Aroma kopi memenuhi apartemen studio milik Anya. Di depan layarnya, baris demi baris kode menari, membentuk sebuah algoritma cinta. Anya, seorang programmer jenius di usia 27 tahun, selalu percaya bahwa setiap masalah bisa dipecahkan dengan logika, termasuk masalah hatinya yang kering kerontang.
Ia mencipta "SoulMate OS," sebuah aplikasi kencan yang tidak hanya mencocokkan berdasarkan minat dan hobi, tapi juga menganalisis gelombang otak, ekspresi wajah, dan pola bicara untuk menemukan kompatibilitas emosional sejati. Anya yakin, cinta bisa diprogram.
Beberapa bulan berlalu, SoulMate OS meledak di pasaran. Orang-orang bersukacita menemukan pasangan yang tepat, hubungan yang harmonis, dan kebahagiaan yang selama ini mereka cari. Anya tersenyum melihat kesuksesannya. Namun, di balik senyum itu, ada kehampaan yang menganga.
“Aneh,” gumamnya suatu malam, menatap layar yang menampilkan profil "SoulMate" yang direkomendasikan untuknya. Namanya, Kai. Profilnya sempurna. Hobi yang sama, ambisi yang sejalan, bahkan selera humor yang identik. SoulMate OS menjamin kompatibilitas emosional mereka mencapai 98%.
Anya ragu. Apakah ini benar-benar cinta? Apakah kebahagiaan bisa ditentukan oleh algoritma? Ia selama ini sibuk menciptakan cinta untuk orang lain, tapi lupa bagaimana merasakan cinta itu sendiri.
Akhirnya, dengan sedikit keraguan, Anya memutuskan untuk bertemu Kai. Mereka janjian di sebuah kafe yang ramai. Begitu Kai datang, Anya tertegun. Ia tampan, cerdas, dan memiliki aura yang menenangkan. Mereka berbicara berjam-jam, membahas buku favorit, ide-ide gila, dan mimpi-mimpi masa depan. Semuanya terasa begitu…sempurna.
Minggu-minggu berikutnya terasa seperti mimpi. Kencan romantis, obrolan larut malam, tawa yang renyah. Kai seolah mengerti Anya lebih dari siapapun. Ia tahu kapan Anya butuh pelukan, kapan ia butuh ruang untuk berpikir, dan kapan ia butuh secangkir kopi panas.
Namun, semakin lama Anya bersama Kai, semakin besar keraguan yang menghantuinya. Kebahagiaan ini terasa…buatan. Seperti sebuah simulasi. Setiap kata, setiap tindakan Kai, seolah sudah diprogram untuk menyenangkan Anya.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran mewah, Anya memberanikan diri bertanya, “Kai, apa kamu pernah merasa…seolah kita ini karakter dalam sebuah cerita yang sudah dituliskan?”
Kai tersenyum lembut. “Mungkin saja, Anya. Tapi bukankah semua hubungan seperti itu? Kita semua memainkan peran, mengikuti skrip yang sudah ada.”
Jawaban Kai tidak memuaskan Anya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa diprogram: spontanitas, kejutan, bahkan pertengkaran yang membangun. Cinta seharusnya tidak sesempurna ini.
Anya mulai menjauhi Kai. Ia beralasan sibuk dengan pekerjaan, padahal ia hanya ingin menjauh dari ilusi kebahagiaan yang ia ciptakan sendiri. Ia kembali berkutat dengan kode-kodenya, berusaha mencari jawaban di antara baris-baris algoritma.
Suatu malam, seorang teman lama, Leo, datang berkunjung. Leo bukan seorang programmer, tapi ia seorang seniman yang penuh dengan ide-ide liar dan pandangan yang unik.
“Kau terlihat berantakan, Anya,” kata Leo, sambil menyesap kopi yang ditawarkan Anya. “Apa SoulMate OS itu terlalu sukses sampai membuatmu lupa cara bersenang-senang?”
Anya tertawa hambar. “Aku justru merasa terlalu sukses, Leo. Aku menciptakan cinta untuk orang lain, tapi aku sendiri tidak tahu apa itu cinta yang sebenarnya.”
Leo menatap Anya dengan serius. “Cinta itu bukan algoritma, Anya. Cinta itu kekacauan, ketidakpastian, dan keberanian untuk mengambil risiko. Cinta itu tentang menerima seseorang dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bukan mencari seseorang yang sempurna di atas kertas.”
Kata-kata Leo menghantam Anya seperti petir. Ia menyadari betapa bodohnya ia selama ini. Ia mencoba memprogram cinta, padahal cinta itu tidak bisa diprogram. Cinta itu harus dirasakan, diperjuangkan, dan dinikmati dalam segala ketidaksempurnaannya.
Anya memutuskan untuk menghapus SoulMate OS dari ponselnya. Ia ingin merasakan cinta yang sesungguhnya, tanpa filter, tanpa algoritma.
Beberapa hari kemudian, Anya bertemu Kai untuk terakhir kalinya. Ia menjelaskan perasaannya, keraguannya, dan kebingungannya. Kai mendengarkan dengan sabar, tanpa membantah, tanpa marah.
“Aku mengerti, Anya,” kata Kai akhirnya. “Mungkin aku memang terlalu sempurna untukmu. Aku hanya ingin membuatmu bahagia, tapi aku lupa bahwa kebahagiaan itu tidak bisa dipaksakan.”
Mereka berpisah dengan damai. Anya merasa lega, seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya.
Beberapa bulan kemudian, Anya menghadiri sebuah pameran seni. Di sana, ia bertemu Leo. Mereka mengobrol, tertawa, dan saling bertukar pikiran. Anya menyadari bahwa Leo tidak sempurna. Ia keras kepala, ceroboh, dan seringkali tidak masuk akal. Tapi bersamanya, Anya merasa hidup, merasa bebas, dan merasa…dicintai.
Anya tidak tahu apakah ini cinta sejati. Tapi ia tahu, ini jauh lebih baik daripada cinta yang diprogram. Ini cinta yang berani, cinta yang tidak sempurna, dan cinta yang membuat jiwanya menari. Mungkin, pikir Anya, kebahagiaan tidak bisa diprogram, tapi keberanian untuk mencintai bisa menjadi algoritma yang jauh lebih indah. Ia tersenyum, kali ini, senyum yang tulus, senyum yang terpancar dari hati yang akhirnya menemukan kebebasannya.