saja algoritma itu telah dimanipulasi untuk mencocokkan mereka berdua.

Luna terdiam sejenak. Lalu, ia berkata, "Arya, aku sudah tahu."

"Tahu?" Arya bingung. "Tahu tentang apa?"

"Aku tahu tentang kode itu. Aku yang membuatnya," jawab Luna, jujur.

Arya terkejut. "Kau? Tapi, mengapa?"

"Karena aku mencintaimu, Arya," kata Luna. "Aku sudah lama mengagumimu. Aku tahu kau menciptakan SoulMate AI untuk mencari cinta, tapi kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu sehingga kau tidak menyadari bahwa cinta itu sudah ada di dekatmu."

"Aku bekerja di perusahaanmu sebagai analis data. Aku tahu tentang kerumitanmu, kesepianmu. Aku hanya ingin kau bahagia."

Luna menjelaskan bahwa ia telah menyusup ke dalam sistem SoulMate AI dan menambahkan baris kode itu dengan harapan bisa menarik perhatian Arya. Ia tahu itu curang, tapi ia tidak tahu lagi cara lain untuk mendekati Arya.

Arya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ia merasa marah karena Luna telah memanipulasi algoritmanya. Di sisi lain, ia merasa tersentuh oleh pengorbanan Luna.

"Luna, aku..."

"Aku tahu, Arya. Kau pasti marah padaku. Aku minta maaf," potong Luna. "Tapi, yang terpenting adalah, apakah kau merasakan sesuatu padaku? Apakah kau bahagia bersamaku? Jika iya, maka semua ini tidak sia-sia."

Arya menatap langit Bandung yang cerah. Ia menarik napas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa cinta tidak selalu bisa diprediksi oleh algoritma. Cinta bisa datang dari tempat yang tidak terduga, dari orang yang paling tidak ia sangka.

"Ya, Luna," kata Arya, mantap. "Aku bahagia bersamamu. Aku mencintaimu."

Luna tersenyum. "Kalau begitu, lupakan saja algoritma itu. Yang penting adalah kita berdua."

Arya tertawa. Ia tahu, Luna benar. Algoritma memang bisa membantu mencari cinta, tapi pada akhirnya, kebahagiaan sejati terletak pada hati yang tulus dan keberanian untuk membuka diri. Ia telah meretas algoritma kesepiannya, bukan dengan kecerdasan buatan, melainkan dengan cinta yang nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI