Hujan gerimis mengetuk-ngetuk jendela kafe, menciptakan melodi sendu yang kontras dengan kehangatan kopi latte di tanganku. Di seberangku, duduk seorang wanita dengan rambut sebahu berwarna cokelat dan mata yang menatap layar laptopnya dengan intensitas tinggi. Namanya Anya, seorang AI ethicist, dan alasan kenapa aku, seorang software engineer bernama Reza, rela menembus hujan demi menemuinya adalah sebuah proyek gila bernama “Algoritma Kebahagiaan Bersama”.
“Jadi, menurutmu ini etis?” tanyaku, memecah keheningan yang tercipta karena ketukan jari Anya di keyboard.
Anya mengangkat pandangannya, sedikit mengerutkan kening. “Etis? Reza, kita sedang bicara tentang AI yang dirancang untuk memaksimalkan kebahagiaan dua individu dalam sebuah hubungan. Ini lebih dari sekadar etis, ini revolusioner.”
“Revolusioner atau menyeramkan? Bayangkan saja, Anya, kita menyerahkan takdir cinta kita pada sebuah algoritma. Di mana letak spontanitasnya, kejutan-kejutannya?”
“Justru itu, Reza! Algoritma ini tidak mengambil keputusan untukmu. Ia hanya memberikan rekomendasi, opsi, berdasarkan data yang kamu berikan. Ia belajar dari preferensi, nilai-nilai, bahkan ketakutanmu. Tujuannya bukan untuk menciptakan hubungan yang sempurna, tapi hubungan yang berkelanjutan, yang mampu melewati badai.”
Proyek ini berawal dari kegelisahanku. Sebagai seorang engineer, aku terbiasa memecahkan masalah dengan logika dan algoritma. Tapi cinta? Cinta terasa kacau, tidak terprediksi, dan seringkali menyakitkan. Aku melihat teman-temanku silih berganti patah hati, terjebak dalam hubungan yang tidak sehat, atau terlalu takut untuk membuka diri. Aku berpikir, mungkinkah teknologi bisa membantu kita menavigasi labirin rumit bernama asmara?
Anya, dengan keahliannya dalam etika AI, adalah orang yang tepat untuk diajak berkolaborasi. Ia melihat potensi besar dalam proyek ini, namun juga sangat berhati-hati terhadap implikasi moralnya. Kami menghabiskan berbulan-bulan merancang arsitektur algoritma, memastikan bahwa privasi pengguna dilindungi, dan bahwa rekomendasi yang diberikan tidak bias atau manipulatif.
“Contohnya begini,” Anya melanjutkan, membuka sebuah jendela di laptopnya yang menampilkan visualisasi data. “Katakanlah, kamu dan pasanganmu sama-sama menyukai musik jazz, tapi kamu lebih suka konser di ruangan tertutup, sementara dia lebih suka festival di ruang terbuka. Algoritma ini bisa merekomendasikan kalian untuk menghadiri keduanya secara bergantian, atau mencari alternatif lain yang mengakomodasi preferensi kalian berdua.”
Kedengarannya masuk akal, tapi tetap saja ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. “Tapi bagaimana dengan hal-hal yang tidak bisa dikuantifikasi? Intuisi, chemistry, hal-hal kecil yang membuat hati berdebar?”
Anya tersenyum tipis. “Itulah yang menjadi tantangan kita, Reza. Kita harus menemukan cara untuk memasukkan elemen-elemen itu ke dalam model. Bukan berarti kita mencoba mengendalikan cinta, tapi membantunya berkembang. Anggap saja seperti pupuk untuk tanaman. Tanaman tetap tumbuh secara alami, tapi dengan nutrisi yang tepat, ia bisa tumbuh lebih kuat dan indah.”
Kami sepakat untuk menguji Algoritma Kebahagiaan Bersama ini pada diri kami sendiri. Ini gila, aku tahu. Mencoba membangun hubungan berdasarkan algoritma dengan orang yang membantu merancangnya. Tapi entah kenapa, aku merasa tertantang. Anya cerdas, bersemangat, dan memiliki visi yang sama denganku. Mungkin, hanya mungkin, ini bisa berhasil.
Prosesnya aneh sekaligus menarik. Kami mengisi kuesioner panjang tentang segala hal, mulai dari makanan favorit, film yang paling menyentuh hati, hingga mimpi-mimpi terpendam. Algoritma kemudian menganalisis data tersebut dan memberikan rekomendasi.
Awalnya, kami hanya mengikuti rekomendasi kecil. Mencoba restoran yang direkomendasikan algoritma, menonton film yang katanya sesuai dengan selera kami berdua, bahkan mendengarkan playlist musik yang diciptakan khusus untuk kami. Perlahan, kami mulai merasakan dampaknya. Kami menemukan kesamaan yang tidak kami sadari sebelumnya, dan belajar menghargai perbedaan satu sama lain.
Kemudian, algoritma mulai memberikan rekomendasi yang lebih berani. “Ajak Anya mendaki gunung saat matahari terbit,” begitu bunyi salah satu rekomendasi. Awalnya aku ragu. Aku bukan tipe pendaki gunung, dan Anya tampaknya lebih nyaman di dalam ruangan ber-AC. Tapi kami memutuskan untuk mencobanya.
Malam itu, kami begadang mempersiapkan perlengkapan. Saat fajar menyingsing, kami sudah berada di puncak gunung, menyaksikan matahari terbit yang megah. Pemandangan itu luar biasa, tapi yang lebih luar biasa adalah kebersamaan kami. Kami tertawa, bercerita, dan saling mendukung saat kaki kami mulai terasa lelah. Di puncak gunung itu, aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan. Aku merasakan koneksi yang dalam, koneksi yang dibangun bukan hanya oleh algoritma, tapi juga oleh keberanian kami untuk keluar dari zona nyaman.
Namun, tantangan terbesar datang saat algoritma merekomendasikan sesuatu yang sangat pribadi. Sesuatu yang membuatku merasa rentan dan takut. “Bicarakan tentang ketakutanmu yang paling dalam dengan Anya,” begitu bunyinya.
Aku enggan. Aku tidak terbiasa membuka diri, terutama tentang hal-hal yang membuatku merasa lemah. Tapi Anya menatapku dengan tatapan penuh pengertian, seolah ia tahu apa yang sedang kurasakan.
Malam itu, kami duduk berdua di balkon apartemenku, menikmati angin malam dan suara kota yang bergemuruh. Aku menarik napas dalam-dalam, dan mulai bercerita. Aku bercerita tentang ketakutanku akan kegagalan, tentang keraguanku akan diri sendiri, tentang mimpi-mimpi yang belum berani aku kejar.
Anya mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. Ketika aku selesai bercerita, ia menggenggam tanganku erat. “Reza,” katanya lembut, “semua orang punya ketakutan. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya. Kamu tidak perlu takut gagal. Yang penting adalah kamu berani mencoba.”
Saat itu, aku menyadari sesuatu yang penting. Algoritma memang bisa membantu kita menemukan jalan, tapi yang terpenting adalah keberanian kita untuk melangkah. Algoritma bisa memberikan rekomendasi, tapi yang terpenting adalah kemauan kita untuk membuka diri dan membangun koneksi yang tulus dengan orang lain.
Hujan sudah reda saat aku dan Anya keluar dari kafe. Langit bersih dan bintang-bintang bertaburan di atas kami. Aku menatap Anya, dan ia tersenyum padaku.
“Jadi,” tanyaku, “apa kata algoritma tentang masa depan kita?”
Anya tertawa kecil. “Algoritma bilang, masa depan kita cerah. Tapi, ia juga mengingatkan kita bahwa kebahagiaan itu bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan yang harus dinikmati bersama.”
Aku menggenggam tangannya. “Kalau begitu, mari kita nikmati perjalanan ini bersama.”
Mungkin, algoritma memang bukan jawaban untuk semua masalah dalam cinta. Tapi ia bisa menjadi alat yang berguna untuk membantu kita memahami diri sendiri, dan membangun hubungan yang lebih bermakna. Dan mungkin, hanya mungkin, Algoritma Kebahagiaan Bersama ini bisa menjadi awal dari masa depan yang lebih indah bagi kita semua. Masa depan yang dibangun bukan hanya oleh teknologi, tapi juga oleh cinta, keberanian, dan kebersamaan.