Debu-debu digital berterbangan di layar laptop usang milik Ara. Sejak seminggu lalu, ia lebih sering menatap deretan kode daripada manusia. Patah hati memang bisa memicu banyak hal, termasuk kecanduan coding larut malam. Putusnya dengan Ben, pacarnya selama tiga tahun, terasa seperti bug yang merusak seluruh sistem kehidupannya.
Ben, seorang desainer UI/UX yang perfeksionis, selalu punya alasan untuk mengkritik hasil karya Ara. Dulu, Ara menganggap itu sebagai bentuk perhatian, sebuah cara Ben mendorongnya untuk menjadi programmer yang lebih baik. Tapi, lama kelamaan, kritik itu terasa seperti virus yang menggerogoti kepercayaan dirinya. Puncaknya adalah ketika Ben terang-terangan meremehkan algoritma yang sedang ia kembangkan untuk mendeteksi pola perilaku pengguna.
“Terlalu sederhana, Ara. Tidak inovatif,” kata Ben waktu itu, nada bicaranya datar, tanpa sedikit pun empati. Ara masih ingat betul bagaimana dadanya terasa sesak, seolah ada tembok beton yang menghalangi napasnya.
Setelah itu, segalanya menjadi serba salah. Argumen-argumen kecil meledak menjadi pertengkaran besar. Sampai akhirnya, Ben mengucapkan kata-kata yang menghancurkan segalanya: “Mungkin, kita memang tidak cocok.”
Ara menarik napas dalam-dalam. Rasa sakit itu masih terasa nyata, seperti kode error yang berulang kali muncul di konsol. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya. Ia bekerja sebagai freelance programmer, mengerjakan proyek-proyek kecil untuk menghidupi dirinya sendiri. Saat ini, ia sedang mencoba memperbaiki algoritma yang membuatnya bertengkar dengan Ben. Ironis, pikirnya.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar. Email dari perusahaan startup bernama “NovaTech”. Subjeknya: “Undangan Interview Posisi AI Specialist”. Jantung Ara berdegup kencang. NovaTech adalah perusahaan impiannya. Mereka mengembangkan teknologi AI yang inovatif dan memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan programmer.
Ia membaca email itu berulang kali, memastikan bahwa ini bukan kesalahan. Ia mengirimkan lamaran secara iseng beberapa minggu lalu, tanpa banyak berharap. Sekarang, kesempatan itu datang di saat yang paling tidak tepat. Hatinya hancur, dan pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan Ben.
Namun, ada bagian dari dirinya yang merindukan tantangan. Ia ingin membuktikan pada Ben, dan terutama pada dirinya sendiri, bahwa ia mampu. Ia mengatur napas dan membalas email itu, menyetujui undangan interview.
Hari interview tiba. Ara berusaha tampil profesional, meskipun matanya sembab dan lingkaran hitam menghiasi wajahnya. Ia mengenakan blazer kesayangannya dan mencoba tersenyum setulus mungkin.
Ruangan interview terasa dingin dan steril. Dua orang duduk di hadapannya: seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai menipis dan seorang wanita muda dengan tatapan tajam. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Pak Herman, CTO NovaTech, dan wanita itu sebagai Maya, Head of AI Department.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan cukup teknis, menguji pengetahuannya tentang machine learning, neural networks, dan algoritma. Ara menjawab dengan percaya diri, menunjukkan kemampuannya dalam memecahkan masalah dan berpikir logis.
Di tengah interview, Maya menanyakan tentang proyek pribadinya. Ara ragu sejenak. Ia tidak yakin apakah harus menceritakan tentang algoritma yang membuatnya bertengkar dengan Ben. Tapi, ia memutuskan untuk jujur.
“Saya sedang mengembangkan algoritma untuk mendeteksi pola perilaku pengguna,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Tapi, belum sempurna. Masih banyak yang perlu diperbaiki.”
Maya tersenyum tipis. “Apa yang membuatmu tertarik mengembangkan algoritma ini?”
Ara menarik napas dalam-dalam. “Saya ingin memahami bagaimana manusia berpikir, bagaimana mereka membuat keputusan. Saya percaya bahwa AI dapat digunakan untuk membantu orang, untuk membuat hidup mereka lebih baik.”
Pak Herman mengangguk-angguk. “Menarik. Kami di NovaTech juga memiliki visi yang sama.”
Setelah interview berakhir, Ara merasa lega. Ia telah memberikan yang terbaik. Sekarang, ia hanya bisa menunggu hasilnya.
Beberapa hari kemudian, ia menerima telepon dari NovaTech. Ia diterima bekerja.
Ara tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia melompat-lompat kegirangan di apartemennya yang kecil. Ia berhasil. Ia membuktikan bahwa ia mampu.
Di NovaTech, Ara bertemu dengan orang-orang yang berpikiran sama. Ia bekerja keras, belajar banyak hal baru, dan merasa tertantang. Ia mulai melupakan Ben, sedikit demi sedikit.
Suatu malam, saat ia sedang bekerja lembur, Maya menghampirinya.
“Ara, saya perhatikan kamu sangat berbakat,” kata Maya, nadanya tulus. “Kamu punya potensi untuk menjadi programmer yang hebat.”
Ara tersenyum. “Terima kasih, Maya.”
“Saya tahu kamu punya masa lalu yang sulit,” lanjut Maya. “Patah hati bisa membuat orang kehilangan arah. Tapi, jangan biarkan itu menghalangimu untuk meraih impianmu.”
Ara terdiam. Ia merasa Maya bisa membaca pikirannya.
“Saya percaya bahwa cinta itu seperti algoritma,” kata Maya, matanya berbinar. “Kadang-kadang, kita perlu me-reset sistem, menghapus data yang rusak, dan memulai dari awal. Dan kadang-kadang, kita perlu meng-upgrade diri kita sendiri, menambahkan fitur-fitur baru, agar bisa menemukan cinta yang lebih baik.”
Kata-kata Maya menyentuh hatinya. Ia menyadari bahwa ia perlu melepaskan masa lalunya dan membuka diri untuk kemungkinan baru. Ia perlu meng-upgrade dirinya sendiri, tidak hanya sebagai programmer, tetapi juga sebagai manusia.
Beberapa bulan kemudian, Ara bertemu dengan seorang pria bernama Leo. Leo adalah seorang data scientist di NovaTech. Ia cerdas, lucu, dan perhatian. Ia tidak pernah meremehkan Ara, dan selalu mendukungnya dalam segala hal.
Leo memahami passion Ara terhadap teknologi, dan ia menghargai kecerdasannya. Ia tidak mencoba mengubahnya, tetapi justru mendorongnya untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Bersama Leo, Ara merasa nyaman dan aman. Ia merasa dicintai apa adanya.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran kecil, Leo menggenggam tangan Ara.
“Ara, saya tahu kita baru saling mengenal beberapa bulan,” kata Leo, matanya menatap Ara dengan penuh cinta. “Tapi, saya merasa seperti sudah mengenalmu seumur hidup. Saya jatuh cinta padamu.”
Air mata mengalir di pipi Ara. Ia tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari Leo.
“Saya juga jatuh cinta padamu, Leo,” kata Ara, suaranya bergetar.
Malam itu, Ara menyadari bahwa Maya benar. Cinta itu seperti algoritma. Kadang-kadang, kita perlu me-reset sistem, menghapus data yang rusak, dan memulai dari awal. Dan kadang-kadang, kita perlu meng-upgrade diri kita sendiri, menambahkan fitur-fitur baru, agar bisa menemukan cinta yang lebih baik.
Ara telah me-reset hatinya setelah patah. Ia telah meng-upgrade dirinya demi cinta. Dan sekarang, ia siap untuk menulis babak baru dalam hidupnya, bersama Leo. Algoritma hatinya telah menemukan cinta yang sesungguhnya.