Deretan kode berwarna-warni itu menari-nari di layar laptop Arya. Jari-jarinya lincah mengetik, menyempurnakan algoritma ciptaannya: "AmorMatch," sebuah aplikasi kencan yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data psikologis, preferensi, dan ekspresi nonverbal. Arya percaya, cinta bisa diprediksi. Asalkan data yang dimasukkan akurat, AmorMatch akan menemukan belahan jiwa yang paling kompatibel. Ironisnya, Arya sendiri masih berstatus "single."
"Lembur lagi, Arya?" sapa Rina, teman sekantornya, sambil menyodorkan secangkir kopi hangat. Rina, dengan rambut ikal sebahunya dan senyum yang selalu cerah, adalah antitesis dari dunia digital Arya. Ia percaya pada takdir, intuisi, dan pertemuan kebetulan.
"Hampir selesai. Tinggal beberapa bug yang perlu diperbaiki," jawab Arya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Rina menghela napas. "Kau tahu, Arya, kadang aku merasa kasihan pada dirimu. Terjebak dalam dunia angka, lupa bagaimana rasanya merasakan cinta yang sebenarnya."
Arya akhirnya mendongak. "Cinta yang sebenarnya? Maksudmu, cinta yang dipenuhi drama, ketidakpastian, dan sakit hati? Aku lebih memilih cinta yang efisien, Rina. Cinta yang didasarkan pada kesamaan dan saling pengertian."
Rina tertawa kecil. "Efisien? Cinta bukan program, Arya. Cinta itu seni, sebuah proses yang penuh kejutan. Kau tidak bisa memprogramnya."
Percakapan mereka terhenti saat notifikasi berbunyi dari laptop Arya. Debug terakhir berhasil. AmorMatch resmi diluncurkan.
Arya, dengan sedikit ragu, memutuskan untuk mencoba aplikasinya sendiri. Ia mengisi kuesioner dengan jujur, mengunggah foto terbaiknya, dan menekan tombol "cari." Algoritma bekerja, memilah jutaan data pengguna, mencari kecocokan sempurna untuk Arya.
Beberapa saat kemudian, layar menampilkan profil seorang wanita bernama Maya. Seorang arsitek, penyuka kopi hitam, dan memiliki selera humor yang sama dengan Arya. Skor kecocokan: 98%. Sempurna.
Arya memberanikan diri mengirim pesan kepada Maya. Tak lama kemudian, mereka mulai bertukar pesan, berbagi cerita, dan menemukan banyak kesamaan. Maya cerdas, menarik, dan memiliki pandangan yang unik tentang dunia. Arya merasa terpikat.
Setelah seminggu berkirim pesan, Arya mengajak Maya bertemu. Mereka sepakat bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman. Saat Maya datang, Arya terpesona. Ia lebih cantik dari fotonya. Senyumnya menawan, matanya berbinar cerdas.
Kencan pertama mereka berjalan lancar. Mereka berbicara tentang arsitektur, teknologi, dan impian mereka. Arya merasa seolah ia telah mengenal Maya seumur hidup. AmorMatch benar-benar berfungsi.
Namun, seiring berjalannya waktu, Arya mulai merasakan ada sesuatu yang hilang. Meskipun Maya memenuhi semua kriterianya, ada kekosongan di hatinya. Ia merindukan spontanitas, kejutan, dan sedikit drama dalam hubungannya. Semua terasa terlalu teratur, terlalu terprediksi.
Suatu malam, Arya dan Maya makan malam di sebuah restoran mewah. Suasana romantis, makanan lezat, dan percakapan mengalir lancar. Tapi, saat Maya menanyakan tentang perasaannya, Arya terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
"Arya, ada apa? Kau terlihat tidak bahagia," tanya Maya dengan nada khawatir.
Arya menghela napas. "Maya, aku harus jujur. Aku menyukaimu, sangat. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kurang dalam hubungan kita. Semua terasa terlalu...terprogram."
Maya terdiam. Ia menatap Arya dengan mata berkaca-kaca. "Apa maksudmu?"
Arya menceritakan tentang AmorMatch, tentang algoritma yang mempertemukan mereka, tentang usahanya untuk memprediksi cinta.
Maya berdiri dari kursinya. "Jadi, selama ini kau melihatku sebagai hasil dari sebuah program? Sebagai data yang cocok dengan kriteriamu? Kau tidak mencintaiku karena aku adalah aku?"
"Tidak, bukan begitu maksudku," jawab Arya panik. "Aku mencintaimu, Maya. Hanya saja, aku merasa bodoh karena mencoba memprogram cinta."
Maya menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Arya. Aku butuh waktu untuk memikirkan ini." Maya berbalik dan pergi meninggalkan Arya yang terpaku di kursinya.
Malam itu, Arya tidak bisa tidur. Ia memikirkan Maya, tentang kesalahannya, tentang cinta yang ternyata tidak bisa diprediksi. Ia sadar, Rina benar. Cinta itu seni, bukan program.
Keesokan harinya, Arya menghapus AmorMatch dari internet. Ia memutuskan untuk belajar mencintai tanpa bantuan algoritma. Ia ingin merasakan cinta yang spontan, yang penuh kejutan, bahkan yang sedikit menyakitkan.
Arya mendatangi Rina. Ia ingin meminta maaf karena telah meremehkan pandangannya tentang cinta.
"Rina, aku salah. Kau benar. Cinta tidak bisa diprogram," kata Arya dengan nada menyesal.
Rina tersenyum. "Aku tahu, Arya. Tapi, tidak apa-apa. Yang penting kau sudah belajar."
"Apakah aku masih punya kesempatan dengan Maya?" tanya Arya ragu.
Rina mengangkat bahunya. "Itu tergantung padamu, Arya. Kau harus berusaha membuktikan bahwa kau mencintainya, bukan karena algoritma, tapi karena hatimu."
Arya mengangguk. Ia memutuskan untuk menemui Maya, untuk meminta maaf, dan untuk menunjukkan bahwa ia mencintainya dengan sepenuh hati.
Ia menemukan Maya di studionya, sedang mengerjakan sebuah proyek baru. Arya mendekat dan menyapanya dengan lembut.
"Maya, aku minta maaf. Aku telah menyakitimu dengan kebodohanku. Aku tahu, aku tidak bisa menghapus apa yang telah terjadi, tapi aku berjanji akan berusaha menjadi orang yang lebih baik."
Maya menatap Arya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku tidak tahu, Arya. Aku masih sakit hati. Tapi, aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku menyukaimu."
Arya tersenyum. "Aku tahu. Dan aku akan berusaha keras untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali. Aku akan menunjukkan padamu bahwa cintaku padamu adalah nyata, bukan hasil dari sebuah program."
Arya menghabiskan waktu berhari-hari untuk menunjukkan cintanya pada Maya. Ia memasak untuknya, menemaninya bekerja, mendengarkannya bercerita, dan melakukan hal-hal kecil yang menunjukkan bahwa ia peduli.
Akhirnya, Maya luluh. Ia melihat ketulusan di mata Arya. Ia percaya bahwa Arya benar-benar mencintainya.
"Arya, aku memaafkanmu," kata Maya sambil tersenyum. "Tapi, ingat. Jangan pernah mencoba memprogram cinta lagi."
Arya memeluk Maya erat. Ia merasa bahagia, lega, dan penuh cinta. Ia akhirnya mengerti, cinta itu memang tidak bisa diprediksi. Tapi, itulah yang membuatnya indah dan berharga. Ia telah menemukan cintanya, bukan karena algoritma, tapi karena keberaniannya untuk membuka hatinya dan merasakan cinta yang sebenarnya. Ia telah berhasil mendebug cintanya, dan menemukan bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang tidak sempurna, cinta yang penuh dengan kejutan, dan cinta yang datang dari hati.