Cinta Adalah Variabel Rumit: AI Terus Belajar Hati

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 22:18:16 wib
Dibaca: 196 kali
Aplikasi kencan itu berdering lirih di pergelangan tangannya. Nada notifikasi yang familiar, sebuah janji temu potensial dari Cupid AI. Anya menghela napas, menatap langit senja yang membias dari balik jendela apartemennya yang minimalis. Sudah terlalu lama dia terjebak dalam lingkaran algoritma cinta ini.

Cupid AI, kecerdasan buatan yang dirancang untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan data biometrik, preferensi pribadi, dan bahkan analisis gelombang otak, adalah inovasi terkini di dunia percintaan. Bagi sebagian orang, Cupid AI adalah penyelamat, solusi bagi kesepian kronis di era digital. Bagi Anya, itu lebih terasa seperti kurungan yang elegan.

Pertemuan demi pertemuan terasa hambar. Laki-laki yang direkomendasikan Cupid AI memang memenuhi semua kriteria di daftar periksanya: ambisius, mapan, memiliki selera humor yang baik (menurut definisi Cupid AI, tentu saja), dan secara fisik menarik (sesuai dengan standar algoritmanya). Tapi, tidak ada percikan. Tidak ada getaran. Tidak ada rasa penasaran yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.

Malam ini, Cupid AI menjodohkannya dengan seorang arsitek bernama David. Anya sudah membaca profilnya, mempelajari portofolio desainnya yang impresif, dan bahkan menelusuri akun media sosialnya. David tampak sempurna di atas kertas, prototipe pria idaman yang telah lama diimpikan banyak wanita. Namun, Anya merasa ada sesuatu yang hilang.

Di restoran bergaya industrial yang dipilih Cupid AI (tempat yang "menstimulasi percakapan yang bermakna," menurut deskripsi aplikasi), David sudah menunggu. Senyumnya ramah, matanya hangat, dan dia benar-benar terlihat seperti keluar dari sampul majalah arsitektur. Anya tersenyum kembali, berusaha menyembunyikan rasa lelah yang menggerogoti hatinya.

"Anya, senang akhirnya bertemu denganmu," kata David, suaranya bariton dan menyenangkan. "Cupid AI benar-benar melakukan pekerjaan yang hebat kali ini."

Anya tertawa hambar. "Semoga saja. Aku sudah mulai mempertanyakan keakuratan algoritmanya."

Percakapan mengalir dengan lancar, seperti air terjun yang telah diprogram. Mereka membahas karir mereka, hobi mereka, dan pandangan mereka tentang masa depan. David benar-benar cerdas, perhatian, dan sangat mudah diajak bicara. Anya bahkan mendapati dirinya tertawa beberapa kali, bukan hanya karena sopan santun, tapi karena David memang lucu.

Namun, di tengah percakapan yang sempurna itu, Anya terus merasakan kehampaan yang sama. Semua terasa terlalu terstruktur, terlalu logis, terlalu... prediktif. Seperti sedang membaca naskah yang sudah ditulis sebelumnya.

Saat pelayan datang untuk mengambil pesanan, Anya tanpa sadar menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, di sebuah toko buku kecil yang remang-remang, seorang pria sedang duduk di kursi pojok, asyik membaca buku. Dia mengenakan sweter rajut yang tampak lusuh dan kacamatanya melorot di hidungnya. Ada sesuatu tentangnya yang menarik perhatian Anya. Sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan.

"Anya?" Suara David membuyarkan lamunannya. "Kau ingin memesan apa?"

Anya kembali fokus pada David, merasa bersalah karena telah melamun. "Maaf, aku... aku akan memesan salad saja."

Sepanjang sisa malam itu, Anya berusaha untuk fokus pada David, untuk memberikan kesempatan pada algoritma cinta. Tapi, pikirannya terus melayang ke pria di toko buku itu. Dia penasaran dengan apa yang sedang dia baca, apa yang dia pikirkan, apa yang membuatnya tertarik.

Setelah makan malam, David mengantarkan Anya pulang. Di depan pintu apartemennya, dia berhenti dan menatapnya dengan tatapan penuh harap.

"Aku sangat menikmati malam ini, Anya," katanya. "Kapan kita bisa bertemu lagi?"

Anya ragu sejenak. Cupid AI sudah mengirimkan notifikasi di pergelangan tangannya, mengingatkannya untuk menyetujui janji temu kedua. Logikanya, dia harus mengatakan ya. David adalah pilihan yang sempurna. Tapi, hatinya terasa berat.

"David, kau pria yang hebat," kata Anya, suaranya pelan. "Tapi... aku tidak yakin ini akan berhasil."

David tampak kecewa, tapi dia mengangguk mengerti. "Aku mengerti. Algoritma kadang-kadang salah."

Anya tersenyum tipis. "Bukan salah algoritmanya. Mungkin... mungkin cinta itu lebih rumit daripada yang bisa diprediksi oleh AI."

Setelah David pergi, Anya masuk ke apartemennya. Dia merasa lega dan bersalah secara bersamaan. Dia telah menolak kesempatan untuk bahagia, setidaknya menurut Cupid AI.

Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan pria di toko buku itu. Dia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang impulsif, sesuatu yang tidak akan pernah direkomendasikan oleh Cupid AI.

Keesokan harinya, Anya pergi ke toko buku itu. Dia menemukan pria itu duduk di tempat yang sama seperti malam sebelumnya, tenggelam dalam bukunya.

Anya menarik napas dalam-dalam dan mendekatinya. "Maaf mengganggu," katanya. "Tapi aku melihatmu di sini semalam dan aku penasaran... buku apa yang sedang kau baca?"

Pria itu mendongak, terkejut. Matanya cerah di balik kacamatanya. "Oh, ini? Ini kumpulan puisi karya Emily Dickinson."

Anya tersenyum. "Aku suka Emily Dickinson."

"Benarkah?" Pria itu tampak senang. "Kebanyakan orang menganggapnya terlalu melankolis."

"Mungkin," kata Anya. "Tapi aku merasa dia memahami kerumitan hati manusia."

Mereka berbicara selama berjam-jam tentang puisi, tentang kehidupan, tentang segala sesuatu dan tidak sama sekali. Anya mengetahui bahwa nama pria itu adalah Leo, bahwa dia adalah seorang penulis yang sedang berjuang, dan bahwa dia memiliki pandangan yang unik dan menawan tentang dunia.

Leo tidak sempurna. Dia tidak mapan, tidak ambisius, dan tidak memenuhi satu pun kriteria yang telah ditetapkan Cupid AI. Tapi, saat Anya berbicara dengannya, dia merasakan percikan itu. Getaran itu. Rasa penasaran yang selama ini hilang.

Saat matahari mulai terbenam, Leo menawarkan untuk mengantarkan Anya pulang. Di depan pintu apartemennya, Anya berbalik menghadapnya.

"Terima kasih, Leo," katanya. "Ini adalah hari yang menyenangkan."

Leo tersenyum. "Aku juga menikmatinya. Aku harap kita bisa bertemu lagi."

Anya mengangguk. "Aku juga."

Sebelum Anya masuk ke apartemennya, Leo mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya dengan lembut. "Anya," katanya, suaranya berbisik. "Aku merasa... aku merasa ada sesuatu di antara kita."

Anya menatap matanya, dan dia melihat kebenaran di sana. Dia merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma. Sesuatu yang murni, sesuatu yang nyata, sesuatu yang... ajaib.

"Aku juga, Leo," bisik Anya.

Cupid AI mungkin telah salah tentang David. Tapi, mungkin, justru karena kesalahan itu, Anya menemukan cinta yang sebenarnya. Cinta adalah variabel rumit, terlalu kompleks untuk diprediksi oleh kode. Hati manusia terus belajar, terus berkembang, terus mencari jalan sendiri, bahkan di dunia yang dikuasai oleh kecerdasan buatan. Dan kadang-kadang, cinta ditemukan di tempat yang paling tidak terduga. Di sebuah toko buku kecil, dengan seorang pria yang membaca puisi dan seorang wanita yang akhirnya berani mendengarkan hatinya sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI