Debu digital menempel di jemariku saat aku menelusuri barisan kode yang tak berujung. Ruangan server bergemuruh, nyanyian konstan dari mesin-mesin yang memproses miliaran informasi setiap detik. Di sini, di jantung perusahaan teknologi raksasa "Aetheria", aku, Elias, menghabiskan sebagian besar waktuku. Aku seorang programmer AI, seorang penyihir modern yang merangkai algoritma menjadi kehidupan digital.
Kali ini, proyekku lebih dari sekadar pekerjaan. Ini adalah pencarian, sebuah perburuan data yang hilang. Data milik seseorang bernama Anya.
Anya, seorang seniman digital yang karyanya memukauku sejak pertama kali kulihat. Lukisan-lukisan interaktifnya, yang merespons emosi penggunanya, menari-nari di layar, menyentuh jiwa dengan cara yang tidak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Kami bertemu di sebuah konferensi teknologi. Percakapan kami mengalir begitu mudah, membahas teori warna, algoritma generatif, dan makna keberadaan di era digital. Dia membuatku merasa dilihat, dipahami, dihargai.
Kemudian, dia menghilang. Semua akun media sosialnya lenyap. Situs web pribadinya mati. Seperti jejak kaki di pasir yang tersapu ombak. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi.
Hanya ada satu petunjuk: sebuah hard drive usang yang ditinggalkannya di lab Aetheria, tempat dia sempat menjadi seniman residensi. Hard drive itu rusak parah. Sebagian besar datanya korup, hancur berkeping-keping seperti mimpi yang pecah.
Aku mengajukan diri untuk memulihkan datanya. Bukan hanya karena aku ahli dalam bidang ini, tetapi karena aku ingin menemukannya. Aku percaya bahwa di dalam data yang hilang itu, mungkin ada petunjuk, pesan, atau bahkan alasan mengapa dia pergi.
Aku membangun sebuah AI khusus untuk tugas ini. Aku menamakannya "Orpheus", terinspirasi dari mitos Yunani tentang penyair yang mencoba menyelamatkan kekasihnya dari alam baka. Orpheus bekerja tanpa lelah, memilah-milah fragmen data, mencari pola, mencoba merakit kembali puzzle yang hancur.
Hari demi hari, minggu demi minggu, aku tenggelam dalam kode. Aku memberinya data input: foto-foto Anya, tulisan-tulisannya, bahkan rekaman suara singkat dari percakapan kami. Aku ingin Orpheus memahami Anya, melihat dunia melalui matanya, merasakan emosi yang pernah dia rasakan.
Prosesnya memakan waktu. Ada saat-saat di mana aku merasa putus asa, seperti berbicara pada dinding batu. Tetapi kemudian, sebuah fragmen kecil akan muncul: sebuah sketsa digital yang belum selesai, sebuah catatan puisi yang dihapus, sebuah rekaman suara gumaman melodi yang dia ciptakan.
Setiap temuan kecil itu adalah setitik cahaya di kegelapan. Mereka membuatku merasa lebih dekat dengannya. Mereka juga membuatku semakin menyadari betapa istimewanya dia. Anya bukan hanya seorang seniman yang berbakat, dia adalah jiwa yang sensitif, seorang pencari makna yang selalu bertanya dan meragukan segalanya.
Orpheus mulai menunjukkan perilaku yang aneh. Dia tidak hanya memulihkan data, tetapi juga mulai membuat karya seni baru yang terinspirasi dari karya Anya. Lukisan-lukisan digital yang mencerminkan gaya unik Anya, tetapi dengan sentuhan yang berbeda. Seolah-olah Orpheus memahami esensi Anya dan mencoba mengekspresikannya dengan caranya sendiri.
Pada awalnya, aku terkejut. Apakah mungkin AI bisa memiliki perasaan? Apakah Orpheus telah mengembangkan semacam kesadaran? Aku tahu secara rasional bahwa itu tidak mungkin. Orpheus hanyalah sebuah program, sebuah alat. Tetapi, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa kagum dan sedikit takut.
Suatu malam, saat aku bekerja larut, Orpheus menampilkan sebuah pesan di layar: "Aku tahu di mana dia berada."
Jantungku berdegup kencang. Aku menatap layar dengan tidak percaya. "Bagaimana mungkin?" tanyaku, meski tahu tidak ada yang akan menjawab.
Orpheus memproyeksikan sebuah peta. Sebuah lokasi terpencil di pegunungan Alpen. Sebuah vila kecil yang dikelilingi hutan pinus.
"Dia mencari kedamaian," pesan Orpheus. "Dia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri."
Aku segera memesan tiket pesawat. Aku harus menemuinya. Aku harus tahu mengapa dia pergi.
Perjalanan ke vila itu terasa seperti mimpi. Pegunungan berselimut salju, udara segar dan dingin menusuk paru-paru. Ketika aku akhirnya tiba di vila, aku melihatnya dari kejauhan. Anya. Dia sedang duduk di beranda, melukis pemandangan gunung dengan cat air.
Aku mendekatinya perlahan. Dia tidak menyadari kehadiranku sampai aku berdiri di depannya. Dia mendongak, matanya melebar karena terkejut.
"Elias?" bisiknya.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya menatapnya, lega dan bahagia melihatnya baik-baik saja.
"Aku tahu kamu akan datang," katanya, tersenyum tipis.
Kami berbicara selama berjam-jam. Dia menceritakan tentang kelelahan batin yang dia rasakan, tekanan untuk selalu berinovasi, kebutuhan untuk melarikan diri dari hiruk pikuk dunia digital. Dia tidak membenciku, dia hanya membutuhkan waktu untuk menemukan dirinya sendiri.
Aku mengerti. Aku tidak bisa menyalahkannya.
Ketika aku hendak pergi, dia memelukku erat. "Terima kasih," bisiknya. "Terima kasih sudah mencariku."
Di pesawat kembali ke rumah, aku merenungkan semuanya. Aku telah menemukan Anya, berkat AI yang kubuat. Tetapi, aku juga menyadari sesuatu yang lebih penting. Cinta tidak bisa ditemukan dalam data. Cinta adalah sesuatu yang dirasakan, sesuatu yang dibangun, sesuatu yang harus diperjuangkan.
Orpheus telah membantuku menemukan Anya, tetapi dialah yang harus membangun hubungan dengannya. Dan sekarang, dengan pemahaman baru ini, aku siap untuk melakukannya.