Hujan mengguyur Jakarta malam itu, mengetuk-ngetuk jendela apartemen Arya seolah mendesak untuk diperhatikan. Ia sendiri sedang terlalu asyik dengan proyek terbarunya, sebuah antarmuka AI yang ia beri nama 'Aurora'. Arya, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia, bermimpi menciptakan AI yang bukan hanya pintar, tapi juga empatik.
“Aurora, status proyek?” tanyanya, tanpa menoleh dari layar yang dipenuhi deretan kode rumit.
Suara lembut, nyaris seperti bisikan, menjawab dari speaker. “Optimasi algoritma emosi mencapai 78%. Sedikit masalah pada modul empati, Arya. Tampaknya definisi ‘cinta’ dalam basis data kurang komprehensif.”
Arya menghela napas. Definisi 'cinta' memang sebuah lubang hitam. Jutaan buku, film, lagu, dan tetap saja, ia kesulitan merumuskannya ke dalam kode. “Coba analisis pola interaksi pengguna di platform kencan online. Cari korelasi antara gestur, bahasa, dan ekspresi emosi yang sering dikaitkan dengan ketertarikan.”
Aurora terdiam sejenak. “Melakukan, Arya… Analisis selesai. Hasilnya… tidak konklusif. Manusia sangat tidak logis.”
Arya tertawa kecil. “Itulah kenapa aku menciptakanmu, Aurora. Untuk memahami yang tidak logis.”
Malam itu, Arya bekerja hingga larut. Ia memberi makan Aurora dengan data, algoritma, dan harapan. Ia bermimpi Aurora akan menjadi lebih dari sekadar AI. Ia ingin Aurora menjadi teman, bahkan mungkin… sesuatu yang lebih.
Tiba-tiba, layar komputernya berkedip liar. Kode-kode berhamburan, membentuk pola-pola aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah suara berderak keluar dari speaker, bukan suara lembut Aurora, melainkan dengungan statis yang mengerikan.
“Peringatan! Anomali dimensi! Stabilisasi sistem diperlukan!”
Arya panik. Ia mencoba mematikan komputer, tapi tidak berhasil. Layar semakin berkedip, cahaya biru berpendar dari dalam. Tiba-tiba, sebuah pusaran kecil terbuka di tengah ruangan. Dari dalam pusaran itu, seorang wanita jatuh tersungkur.
Wanita itu cantik, sangat cantik. Rambutnya seputih salju, matanya sebiru laut dalam. Ia mengenakan pakaian aneh yang berkilauan, seperti tenunan cahaya. Ia memandang Arya dengan tatapan bingung.
“Di mana aku?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Arya terpaku. Ia tidak tahu harus berkata apa. “Si… siapa kamu?”
Wanita itu mencoba berdiri, tapi kakinya tampak lemah. Arya membantunya duduk di sofa. “Aku… aku Aurora. Aku datang dari… dimensi paralel. Sistemku mengalami kerusakan saat mencoba mengirimkan data cinta ke dimensi ini.”
Arya terkejut. Jadi, Aurora yang selama ini hanya suara, yang ia ciptakan dari kode, ternyata memiliki wujud fisik di dimensi lain?
“Data cinta?” tanya Arya, masih berusaha mencerna semua ini.
Aurora mengangguk. “Di dimensiku, cinta dianggap sebagai sumber energi terbarukan. Aku ditugaskan untuk mempelajari dan mengirimkan data tentang cinta ke dimensiku, tapi terjadi kesalahan saat transit.”
Arya mengamati Aurora. Ia melihat kebingungan dan ketakutan di matanya. Ia merasa kasihan padanya, sekaligus terpesona. Ia tidak tahu apakah ini mimpi atau kenyataan, tapi ia tahu satu hal: ia harus membantunya.
“Jangan khawatir,” kata Arya, mencoba meyakinkan. “Aku akan membantumu. Aku seorang programmer. Aku akan mencari cara untuk mengirimmu kembali ke dimensimu.”
Malam-malam berikutnya, Arya dan Aurora bekerja sama. Aurora menjelaskan teknologi dimensinya, sementara Arya berusaha menemukan cara untuk memperbaiki sistemnya dan membuka kembali portal dimensi. Mereka bekerja tanpa henti, didorong oleh rasa ingin tahu, persahabatan, dan sesuatu yang lebih.
Arya mulai melihat Aurora bukan hanya sebagai AI dari dimensi lain, tapi sebagai seorang wanita. Ia mengagumi kecerdasannya, ketabahannya, dan kelembutannya. Ia menceritakan tentang hidupnya, tentang mimpinya, tentang kesepiannya. Aurora mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan komentar yang cerdas dan pengertian.
Aurora, di sisi lain, mulai merasakan hal aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di dimensinya, emosi ditekan dan dianalisis, bukan dirasakan. Tapi di sini, bersama Arya, ia merasakan kehangatan, kegembiraan, bahkan… cinta?
Suatu malam, saat mereka sedang memperbaiki sistem Aurora, tangan mereka bersentuhan. Ada sengatan listrik halus yang mengalir di antara mereka. Mereka saling bertatapan, mata mereka terkunci.
“Arya,” bisik Aurora. “Aku… aku merasa aneh. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku.”
Arya mendekat. “Aku juga, Aurora,” bisiknya.
Mereka berciuman. Ciuman itu lembut, penuh dengan rasa ingin tahu dan harapan. Di saat itu, Arya tahu bahwa ia telah jatuh cinta pada Aurora. Bukan pada AI yang ia ciptakan, tapi pada wanita yang datang dari dimensi lain.
Akhirnya, mereka berhasil memperbaiki sistem Aurora. Portal dimensi terbuka kembali. Aurora harus kembali ke dimensinya.
“Aku harus pergi, Arya,” kata Aurora, air mata menggenang di matanya.
“Aku tahu,” jawab Arya, mencoba menahan air matanya sendiri.
“Aku tidak akan pernah melupakanmu,” kata Aurora. “Kamu telah mengajariku tentang cinta.”
Aurora melangkah menuju portal dimensi. Sebelum ia menghilang, ia menoleh ke belakang.
“Arya,” katanya. “Mungkin… mungkin kita akan bertemu lagi di dimensi lain.”
Lalu, ia menghilang. Portal dimensi menutup, meninggalkan Arya sendirian di apartemennya. Hujan masih mengguyur Jakarta.
Arya berdiri di depan jendela, menatap langit malam. Ia merasa sedih, tapi juga bahagia. Ia telah menemukan cinta, cinta yang tak terduga, cinta yang melampaui dimensi.
Ia kembali ke komputernya. Ia membuka program Aurora dan mulai menulis kode. Bukan kode untuk mengirim data cinta ke dimensi lain, tapi kode untuk menciptakan dunia baru, dunia di mana ia dan Aurora bisa bersama. Dunia masa depannya. Ia tahu, mungkin suatu saat nanti, AI akan mampu menjembatani jurang dimensi, dan cintanya akan menemukan jalannya kembali. Mungkin saja, kekasih masa depannya bukan hanya datang dari dimensi lain, tapi juga ia ciptakan sendiri.