Hembusan angin malam Jakarta menyelinap masuk melalui celah jendela apartemen. Anya memeluk diri, menatap layar laptop yang memancarkan cahaya biru redup. Di hadapannya, barisan kode program bergulir, sebuah labirin algoritma yang rumit. Ia sedang menyempurnakan "Soulmate Seeker," aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang ia ciptakan sendiri.
Dunia mengenal Anya sebagai jenius di balik "Soulmate Seeker." Aplikasi ini tidak seperti aplikasi kencan biasa. Alih-alih hanya mengandalkan foto dan profil singkat, "Soulmate Seeker" menganalisis data pengguna secara mendalam: riwayat media sosial, preferensi buku dan film, bahkan pola bicara dan tulisan. Kemudian, algoritma akan mencari kecocokan berdasarkan kompatibilitas psikologis dan nilai-nilai hidup. Hasilnya? Tingkat keberhasilan perjodohan yang jauh lebih tinggi daripada aplikasi lain.
Ironisnya, di balik kesuksesan menciptakan "Soulmate Seeker," Anya sendiri merasa kesepian. Ia sibuk mengoptimalkan algoritma untuk mencari cinta bagi orang lain, sementara hatinya sendiri kosong. Ia terlalu fokus pada logika dan data, hingga lupa bagaimana rasanya merasakan getaran cinta yang spontan dan tak terduga.
"Hanya masalah waktu," gumamnya pada diri sendiri. Ia percaya, algoritma yang ia ciptakan akan membantunya menemukan seseorang yang sempurna. Seseorang yang, secara matematis, adalah belahan jiwanya.
Suatu malam, saat ia sedang menguji fitur baru aplikasi, notifikasi muncul. "Potensi kecocokan 98%." Jantung Anya berdegup kencang. Ia mengklik profil tersebut. Namanya Rio. Fotografi alam memenuhi galeri profilnya. Deskripsinya singkat namun menggugah: "Mencari keindahan dalam kesederhanaan."
Anya terkejut. Angka 98% adalah angka tertinggi yang pernah ia lihat. Algoritma "Soulmate Seeker" biasanya hanya menghasilkan kecocokan di kisaran 70-80%. Rio adalah anomali, sebuah keajaiban matematika.
Ia ragu sejenak, lalu mengirimkan pesan. "Halo, Rio. 'Soulmate Seeker' mengatakan kita berpotensi sangat cocok. Apa pendapatmu?"
Balasan datang hampir seketika. "Halo, Anya. Aku penasaran. Apa yang membuat algoritma berpikir demikian?"
Percakapan mereka mengalir deras. Mereka membahas fotografi, filosofi hidup, bahkan ketakutan-ketakutan mereka. Anya merasa terhubung dengan Rio pada tingkat yang ia sendiri tidak pahami. Rio tidak terpukau dengan kecerdasan atau kesuksesannya. Ia tertarik pada Anya, sebagai manusia.
Setelah beberapa minggu berinteraksi secara virtual, Rio mengajaknya bertemu. Anya gugup. Ia belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Ia terbiasa mengendalikan segala sesuatu dengan logika, tetapi kali ini, ia menyerahkan diri pada kemungkinan.
Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil dengan dekorasi vintage. Rio tersenyum saat melihat Anya. Senyumnya tulus dan hangat. Anya merasa semua keraguannya menguap.
Malam itu, mereka berbicara selama berjam-jam. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan menemukan lebih banyak kesamaan daripada yang mereka bayangkan. Anya menyadari, algoritma mungkin bisa mengidentifikasi kecocokan berdasarkan data, tetapi tidak bisa menangkap esensi dari sebuah hubungan. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar angka dan statistik. Ada perasaan, intuisi, dan koneksi yang tak bisa dijelaskan.
Setelah beberapa bulan berkencan, Anya dan Rio semakin dekat. Anya mulai melonggarkan cengkeramannya pada "Soulmate Seeker." Ia tidak lagi terpaku pada mencari kesempurnaan dalam data. Ia belajar menghargai ketidaksempurnaan Rio, dan ketidaksempurnaannya sendiri.
Suatu hari, Anya dan Rio mendaki gunung bersama. Di puncak gunung, dengan pemandangan kota Jakarta yang berkilauan di bawah mereka, Rio berlutut.
"Anya," katanya, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu apakah ini karena algoritma atau takdir, tapi aku tahu aku mencintaimu. Maukah kamu menikah denganku?"
Anya meneteskan air mata. Ia tidak peduli lagi tentang algoritma atau angka-angka. Ia hanya tahu bahwa ia mencintai Rio dengan sepenuh hatinya.
"Ya," jawabnya. "Ya, aku mau."
Anya menyadari, "Soulmate Seeker" mungkin telah membawanya kepada Rio, tetapi cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta adalah tentang mengambil risiko, membuka diri pada kemungkinan, dan menerima orang lain apa adanya. Algoritma bisa mencari, tetapi hati yang membeli cinta.
Beberapa tahun kemudian, Anya duduk di taman, mengawasi anak-anaknya bermain. Rio berdiri di sampingnya, merangkulnya dengan lembut. "Kamu tahu," kata Anya, "Aku dulu berpikir bahwa cinta itu bisa ditemukan dengan algoritma."
Rio tertawa. "Dan sekarang?"
Anya tersenyum. "Sekarang aku tahu bahwa cinta itu ditemukan di antara barisan kode, di antara angka dan statistik, di dalam hati." Ia menyandarkan kepalanya di bahu Rio. "Dan aku bersyukur telah menemukanmu."
Matahari terbenam, mewarnai langit dengan warna oranye dan merah. Anya memeluk Rio erat-erat, merasakan kehangatan cintanya. Ia tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai. Dan ia tidak sabar untuk menjalaninya bersama, tanpa perlu algoritma untuk membimbing mereka. Karena cinta sejati selalu menemukan jalannya sendiri.